Langit pagi itu begitu biru ketika aku keluar dari kelab dengan langkah cepat. Wajahku mungkin mencerminkan kombinasi antara kegelisahan, rasa bersalah, dan kepanikan. Aku harus segera kembali ke unit dan bersiap ke kantor. Aku berdecak setelah menatap sekilas ke arlojiku. Pening dan mual kukesampingkan, walaupun tubuhku benar-benar menyuruhku untuk berhenti berjalan cepat dan istirahat. Astaga, tidak ada waktu!
Ketika pintu gedung apartemen terbuka, aku menabrak seseorang yang sedang berada di lorong. “Astaga, Mia—hai!”
Syukurlah, itu hanya Addy. “Hai, Addy. Aku sedang terburu-buru. Nanti saja, oke?”
“Tidak, tidak.” Addy mencegatku, membuatku tak repot-repot menyembunyikan wajah keberatan. “Aku berutang maaf padamu dan Evan—”
“Tidak,” selaku, langsung teringat kejadian semalam. “Kau benar, uh, dia berselingkuh. Tapi sungguh, kita bicarakan ini nanti saja, kumohon? Aku terlambat masuk kerja.”
“Baiklah. Segala sesuatu akan membaik seiring waktu.” Addy menatapku dengan simpati, tapi sejurus kemudian dia menyeringai jail. “Aku ingin bersimpati padamu, tapi sepertinya kau malah memiliki malam yang manis.”
“Apa katamu?”
Addy tak menjawab. Dia menunjuk ke lehernya sendiri kemudian menunjukku.
Aku melotot, gelagapan. “Apa terlihat sangat jelas?”
Addy tertawa kecil, menciptakan suasana yang lebih ringan. “Mia, kau benar-benar tahu cara membuat hidupmu jadi menarik. Sekarang bergegaslah, tapi ingat kau berutang cerita padaku.”
“Oke!” seruku sambil berlari ke unitku.
***
Aku menerobos pintu kantor dengan napas terengah-engah. Wajahku merona oleh kepanikan.
Cody, asistenku yang berusia 25 tahun, buru-buru menghampiri. Anting salib di telinga kirinya bergoyang-goyang tak karuan, mencerminkan kepanikan laki-laki itu. “Astaga, Mia! Kau dari mana saja? Rapat redaksi sudah dimulai sejak tadi dan Rory menanyakan keberadaanmu berkali-kali! Dia sepertinya sangat kesal padamu.”
Aku mengernyit. “Apa yang telah terjadi?”
Cody melihat ke arah pintu ruang rapat. “Masuklah dan kau akan tahu sendiri.”
Aku menelan ludah dan mendekati pintu ruang rapat dengan hati yang berdebar. Aku menoleh sekali lagi kepada Cody yang mengikuti di belakangku. Ketika aku memasuki ruangan, tatapan tajam Rory langsung menyambutku. Suasana rapat yang tegang seketika terasa dingin menyelimutiku.
“Ah, Mia, akhirnya kau datang,” sindir seorang wanita dengan lipstik merah di bibir montoknya. “Apa ini caramu menghargai waktu orang lain?” Ekspresi wajahnya mencerminkan ketidakpuasannya.
Aku meringis, mencoba menjelaskan, “Maaf, ponselku mati, dan ….” Aku menatap Rory yang mengangkat alis sambil menyilangkan tangan di dada, kemudian kepada beberapa karyawan di ruangan ini yang menatapku dengan iba. “Aku tidak punya alasan. Maaf.”
“Kau tahu betapa pentingnya rapat ini, bukan?” Suara Rory mengeras. “Kami sedang menghadapi situasi yang sangat tidak menguntungkan.”
Seseorang yang duduk di sebelah Rory memberi isyarat kepadaku untuk duduk. Aku segera melangkah ke kursiku dengan rasa malu yang mendalam.
Cody yang muram mengikutiku. Aku menatap padanya ketika sudah duduk. Dia mengangguk penuh simpati, tapi dia jelas tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
“Sekarang, kita akan membahas wawancara dengan Marcel Monaghan,” ujar Rory, memandangku dengan tajam (lagi). “Marcel Monaghan, orang yang seharusnya diwawancarai Mia, menarik diri secara tiba-tiba. Dia mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan wawancara.”
Aku memicingkan mata, mencoba memahami apa yang terjadi. “Tapi, itu tidak mungkin. Kami sudah mengatur semuanya dengan baik. Mengapa dia tiba-tiba menarik diri?”
Rory menatapku dengan tatapan skeptis. “Itu yang ingin kami ketahui darimu, Mia. Marcel adalah tanggung jawabmu, dan kegagalan ini jelas berdampak pada Majalah Pamela … dan padamu.”
Aku menelan ludah, berusaha menjelaskan situasi. Dasar ponsel sialan! “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menarik diri. Semuanya sudah diatur dengan baik. Saya bisa mencoba menghubunginya dan mencari tahu apa yang terjadi.”
“Aku ada usulan.” Sebuah suara dari ujung meja menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan ini. Ia adalah Emma Freud, redaktur Rubrik Kecantikan yang memang sangat cantik. “Rory, kenapa tidak mempertimbangkan untuk mencari pengganti Marcel saja?”
Aku meringis mendengar usulannya. Mencari orang baru yang mau diwawancarai dalam waktu sesingkat ini akan sulit.
“Kau punya kandidat?” tagih Rory.
“River,” jawab Emma, “yang dulu pernah kubicarakan denganmu.”
Rory berpikir sejenak. Garis-garis usia di dahinya tampak lebih jelas. “Séduisant?”
“Betul,” jawab Emma. “Dia kolega bisnis suamiku. Aku akan meminta bantuannya.”
Aku mengernyit menatap Cody.
“Merk parfum. Kau tidak tahu?” bisik Cody.
Kerutan di dahiku semakin dalam, seketika membuatku khawatir jika akan seperti dahi Rory.
Cody geleng-geleng kepala, barangkali lelah menghadapiku. Pagi ini aku merasa tidak bisa diandalkan. Aku merasa gagal. Ini bukan seperti diriku yang biasanya.
“Kupikir dia—”
“Memang usianya tidak semuda Marcel Monaghan ….” Emma memotong perkataan Rory. Entah mengapa ketika Emma menyebut nama itu lagi, tubuhku langsung menegak kembali, merasa waspada. “Tapi dia tetap seorang pebisnis sukses yang memiliki segudang pengalaman. Dan menurutku dia juga lumayan tampan. Mungkin dia bisa memberikan warna yang berbeda untuk wawancara ini.”
Rory berpikir lagi, tak butuh waktu lama untuk mengangguk setuju. “Baiklah, kita bisa mencobanya.”
Emma bernapas lega. Entah mengapa aku juga ikut melakukannya.
“Akan tetapi ….” Rory kembali berkata dengan nada tajam. Jelas aku tahu itu tertuju padaku. Dan benar ketika dia melanjutkan perkataannya sambil menatapku. “Kita harus memastikan bahwa kita memiliki beberapa opsi yang kuat sebagai pengganti Marcel. Kita tidak bisa mengandalkan satu nama saja. Segera temukan kandidat-kandidat potensial dan berikan aku laporan selengkap mungkin.”
“Noted, Rory,” jawabku pelan.
“Rapat selesai.” Dan dengan langkah seperti gemuruh, dia pergi meninggalkan ruangan.
Aku bersandar lega di kursi. Beberapa orang yang juga akan meninggalkan ruangan, menepuk bahuku ketika lewat di belakang kursiku. Semua orang telah pergi kecuali aku dan Cody. Dia juga sama tertekannya sepertiku. “Maaf karena pasti kau juga terkena omelan Rory.”
Cody tak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang.
“Akan kutraktir minum,” bujukku.
“Setuju!” Dia menjawab dengan semangat. Aku menggeleng-geleng kepala ketika menatapnya berjalan riang ke pintu ruangan rapat. Sebelum keluar, dia berbalik lagi. “Mau pinjam pengisi daya ponsel?”
“Oh, inilah kenapa aku mencintaimu!”
Aku juga harus berterima kasih kepada Emma karena telah menyelamatkan bokongku.
***
“Mia!” panggil Emma. Aku segera memutar kursi kerja, menghadapnya yang masih memegangi gagang telepon. “River setuju untuk wawancara.”
“Sungguh?” Mataku berbinar ceria. Cepat sekali!
Emma mengangguk. “Tapi kau harus menemuinya sekarang juga. Di Hotel Gallan. Saat ini dia sedang berada di sana. Bergegaslah, aku akan mengirimkan detailnya ke ponselmu.”
Demi membayar rasa bersalahku pada Rory, aku segera keluar dari kantor, berjalan cepat menuju basement dan masuk ke mobil hitamku. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Emma. Dia mengirimkan sebuah foto kartu nama. Jantungku hampir saja berhenti ketika nama yang tertulis di sana adalah River Lynch. Kebetulan yang menyebalkan!
Tanpa memikirkan banyak hal, aku segera menyalakan mesin dan keluar dari gedung ini. Tidak kusangka aku akan kembali ke hotel itu lagi.
Aku mengucap syukur ketika melihat orang yang berdiri di belakang meja resepsionis bukanlah wanita yang kemarin. Aku segera mengatakan apa tujuanku. Dia kemudian memanggil seseorang untuk mengantarku ke ruangan yang tadi kusebut.
“Terima kasih,” ucapku pada pegawai laki-laki itu, memberikan sedikit uang tips.
Ia tersenyum ramah, kemudian membukakan pintu ruang pertemuan di depan kami. Aku mengambil langkah untuk memasuki ruangan itu, mendapati seseorang bersetelan abu-abu sempurna yang sedang memunggungiku, menghadap ke jendela. Pintu di belakangku telah tertutup.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.
Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku! Dan ketika dia menyeringai, aku tahu bahwa aku benar-benar sedang berada dalam masalah.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.**Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku membe
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus
Apartemenku terasa hampa dan gelap. Aku terlalu malas untuk menyalakan lampu. Cahaya redup datang dari lampu-lampu perkotaan dan cahaya bulan yang menerobos melalui kaca jendela yang tirainya tak kututup sejak tadi. Aku duduk sendirian di sofa—aku dan Evan sering berhubungan seksual di sofa ini, sialan—botol minuman keras berjejer di meja, ada satu yang tergeletak. Pemandangan kota yang gemerlap dari jendela hanya membuatku merasa semakin terisolasi. Kekacauan yang telah menghantuiku sepanjang hari seolah menyeruak masuk ke dalam pikiranku, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kebingungan dan keputusasaan.Aku lelah. Hari ini sangat melelahkan. Dan kacau. Bel pintu apartemen berbunyi sejak beberapa waktu yang lalu. Aku mengabaikannya.Pandanganku merana menatap koper dan kotak-kotak berisi barang-barang milik Evan. Setelah pulang dari kerja, aku mengeluarkan semua pakaian dan benda miliknya. Namun, tak butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya meledak dalam tangis.Tanpa berpikir panjang
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
Richard membukakan sebuah pintu yang agak berbeda dengan pintu-pintu lainnya lalu mengisyaratkanku untuk masuk. Dan hal pertama yang kulihat adalah River yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tak lagi mengenakan jasnya, yang kemudian kulihat sedang tergantung di standing hanger dekat jendela besar di belakang bangkunya.“Apa yang ingin Anda diskusikan, Mr. Lynch?” tanyaku sopan, mengantisipasi ada orang lain di ruangan ini.Dengan gerakan mulus, River bangkit dari kursinya. “Banyak sekali,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. Aku terlena dengan entah bagaimana waktu seakan melambat seiring dengan langkahnya yang kian mendekatiku. “Banyak sekali yang ingin kudiskusikan,” ucapnya lagi, suaranya mengalun lembut di telingaku. Dia menarikku mendekat, tangannya menangkup pipiku, dan aku merasa seperti terhipnotis oleh kehangatan sentuhan itu.Lututku mendadak terasa seperti jeli ketika bibirnya menekan bibirku, dan aku pasti sudah ambruk ke belakang jika saja tangannya tidak melingk
“Jadi, Richard tahu tentang kita?” tanyaku sambil memainkan kancing piamanya. Kami berada di atas tempat tidur River, berbaring dengan lengan besarnya berada di bawah kepalaku.“Seperti itulah,” jawabnya sederhana, tangannya memainkan rambut cokelatku.“Kau bisa saja mengirimiku pesan teks untuk bertemu. Kenapa harus menyuruh Richard berbohong?”“Kau sendiri yang tidak ingin orang-orang tahu, kan?” balasnya dengan tenang. Aku mengingat-ingat di mana ketika aku berkata pada River mengenai orang-orang di kantorku yang tak perlu mengetahui hubunganku dengan River—yang pada saat itu mengacu pada hubungan di atas perjanjian. Namun, meskipun Cody (hanya Cody) tahu mengenai bagaimana hubunganku dengan River waktu itu, dia masih belum tahu bahwa kini hubungan kami mulai berbeda. “Akan lebih masuk akal bagi rekan-rekanmu jika aku mengungkit-ungkit mengenai pekerjaan.”“Kau ada benarnya juga sih …,” gumamku, melihat ke wajahnya yang sedang menampilkan tampang sombong, seolah-olah berkata “tentu
Berhubung aku, Cody, dan Sasha—orang terpilih dari Departemen Periklanan—tidak ada yang membawa mobil ke kantor, Lukas dengan murah hati meminjami kami Volvo merahnya untuk digunakan ke kantor River Lynch.“Memangnya di mana sih mobilmu?” tanya Cody yang sedang menyetir.“Sedang diperbaiki,” jawabku berbohong, diam-diam mengirim sinyal pada Cody agar tak membicarakannya lebih lanjut karena ada orang lain yang bisa mendengar.Shasa duduk di jok belakang. Dia sedang fokus mempelajari catatan Cody sambil membuka tabletnya. Dia pernah dua kali mewakili divisi periklanan mengikuti rapat tim proyek ulang tahun merk Sèduisant. Cody memilih orang yang tepat. Atau mungkin bukan Cody yang memilihnya? Bisa saja dia mengajukan diri atau Kepala Departemen Periklanan yang menugaskannya.Cody manggut-manggut mendengar jawaban asal-asalanku, meski dilihat dari sisi wajahnya pun aku tahu dia sedang tersenyum penuh makna. “Apanya yang rusak?” tanyanya lagi, mengetes. Ya Tuhan, aku ingin memecahkan kepa
Aku tak tahu lagi mengenai nasib perjanjian yang kusepakati dengan River. Apakah sekarang perjanjian itu batal karena hubungan kami tak lagi pura-pura? Tunggu, aku bahkan jadi bingung mengenai status hubungan kami yang sebenarnya. Apakah hubungan kami masih berlandaskan simbiosis mutualisme? Apakah kami jadi pasangan sesungguhnya seperti orang normal lainnya? Hubungan berlandaskan perasaan? Memang apa perasaanku padanya? River juga tak pernah menyebut-nyebut tentang perasaannya padaku. Dia hanya bilang menginginkanku, beberapa saat sebelum kami berhubungan seks. Barangkali River hanya merujuk pada keinginan biologisnya untuk bercinta denganku.“Hei!” Sebuah kibasan tangan di depan wajahku tiba-tiba menyadarkanku di mana aku sedang berada. Aku berada di dalam mobil River yang sudah terparkir di basement gedung Pamela Magazine. Saat sarapan tadi, River meminta untuk mengantarku bekerja lagi
Mataku terbuka saat merasakan tubuh River menempel di tubuhku. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada bidang River, dan kurasakan lengannya melingkari pinggangku dengan erat. Beberapa titik di tubuhku terasa nyeri, dan pipiku langsung memerah saat aku mengingat kegiatan kami yang menguras tenaga semalam.“Wake up, sleepyhead,” bisiknya, bibirnya menempel di telingaku.Aku menguap dan meregangkan tubuh, merasakan lengannya mengencang di sekelilingku saat tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. “Jam berapa sekarang?” Aku bergumam, meringkuk lebih dekat dengannya.River tertawa pelan dan mengecup leherku. “Ini jam kau-akan-terlambat,” jawabnya.“Apa?” Kesadaran menyergapku seketika. Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari benda apa saja yang bisa menunjukkan waktu. Dan tatapanku tertuju pada jam persegi di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” Mataku tertuju pada angka 8.42 yang berkedip-kedip futuristik
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa sambil terengah-engah, melihat dia melepaskan semua pakaiannya dan kemudian meraih tubuhku lagi. Dia mengangkat tubuhku dan membalikkannya, memosisikanku di atas pangkuannya sementara dia sudah duduk di sofa.Jantungku berdegup kencang saat merasakan paha keras River menekan pangkal pahaku yang sudah basah, tangannya memandu tanganku menuju ereksinya. Aku terkesiap, mataku membelalak saat dia dengan lembut membimbing tanganku, menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Dengan ragu-ragu aku melingkarkan jari-jariku di sekelilingnya, pipiku memerah karena merasakan kekerasannya di tanganku.Dia tersenyum, matanya tidak pernah lepas dari mataku saat dia mendorong tanganku lebih jauh, menuntunku untuk mengelusnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan pada awalnya, kemudian meningkatkan kecepatan saat aku merasakan nafasnya semakin cepat dan matanya penuh dengan gairah.“Kau tidak tahu betapa aku sangat menginginkan ini
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit