Langit pagi itu begitu biru ketika aku keluar dari kelab dengan langkah cepat. Wajahku mungkin mencerminkan kombinasi antara kegelisahan, rasa bersalah, dan kepanikan. Aku harus segera kembali ke unit dan bersiap ke kantor. Aku berdecak setelah menatap sekilas ke arlojiku. Pening dan mual kukesampingkan, walaupun tubuhku benar-benar menyuruhku untuk berhenti berjalan cepat dan istirahat. Astaga, tidak ada waktu!
Ketika pintu gedung apartemen terbuka, aku menabrak seseorang yang sedang berada di lorong. “Astaga, Mia—hai!”
Syukurlah, itu hanya Addy. “Hai, Addy. Aku sedang terburu-buru. Nanti saja, oke?”
“Tidak, tidak.” Addy mencegatku, membuatku tak repot-repot menyembunyikan wajah keberatan. “Aku berutang maaf padamu dan Evan—”
“Tidak,” selaku, langsung teringat kejadian semalam. “Kau benar, uh, dia berselingkuh. Tapi sungguh, kita bicarakan ini nanti saja, kumohon? Aku terlambat masuk kerja.”
“Baiklah. Segala sesuatu akan membaik seiring waktu.” Addy menatapku dengan simpati, tapi sejurus kemudian dia menyeringai jail. “Aku ingin bersimpati padamu, tapi sepertinya kau malah memiliki malam yang manis.”
“Apa katamu?”
Addy tak menjawab. Dia menunjuk ke lehernya sendiri kemudian menunjukku.
Aku melotot, gelagapan. “Apa terlihat sangat jelas?”
Addy tertawa kecil, menciptakan suasana yang lebih ringan. “Mia, kau benar-benar tahu cara membuat hidupmu jadi menarik. Sekarang bergegaslah, tapi ingat kau berutang cerita padaku.”
“Oke!” seruku sambil berlari ke unitku.
***
Aku menerobos pintu kantor dengan napas terengah-engah. Wajahku merona oleh kepanikan.
Cody, asistenku yang berusia 25 tahun, buru-buru menghampiri. Anting salib di telinga kirinya bergoyang-goyang tak karuan, mencerminkan kepanikan laki-laki itu. “Astaga, Mia! Kau dari mana saja? Rapat redaksi sudah dimulai sejak tadi dan Rory menanyakan keberadaanmu berkali-kali! Dia sepertinya sangat kesal padamu.”
Aku mengernyit. “Apa yang telah terjadi?”
Cody melihat ke arah pintu ruang rapat. “Masuklah dan kau akan tahu sendiri.”
Aku menelan ludah dan mendekati pintu ruang rapat dengan hati yang berdebar. Aku menoleh sekali lagi kepada Cody yang mengikuti di belakangku. Ketika aku memasuki ruangan, tatapan tajam Rory langsung menyambutku. Suasana rapat yang tegang seketika terasa dingin menyelimutiku.
“Ah, Mia, akhirnya kau datang,” sindir seorang wanita dengan lipstik merah di bibir montoknya. “Apa ini caramu menghargai waktu orang lain?” Ekspresi wajahnya mencerminkan ketidakpuasannya.
Aku meringis, mencoba menjelaskan, “Maaf, ponselku mati, dan ….” Aku menatap Rory yang mengangkat alis sambil menyilangkan tangan di dada, kemudian kepada beberapa karyawan di ruangan ini yang menatapku dengan iba. “Aku tidak punya alasan. Maaf.”
“Kau tahu betapa pentingnya rapat ini, bukan?” Suara Rory mengeras. “Kami sedang menghadapi situasi yang sangat tidak menguntungkan.”
Seseorang yang duduk di sebelah Rory memberi isyarat kepadaku untuk duduk. Aku segera melangkah ke kursiku dengan rasa malu yang mendalam.
Cody yang muram mengikutiku. Aku menatap padanya ketika sudah duduk. Dia mengangguk penuh simpati, tapi dia jelas tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
“Sekarang, kita akan membahas wawancara dengan Marcel Monaghan,” ujar Rory, memandangku dengan tajam (lagi). “Marcel Monaghan, orang yang seharusnya diwawancarai Mia, menarik diri secara tiba-tiba. Dia mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan wawancara.”
Aku memicingkan mata, mencoba memahami apa yang terjadi. “Tapi, itu tidak mungkin. Kami sudah mengatur semuanya dengan baik. Mengapa dia tiba-tiba menarik diri?”
Rory menatapku dengan tatapan skeptis. “Itu yang ingin kami ketahui darimu, Mia. Marcel adalah tanggung jawabmu, dan kegagalan ini jelas berdampak pada Majalah Pamela … dan padamu.”
Aku menelan ludah, berusaha menjelaskan situasi. Dasar ponsel sialan! “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menarik diri. Semuanya sudah diatur dengan baik. Saya bisa mencoba menghubunginya dan mencari tahu apa yang terjadi.”
“Aku ada usulan.” Sebuah suara dari ujung meja menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan ini. Ia adalah Emma Freud, redaktur Rubrik Kecantikan yang memang sangat cantik. “Rory, kenapa tidak mempertimbangkan untuk mencari pengganti Marcel saja?”
Aku meringis mendengar usulannya. Mencari orang baru yang mau diwawancarai dalam waktu sesingkat ini akan sulit.
“Kau punya kandidat?” tagih Rory.
“River,” jawab Emma, “yang dulu pernah kubicarakan denganmu.”
Rory berpikir sejenak. Garis-garis usia di dahinya tampak lebih jelas. “Séduisant?”
“Betul,” jawab Emma. “Dia kolega bisnis suamiku. Aku akan meminta bantuannya.”
Aku mengernyit menatap Cody.
“Merk parfum. Kau tidak tahu?” bisik Cody.
Kerutan di dahiku semakin dalam, seketika membuatku khawatir jika akan seperti dahi Rory.
Cody geleng-geleng kepala, barangkali lelah menghadapiku. Pagi ini aku merasa tidak bisa diandalkan. Aku merasa gagal. Ini bukan seperti diriku yang biasanya.
“Kupikir dia—”
“Memang usianya tidak semuda Marcel Monaghan ….” Emma memotong perkataan Rory. Entah mengapa ketika Emma menyebut nama itu lagi, tubuhku langsung menegak kembali, merasa waspada. “Tapi dia tetap seorang pebisnis sukses yang memiliki segudang pengalaman. Dan menurutku dia juga lumayan tampan. Mungkin dia bisa memberikan warna yang berbeda untuk wawancara ini.”
Rory berpikir lagi, tak butuh waktu lama untuk mengangguk setuju. “Baiklah, kita bisa mencobanya.”
Emma bernapas lega. Entah mengapa aku juga ikut melakukannya.
“Akan tetapi ….” Rory kembali berkata dengan nada tajam. Jelas aku tahu itu tertuju padaku. Dan benar ketika dia melanjutkan perkataannya sambil menatapku. “Kita harus memastikan bahwa kita memiliki beberapa opsi yang kuat sebagai pengganti Marcel. Kita tidak bisa mengandalkan satu nama saja. Segera temukan kandidat-kandidat potensial dan berikan aku laporan selengkap mungkin.”
“Noted, Rory,” jawabku pelan.
“Rapat selesai.” Dan dengan langkah seperti gemuruh, dia pergi meninggalkan ruangan.
Aku bersandar lega di kursi. Beberapa orang yang juga akan meninggalkan ruangan, menepuk bahuku ketika lewat di belakang kursiku. Semua orang telah pergi kecuali aku dan Cody. Dia juga sama tertekannya sepertiku. “Maaf karena pasti kau juga terkena omelan Rory.”
Cody tak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang.
“Akan kutraktir minum,” bujukku.
“Setuju!” Dia menjawab dengan semangat. Aku menggeleng-geleng kepala ketika menatapnya berjalan riang ke pintu ruangan rapat. Sebelum keluar, dia berbalik lagi. “Mau pinjam pengisi daya ponsel?”
“Oh, inilah kenapa aku mencintaimu!”
Aku juga harus berterima kasih kepada Emma karena telah menyelamatkan bokongku.
***
“Mia!” panggil Emma. Aku segera memutar kursi kerja, menghadapnya yang masih memegangi gagang telepon. “River setuju untuk wawancara.”
“Sungguh?” Mataku berbinar ceria. Cepat sekali!
Emma mengangguk. “Tapi kau harus menemuinya sekarang juga. Di Hotel Gallan. Saat ini dia sedang berada di sana. Bergegaslah, aku akan mengirimkan detailnya ke ponselmu.”
Demi membayar rasa bersalahku pada Rory, aku segera keluar dari kantor, berjalan cepat menuju basement dan masuk ke mobil hitamku. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Emma. Dia mengirimkan sebuah foto kartu nama. Jantungku hampir saja berhenti ketika nama yang tertulis di sana adalah River Lynch. Kebetulan yang menyebalkan!
Tanpa memikirkan banyak hal, aku segera menyalakan mesin dan keluar dari gedung ini. Tidak kusangka aku akan kembali ke hotel itu lagi.
Aku mengucap syukur ketika melihat orang yang berdiri di belakang meja resepsionis bukanlah wanita yang kemarin. Aku segera mengatakan apa tujuanku. Dia kemudian memanggil seseorang untuk mengantarku ke ruangan yang tadi kusebut.
“Terima kasih,” ucapku pada pegawai laki-laki itu, memberikan sedikit uang tips.
Ia tersenyum ramah, kemudian membukakan pintu ruang pertemuan di depan kami. Aku mengambil langkah untuk memasuki ruangan itu, mendapati seseorang bersetelan abu-abu sempurna yang sedang memunggungiku, menghadap ke jendela. Pintu di belakangku telah tertutup.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.
Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku! Dan ketika dia menyeringai, aku tahu bahwa aku benar-benar sedang berada dalam masalah.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.**Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku membe
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus
“Ini tidak gratis, kau tahu?”Sesuatu yang besar dari dalam mimpi menghantamku dengan keras, instan membuat mataku terbuka lebar. Aku terbangun di sebuah kamar tak dikenal, dengan kepala berdenyut-denyut dan dikelilingi oleh kebingungan. Setelah mati-matian beradaptasi dengan cahaya dan dapat membuka mata dengan ringan, ruangan ini perlahan-lahan mulai tampak jelas, menampakkan seorang pria asing yang bergelung di selimut di sampingku.Tunggu, APA?!Kepanikan melanda, mendorongku untuk mencoba merangkai kejadian-kejadian sebelumnya yang membawaku ke situasi gila ini. Semuanya tampak berkabut, gambar-gambar adegan yang buram melintas di benakku. Tak ada satu pun yang kupahami selain … oh, astaga, alkohol sialan! Mustahil untuk dapat mengingat kejadian semalam.Tak kunjung menemukan jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih masuk akal. Dengan hati-hati, aku menyibak selimut putih kusut dan kemudian melepaskan diri. Ya Tuhan, aku sampai tak sadar telah menahan
Sehari sebelumnya“Aku melihat Evan masuk hotel bersama seorang perempuan,” kata Addy setengah jam yang lalu. Dan itulah yang membuatku datang ke Hotel Gallan. Sebenarnya aku tidak mempercayai kata-kata Addy, yang barangkali dia melihat sesuatu secara keliru. Atau mungkin dia salah mengenali orang lain sebagai Evan. Namun, sepuluh persen dari diriku tetap ingin memastikan bahwa dia salah.Saat aku berjalan memasuki Hotel Gallan, pikiranku terbagi antara perkataan Addy dan perasaan skeptisku sendiri. Lantai marmer putih membentang luas di lobi, lampu-lampu LED bersembunyi di bawahnya. Dinding-dinding utama terbuat dari kaca, menjulang ke atas dan bertemu dengan langit-langit tinggi berwarna putih, yang di tengahnya terdapat lampu gantung besar bergaya avant-garde. Rasa was-was menggerogoti ketika aku menuju meja resepsionis di mana seorang wanita ramah menyambutku dengan senyum hangat. “Selamat datang di Hotel Gallan. Ada yang bisa saya bantu?”Mengambil napas panjang, aku memutuskan
Sepeninggal mereka, aku berjalan gontai keluar dari hotel, refleksi dari rasa sakit hati yang terasa begitu jelas. Suasana di sekeliling terasa mengabur, sulit untuk digenggam. Pikiranku mengatakan orang-orang yang kulewati menatapku mencemooh. Atau sebenarnya tidak? Ya Tuhan, aku tidak bisa mengendalikan situasi ini!Pikiran kacauku menuntunku memasuki sebuah kelab malam, dan aku kemudian menuju bar, mengambil tempat duduk di sudut, agak menyingkir dari keramaian. Aku mencoba menenangkan diri, punggung tanganku menyeka air mata yang hampir jatuh. Jangan sampai orang lain melihatnya.Seorang bartender menghampiri. “Selamat datang! Ada yang bisa saya buat untuk Anda?”“Tequila martini, tolong. Kau punya?” Pria berwajah ramah itu mengangguk pelan. Barangkali dia tahu bahwa minuman yang kupesan ini memang akan kugunakan untuk melupakan sesuatu. “Yang kuat,” tambahku sebelum dia mulai mencampurkan bahan-bahan minuman.Setelah beberapa saat, bartender itu kembali lagi. “Ini dia, satu tequi