Share

Bab 4

“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.

Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!

Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.

**

Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.

Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku memberinya isyarat untuk minggir agar aku bisa pergi dari tempat ini sesegera mungkin. 

Namun, dia tidak goyah. “Simpanlah.”

“Baiklah, baiklah,” ucapku cepat sambil merebut kartu itu dan langsung memasukkannya ke dalam tasku dengan asal. Aku akan membuangnya nanti saja. “Sekarang, bolehkah aku pergi?” 

Dan akhirnya dia memberiku akses. Dan ketika aku menutup pintu, samar-samar kudengar dia berkata, “Sampai bertemu lagi.”

**

Aku berhasil menemukan benda yang kucari, yang belum sempat kubuang karena diburu waktu. Aku bahkan melupakan fakta bahwa benda itu pernah berada di dalam tasku. Mataku melotot ketika menyadari kartu nama yang kini kupegang sama persis dengan foto yang dikirimkan Emma beberapa menit yang lalu.

Dengan kepanikan yang jelas terpancar di wajahku, aku mendongak kembali dan menatap pria itu. Dia berjalan mendekat. Dan ketika dia menyeringai, aku tahu bahwa aku benar-benar sedang berada dalam kekacauan. Bodoh kau, Mia! 

“Halo, Miss Abreu. Tidak kusangka pertemuan kita lagi akan datang secepat ini.” Dia mengulurkan tangannya, berniat menyalamiku. Apa dia sudah kehilangan akal?

Tanganku gemetar menyambut tangannya. Ia tersenyum sebelum mempersilakanku duduk di tempat yang sudah disiapkan.

Aku berdeham untuk menghilangkan kecanggungan. “Terima kasih sudah meluangkan waktu, Mr. Lynch,” ucapku memulai, mencoba semaksimal mungkin untuk bersikap profesional. Wawancara ini seharusnya akan menjadi menyelamatku di hadapan Rory, tetapi aku menaydari bahwa takdir telah mempermainkanku dengan kehadiran pria itu di kamar yang sama denganku semalam. Aku geleng-geleng dengan cepat, mengenyahkan bayangan perutnya di kepalaku. AKu berdeham sekali lagi sebelum menyalakan rekamer. “Baiklah, mari kita mulai saja wawancara ini. Anda siap?”

River mengangguk dan memberikan senyumnya yang mempesona. “Tentu, Miss. Aku siap kapan saja.”

Aku membuka catatan berisi daftar pertanyaan yang telah disusun ulang oleh Cody dengan mengubah sedikit dari daftar yang seharusnya kutanyakan pada Marcel Monaghan.

“Mula-mula, bisakah Anda menceritakan sedikit tentang awal mula perjalanan Anda dalam industri parfum? Apa yang memotivasi Anda untuk terlibat dalam bisnis ini?” Aku memulai dengan pertanyaan paling umum di dunia.

“Saya selalu tertarik dengan aroma-aroma ….” Aku memperhatikan selama dia menjelaskan, mencoba sekuat tenaga untuk tetap terlihat profesional dan mengenyahkan ingatan-ingatan yang terus berseliweran dengan tak sopan di kepalaku. “… saya pikir, parfum adalah cara yang luar biasa untuk menyampaikan emosi dan menciptakan kenangan. Atau menyimpan kenangan bagi beberapa orang. Dari hal itu, saya ingin menciptakan pengalaman tak terlupakan melalui aroma.”

“Itu sangat menarik. Namun, hal yang paling membuat saya tertarik adalah nama merk parfum Anda, Mr. Lynch: Séduisant. Apa arti di balik nama itu?”

“Séduisant berarti ‘menggoda’ atau ‘menggairahkan’ dalam bahasa Prancis. Seperti namanya ….”

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dirancang untuk mengungkap sisi pribadi dan profesional seorang River Lynch. Kami membicarakan banyak hal, mengenai inspirasi di balik merk parfumnya, perjalanan bisnisnya, serta dampak sosial yang ingin dicapainya melalui produk-produknya. Keterbukaan dan kecerdasan pria itu, jujur saja, akan memberikan kontribusi yang besar untuk Majalah Pamela.

Wawancara akhirnya selesai. Walaupun aku kesulitan mengendalikan kilatan memori yang melintas di pikiranku dan bahwa setiap kalimat yang diucapkan pria itu sukses membawaku kembali ke pertemuan tak terduga kami, tapi setidaknya aku berhasil mengatasinya.

Dan ketika aku yakin telah berhasil mengendalikan kecanggunganku, River tiba-tiba berkata, “Sesi profesional sudah berakhir. Sekarang aku ingin membicarakan sesuatu yang pribadi.”

Mataku membulat sempurna, wajahku mendadak kaku. Oke, aku tahu dia pasti akan membahas aktivitas kami tadi malam “A-apa?”

Pria itu menatapku dengan serius. “Sejujurnya aku mengenal Evan.”

“Tunggu, APA?” Aku kehilangan kata-kata lagi. Tidak bisakah dia sedikit berbasa-basi terlebih dahulu? Sebentar, itu tidak penting. Nama belakang mereka yang sama ternyata bukam cuma kebetulan. Demi Tuhan, jangan sampai dia mengatakan …. “Tolong jangan katakan ….”

“Dia keponakanku.”

Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersedak ludahku sendiri. 

River berdiri dan mengambilkan air minum. Aku menolaknya dengan kasar ketika ia menyodorkan gelas itu padaku.

“Apa yang ingin kau katakan?” tanyaku, gemetar karena rasa marah yang tiba-tiba timbul.

“Aku akan langsung saja. Sebenarnya semalam aku melihatmu dan Evan. Aku sengaja mengikutimu untuk menawarkan kesepakatan karena kurasa kita berdua sama-sama ingin menendang bokongnya.”

Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi seakan-akan aku tak bisa meraih kosa kata yang sudah puluhan tahun kupelajari.

“Jadi semalam aku berencana untuk—”

Tamparan keras mendarat di pipinya. Dadaku naik-turun, tanganku mengepal dengan erat di samping tubuh. “Kau ingin memanfaatkanku?” Rahangku mengeras, melihatnya masih utuh seolah tak merasakan sakit sama sekali. “Kau telah memanfaatkanku yang sedang mabuk.” Bayangan sosoknyan yang cerdas dan profesional beberapa waktu yang lalu tiba-tiba saja hancur berkeping-keping.

“Kau yang menggodaku.”

“Aku mabuk!”

“Lalu itu bisa untuk membenarkan—”

Brak!

Suara pintu dibanting menghentikan ucapan River. Kami berdua menoleh ke sumber suara.

“Sudah kubilang untuk jangan mencampuri urusanku!” Tak cukup dengan keterkejutanku sebelumnya, Evan muncul tiba-tiba dalam keadaan marah.

Dia juga sama terkejutnya denganku. Tak dapat dipungkiri. Memangnya apa reaksimu ketika melihat pamanmu dan (mantan) pacarmu berada dalam satu kamar hotel? “Mia? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, mencoba untuk meraihku.

Aku menyentakkan tangannya dengan kasar. Bayangan dia berselingkuh dariku kemarin muncul kembali dan mendominasi rasa marahku. Aku mencoba mengendalikan diri. Terjepit dalam situasi seperti ini membuatku sulit berkonsentrasi.

“River, bisa kau jelaskan?” ucap Evan beralih pada River.

“Mia yang akan menjawabnya,” jawab River kalem. Dia bersandar pada meja.

Aku menatap pada River, yang dari pandangan matanya menyatakan bahwa dia menyerahkan keputusan padaku. Aku menelan ludah. Persetan dengan semuanya, aku membenci Evan lebih dari apa pun! Setelah menarik napas panjang, aku maju selangkah pada Evan, menatapnya penuh kebencian. “Kau pikir selama ini kau yang telah berhasil membohongiku?”

“Mia … apa maksudmu?” Ia lagi-lagi mencoba meraih tanganku, tapi aku kembali menolaknya.

Langkahku tertuju pada River. Pandangan mata kami terkunci, dan sekilas aku melihatnya tersenyum samar. Dengan membuang semua akal sehatku, aku meraih pipi River kemudian mencium bibirnya sesaat. “Fvck you!” bisikku amat pelan di depan bibirnya sebelum menarik diri, membuatnya mengulas senyum menyebalkan.

“What the hell!” suara protes terdengar dari belakang.

Aku berjalan dengan langkah seperti di awan, mengambil tas jinjingku dan berencana keluar dari tempat ini. Langkahku berhenti ketika melewati Evan yang masih terpaku di tempat. Ketukan terakhir sepatuku terdengar begitu dramatis. Aku menoleh pada Evan, tersenyum culas. “Good bye, Nephew.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status