“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.
Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!
Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.
**
Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.
Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku memberinya isyarat untuk minggir agar aku bisa pergi dari tempat ini sesegera mungkin.
Namun, dia tidak goyah. “Simpanlah.”
“Baiklah, baiklah,” ucapku cepat sambil merebut kartu itu dan langsung memasukkannya ke dalam tasku dengan asal. Aku akan membuangnya nanti saja. “Sekarang, bolehkah aku pergi?”
Dan akhirnya dia memberiku akses. Dan ketika aku menutup pintu, samar-samar kudengar dia berkata, “Sampai bertemu lagi.”
**
Aku berhasil menemukan benda yang kucari, yang belum sempat kubuang karena diburu waktu. Aku bahkan melupakan fakta bahwa benda itu pernah berada di dalam tasku. Mataku melotot ketika menyadari kartu nama yang kini kupegang sama persis dengan foto yang dikirimkan Emma beberapa menit yang lalu.
Dengan kepanikan yang jelas terpancar di wajahku, aku mendongak kembali dan menatap pria itu. Dia berjalan mendekat. Dan ketika dia menyeringai, aku tahu bahwa aku benar-benar sedang berada dalam kekacauan. Bodoh kau, Mia!
“Halo, Miss Abreu. Tidak kusangka pertemuan kita lagi akan datang secepat ini.” Dia mengulurkan tangannya, berniat menyalamiku. Apa dia sudah kehilangan akal?
Tanganku gemetar menyambut tangannya. Ia tersenyum sebelum mempersilakanku duduk di tempat yang sudah disiapkan.
Aku berdeham untuk menghilangkan kecanggungan. “Terima kasih sudah meluangkan waktu, Mr. Lynch,” ucapku memulai, mencoba semaksimal mungkin untuk bersikap profesional. Wawancara ini seharusnya akan menjadi menyelamatku di hadapan Rory, tetapi aku menaydari bahwa takdir telah mempermainkanku dengan kehadiran pria itu di kamar yang sama denganku semalam. Aku geleng-geleng dengan cepat, mengenyahkan bayangan perutnya di kepalaku. AKu berdeham sekali lagi sebelum menyalakan rekamer. “Baiklah, mari kita mulai saja wawancara ini. Anda siap?”
River mengangguk dan memberikan senyumnya yang mempesona. “Tentu, Miss. Aku siap kapan saja.”
Aku membuka catatan berisi daftar pertanyaan yang telah disusun ulang oleh Cody dengan mengubah sedikit dari daftar yang seharusnya kutanyakan pada Marcel Monaghan.
“Mula-mula, bisakah Anda menceritakan sedikit tentang awal mula perjalanan Anda dalam industri parfum? Apa yang memotivasi Anda untuk terlibat dalam bisnis ini?” Aku memulai dengan pertanyaan paling umum di dunia.
“Saya selalu tertarik dengan aroma-aroma ….” Aku memperhatikan selama dia menjelaskan, mencoba sekuat tenaga untuk tetap terlihat profesional dan mengenyahkan ingatan-ingatan yang terus berseliweran dengan tak sopan di kepalaku. “… saya pikir, parfum adalah cara yang luar biasa untuk menyampaikan emosi dan menciptakan kenangan. Atau menyimpan kenangan bagi beberapa orang. Dari hal itu, saya ingin menciptakan pengalaman tak terlupakan melalui aroma.”
“Itu sangat menarik. Namun, hal yang paling membuat saya tertarik adalah nama merk parfum Anda, Mr. Lynch: Séduisant. Apa arti di balik nama itu?”
“Séduisant berarti ‘menggoda’ atau ‘menggairahkan’ dalam bahasa Prancis. Seperti namanya ….”
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dirancang untuk mengungkap sisi pribadi dan profesional seorang River Lynch. Kami membicarakan banyak hal, mengenai inspirasi di balik merk parfumnya, perjalanan bisnisnya, serta dampak sosial yang ingin dicapainya melalui produk-produknya. Keterbukaan dan kecerdasan pria itu, jujur saja, akan memberikan kontribusi yang besar untuk Majalah Pamela.
Wawancara akhirnya selesai. Walaupun aku kesulitan mengendalikan kilatan memori yang melintas di pikiranku dan bahwa setiap kalimat yang diucapkan pria itu sukses membawaku kembali ke pertemuan tak terduga kami, tapi setidaknya aku berhasil mengatasinya.
Dan ketika aku yakin telah berhasil mengendalikan kecanggunganku, River tiba-tiba berkata, “Sesi profesional sudah berakhir. Sekarang aku ingin membicarakan sesuatu yang pribadi.”
Mataku membulat sempurna, wajahku mendadak kaku. Oke, aku tahu dia pasti akan membahas aktivitas kami tadi malam “A-apa?”
Pria itu menatapku dengan serius. “Sejujurnya aku mengenal Evan.”
“Tunggu, APA?” Aku kehilangan kata-kata lagi. Tidak bisakah dia sedikit berbasa-basi terlebih dahulu? Sebentar, itu tidak penting. Nama belakang mereka yang sama ternyata bukam cuma kebetulan. Demi Tuhan, jangan sampai dia mengatakan …. “Tolong jangan katakan ….”
“Dia keponakanku.”
Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersedak ludahku sendiri.
River berdiri dan mengambilkan air minum. Aku menolaknya dengan kasar ketika ia menyodorkan gelas itu padaku.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanyaku, gemetar karena rasa marah yang tiba-tiba timbul.
“Aku akan langsung saja. Sebenarnya semalam aku melihatmu dan Evan. Aku sengaja mengikutimu untuk menawarkan kesepakatan karena kurasa kita berdua sama-sama ingin menendang bokongnya.”
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi seakan-akan aku tak bisa meraih kosa kata yang sudah puluhan tahun kupelajari.
“Jadi semalam aku berencana untuk—”
Tamparan keras mendarat di pipinya. Dadaku naik-turun, tanganku mengepal dengan erat di samping tubuh. “Kau ingin memanfaatkanku?” Rahangku mengeras, melihatnya masih utuh seolah tak merasakan sakit sama sekali. “Kau telah memanfaatkanku yang sedang mabuk.” Bayangan sosoknyan yang cerdas dan profesional beberapa waktu yang lalu tiba-tiba saja hancur berkeping-keping.
“Kau yang menggodaku.”
“Aku mabuk!”
“Lalu itu bisa untuk membenarkan—”
Brak!
Suara pintu dibanting menghentikan ucapan River. Kami berdua menoleh ke sumber suara.
“Sudah kubilang untuk jangan mencampuri urusanku!” Tak cukup dengan keterkejutanku sebelumnya, Evan muncul tiba-tiba dalam keadaan marah.
Dia juga sama terkejutnya denganku. Tak dapat dipungkiri. Memangnya apa reaksimu ketika melihat pamanmu dan (mantan) pacarmu berada dalam satu kamar hotel? “Mia? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, mencoba untuk meraihku.
Aku menyentakkan tangannya dengan kasar. Bayangan dia berselingkuh dariku kemarin muncul kembali dan mendominasi rasa marahku. Aku mencoba mengendalikan diri. Terjepit dalam situasi seperti ini membuatku sulit berkonsentrasi.
“River, bisa kau jelaskan?” ucap Evan beralih pada River.
“Mia yang akan menjawabnya,” jawab River kalem. Dia bersandar pada meja.
Aku menatap pada River, yang dari pandangan matanya menyatakan bahwa dia menyerahkan keputusan padaku. Aku menelan ludah. Persetan dengan semuanya, aku membenci Evan lebih dari apa pun! Setelah menarik napas panjang, aku maju selangkah pada Evan, menatapnya penuh kebencian. “Kau pikir selama ini kau yang telah berhasil membohongiku?”
“Mia … apa maksudmu?” Ia lagi-lagi mencoba meraih tanganku, tapi aku kembali menolaknya.
Langkahku tertuju pada River. Pandangan mata kami terkunci, dan sekilas aku melihatnya tersenyum samar. Dengan membuang semua akal sehatku, aku meraih pipi River kemudian mencium bibirnya sesaat. “Fvck you!” bisikku amat pelan di depan bibirnya sebelum menarik diri, membuatnya mengulas senyum menyebalkan.
“What the hell!” suara protes terdengar dari belakang.
Aku berjalan dengan langkah seperti di awan, mengambil tas jinjingku dan berencana keluar dari tempat ini. Langkahku berhenti ketika melewati Evan yang masih terpaku di tempat. Ketukan terakhir sepatuku terdengar begitu dramatis. Aku menoleh pada Evan, tersenyum culas. “Good bye, Nephew.”
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus
Apartemenku terasa hampa dan gelap. Aku terlalu malas untuk menyalakan lampu. Cahaya redup datang dari lampu-lampu perkotaan dan cahaya bulan yang menerobos melalui kaca jendela yang tirainya tak kututup sejak tadi. Aku duduk sendirian di sofa—aku dan Evan sering berhubungan seksual di sofa ini, sialan—botol minuman keras berjejer di meja, ada satu yang tergeletak. Pemandangan kota yang gemerlap dari jendela hanya membuatku merasa semakin terisolasi. Kekacauan yang telah menghantuiku sepanjang hari seolah menyeruak masuk ke dalam pikiranku, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kebingungan dan keputusasaan.Aku lelah. Hari ini sangat melelahkan. Dan kacau. Bel pintu apartemen berbunyi sejak beberapa waktu yang lalu. Aku mengabaikannya.Pandanganku merana menatap koper dan kotak-kotak berisi barang-barang milik Evan. Setelah pulang dari kerja, aku mengeluarkan semua pakaian dan benda miliknya. Namun, tak butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya meledak dalam tangis.Tanpa berpikir panjang
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
“Kau tidak punya teman atau kenalan di gedung ini?” tanya River setelah kami berada di dalam mobilnya.“Temanku yang tinggal di seberang unitku, masih dalam perjalanan dari Ashville dan baru akan sampai nanti, lewat tengah malam.” Aku menjelaskan. Setelah apa yang aku dan River lalui beberapa waktu terakhir, ini kali pertama kami berada dalam satu mobil. Dan dari apa yang dia kendarai, jelas aku yakin dia benar-benar seorang pria yang kaya raya.Fakta bahwa Evan merupakan ahli waris satu-satunya adalah hal terakhir yang bisa kupercaya. Tak ada tampang “kaya” dalam setiap gaya dan gerak-geriknya selama ini. Dan bagaimana dia berhasil menyembunyikan fakta itu selama ini dan menipuku habis-habisan memang patut diberikan penghargaan.Aku tersentak pelan ketika River tiba-tiba memukul
Richard membukakan sebuah pintu yang agak berbeda dengan pintu-pintu lainnya lalu mengisyaratkanku untuk masuk. Dan hal pertama yang kulihat adalah River yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tak lagi mengenakan jasnya, yang kemudian kulihat sedang tergantung di standing hanger dekat jendela besar di belakang bangkunya.“Apa yang ingin Anda diskusikan, Mr. Lynch?” tanyaku sopan, mengantisipasi ada orang lain di ruangan ini.Dengan gerakan mulus, River bangkit dari kursinya. “Banyak sekali,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. Aku terlena dengan entah bagaimana waktu seakan melambat seiring dengan langkahnya yang kian mendekatiku. “Banyak sekali yang ingin kudiskusikan,” ucapnya lagi, suaranya mengalun lembut di telingaku. Dia menarikku mendekat, tangannya menangkup pipiku, dan aku merasa seperti terhipnotis oleh kehangatan sentuhan itu.Lututku mendadak terasa seperti jeli ketika bibirnya menekan bibirku, dan aku pasti sudah ambruk ke belakang jika saja tangannya tidak melingk
“Jadi, Richard tahu tentang kita?” tanyaku sambil memainkan kancing piamanya. Kami berada di atas tempat tidur River, berbaring dengan lengan besarnya berada di bawah kepalaku.“Seperti itulah,” jawabnya sederhana, tangannya memainkan rambut cokelatku.“Kau bisa saja mengirimiku pesan teks untuk bertemu. Kenapa harus menyuruh Richard berbohong?”“Kau sendiri yang tidak ingin orang-orang tahu, kan?” balasnya dengan tenang. Aku mengingat-ingat di mana ketika aku berkata pada River mengenai orang-orang di kantorku yang tak perlu mengetahui hubunganku dengan River—yang pada saat itu mengacu pada hubungan di atas perjanjian. Namun, meskipun Cody (hanya Cody) tahu mengenai bagaimana hubunganku dengan River waktu itu, dia masih belum tahu bahwa kini hubungan kami mulai berbeda. “Akan lebih masuk akal bagi rekan-rekanmu jika aku mengungkit-ungkit mengenai pekerjaan.”“Kau ada benarnya juga sih …,” gumamku, melihat ke wajahnya yang sedang menampilkan tampang sombong, seolah-olah berkata “tentu
Berhubung aku, Cody, dan Sasha—orang terpilih dari Departemen Periklanan—tidak ada yang membawa mobil ke kantor, Lukas dengan murah hati meminjami kami Volvo merahnya untuk digunakan ke kantor River Lynch.“Memangnya di mana sih mobilmu?” tanya Cody yang sedang menyetir.“Sedang diperbaiki,” jawabku berbohong, diam-diam mengirim sinyal pada Cody agar tak membicarakannya lebih lanjut karena ada orang lain yang bisa mendengar.Shasa duduk di jok belakang. Dia sedang fokus mempelajari catatan Cody sambil membuka tabletnya. Dia pernah dua kali mewakili divisi periklanan mengikuti rapat tim proyek ulang tahun merk Sèduisant. Cody memilih orang yang tepat. Atau mungkin bukan Cody yang memilihnya? Bisa saja dia mengajukan diri atau Kepala Departemen Periklanan yang menugaskannya.Cody manggut-manggut mendengar jawaban asal-asalanku, meski dilihat dari sisi wajahnya pun aku tahu dia sedang tersenyum penuh makna. “Apanya yang rusak?” tanyanya lagi, mengetes. Ya Tuhan, aku ingin memecahkan kepa
Aku tak tahu lagi mengenai nasib perjanjian yang kusepakati dengan River. Apakah sekarang perjanjian itu batal karena hubungan kami tak lagi pura-pura? Tunggu, aku bahkan jadi bingung mengenai status hubungan kami yang sebenarnya. Apakah hubungan kami masih berlandaskan simbiosis mutualisme? Apakah kami jadi pasangan sesungguhnya seperti orang normal lainnya? Hubungan berlandaskan perasaan? Memang apa perasaanku padanya? River juga tak pernah menyebut-nyebut tentang perasaannya padaku. Dia hanya bilang menginginkanku, beberapa saat sebelum kami berhubungan seks. Barangkali River hanya merujuk pada keinginan biologisnya untuk bercinta denganku.“Hei!” Sebuah kibasan tangan di depan wajahku tiba-tiba menyadarkanku di mana aku sedang berada. Aku berada di dalam mobil River yang sudah terparkir di basement gedung Pamela Magazine. Saat sarapan tadi, River meminta untuk mengantarku bekerja lagi
Mataku terbuka saat merasakan tubuh River menempel di tubuhku. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada bidang River, dan kurasakan lengannya melingkari pinggangku dengan erat. Beberapa titik di tubuhku terasa nyeri, dan pipiku langsung memerah saat aku mengingat kegiatan kami yang menguras tenaga semalam.“Wake up, sleepyhead,” bisiknya, bibirnya menempel di telingaku.Aku menguap dan meregangkan tubuh, merasakan lengannya mengencang di sekelilingku saat tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. “Jam berapa sekarang?” Aku bergumam, meringkuk lebih dekat dengannya.River tertawa pelan dan mengecup leherku. “Ini jam kau-akan-terlambat,” jawabnya.“Apa?” Kesadaran menyergapku seketika. Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari benda apa saja yang bisa menunjukkan waktu. Dan tatapanku tertuju pada jam persegi di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” Mataku tertuju pada angka 8.42 yang berkedip-kedip futuristik
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa sambil terengah-engah, melihat dia melepaskan semua pakaiannya dan kemudian meraih tubuhku lagi. Dia mengangkat tubuhku dan membalikkannya, memosisikanku di atas pangkuannya sementara dia sudah duduk di sofa.Jantungku berdegup kencang saat merasakan paha keras River menekan pangkal pahaku yang sudah basah, tangannya memandu tanganku menuju ereksinya. Aku terkesiap, mataku membelalak saat dia dengan lembut membimbing tanganku, menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Dengan ragu-ragu aku melingkarkan jari-jariku di sekelilingnya, pipiku memerah karena merasakan kekerasannya di tanganku.Dia tersenyum, matanya tidak pernah lepas dari mataku saat dia mendorong tanganku lebih jauh, menuntunku untuk mengelusnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan pada awalnya, kemudian meningkatkan kecepatan saat aku merasakan nafasnya semakin cepat dan matanya penuh dengan gairah.“Kau tidak tahu betapa aku sangat menginginkan ini
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit