Langit pagi itu begitu biru ketika aku keluar dari kelab dengan langkah cepat. Wajahku mungkin mencerminkan kombinasi antara kegelisahan, rasa bersalah, dan kepanikan. Aku harus segera kembali ke unit dan bersiap ke kantor. Aku berdecak setelah menatap sekilas ke arlojiku. Pening dan mual kukesampingkan, walaupun tubuhku benar-benar menyuruhku untuk berhenti berjalan cepat dan istirahat. Astaga, tidak ada waktu!
Ketika pintu gedung apartemen terbuka, aku menabrak seseorang yang sedang berada di lorong. “Astaga, Mia—hai!”
Syukurlah, itu hanya Addy. “Hai, Addy. Aku sedang terburu-buru. Nanti saja, oke?”
“Tidak, tidak.” Addy mencegatku, membuatku tak repot-repot menyembunyikan wajah keberatan. “Aku berutang maaf padamu dan Evan—”
“Tidak,” selaku, langsung teringat kejadian semalam. “Kau benar, uh, dia berselingkuh. Tapi sungguh, kita bicarakan ini nanti saja, kumohon? Aku terlambat masuk kerja.”
“Baiklah. Segala sesuatu akan membaik seiring waktu.” Addy menatapku dengan simpati, tapi sejurus kemudian dia menyeringai jail. “Aku ingin bersimpati padamu, tapi sepertinya kau malah memiliki malam yang manis.”
“Apa katamu?”
Addy tak menjawab. Dia menunjuk ke lehernya sendiri kemudian menunjukku.
Aku melotot, gelagapan. “Apa terlihat sangat jelas?”
Addy tertawa kecil, menciptakan suasana yang lebih ringan. “Mia, kau benar-benar tahu cara membuat hidupmu jadi menarik. Sekarang bergegaslah, tapi ingat kau berutang cerita padaku.”
“Oke!” seruku sambil berlari ke unitku.
***
Aku menerobos pintu kantor dengan napas terengah-engah. Wajahku merona oleh kepanikan.
Cody, asistenku yang berusia 25 tahun, buru-buru menghampiri. Anting salib di telinga kirinya bergoyang-goyang tak karuan, mencerminkan kepanikan laki-laki itu. “Astaga, Mia! Kau dari mana saja? Rapat redaksi sudah dimulai sejak tadi dan Rory menanyakan keberadaanmu berkali-kali! Dia sepertinya sangat kesal padamu.”
Aku mengernyit. “Apa yang telah terjadi?”
Cody melihat ke arah pintu ruang rapat. “Masuklah dan kau akan tahu sendiri.”
Aku menelan ludah dan mendekati pintu ruang rapat dengan hati yang berdebar. Aku menoleh sekali lagi kepada Cody yang mengikuti di belakangku. Ketika aku memasuki ruangan, tatapan tajam Rory langsung menyambutku. Suasana rapat yang tegang seketika terasa dingin menyelimutiku.
“Ah, Mia, akhirnya kau datang,” sindir seorang wanita dengan lipstik merah di bibir montoknya. “Apa ini caramu menghargai waktu orang lain?” Ekspresi wajahnya mencerminkan ketidakpuasannya.
Aku meringis, mencoba menjelaskan, “Maaf, ponselku mati, dan ….” Aku menatap Rory yang mengangkat alis sambil menyilangkan tangan di dada, kemudian kepada beberapa karyawan di ruangan ini yang menatapku dengan iba. “Aku tidak punya alasan. Maaf.”
“Kau tahu betapa pentingnya rapat ini, bukan?” Suara Rory mengeras. “Kami sedang menghadapi situasi yang sangat tidak menguntungkan.”
Seseorang yang duduk di sebelah Rory memberi isyarat kepadaku untuk duduk. Aku segera melangkah ke kursiku dengan rasa malu yang mendalam.
Cody yang muram mengikutiku. Aku menatap padanya ketika sudah duduk. Dia mengangguk penuh simpati, tapi dia jelas tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
“Sekarang, kita akan membahas wawancara dengan Marcel Monaghan,” ujar Rory, memandangku dengan tajam (lagi). “Marcel Monaghan, orang yang seharusnya diwawancarai Mia, menarik diri secara tiba-tiba. Dia mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan wawancara.”
Aku memicingkan mata, mencoba memahami apa yang terjadi. “Tapi, itu tidak mungkin. Kami sudah mengatur semuanya dengan baik. Mengapa dia tiba-tiba menarik diri?”
Rory menatapku dengan tatapan skeptis. “Itu yang ingin kami ketahui darimu, Mia. Marcel adalah tanggung jawabmu, dan kegagalan ini jelas berdampak pada Majalah Pamela … dan padamu.”
Aku menelan ludah, berusaha menjelaskan situasi. Dasar ponsel sialan! “Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menarik diri. Semuanya sudah diatur dengan baik. Saya bisa mencoba menghubunginya dan mencari tahu apa yang terjadi.”
“Aku ada usulan.” Sebuah suara dari ujung meja menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan ini. Ia adalah Emma Freud, redaktur Rubrik Kecantikan yang memang sangat cantik. “Rory, kenapa tidak mempertimbangkan untuk mencari pengganti Marcel saja?”
Aku meringis mendengar usulannya. Mencari orang baru yang mau diwawancarai dalam waktu sesingkat ini akan sulit.
“Kau punya kandidat?” tagih Rory.
“River,” jawab Emma, “yang dulu pernah kubicarakan denganmu.”
Rory berpikir sejenak. Garis-garis usia di dahinya tampak lebih jelas. “Séduisant?”
“Betul,” jawab Emma. “Dia kolega bisnis suamiku. Aku akan meminta bantuannya.”
Aku mengernyit menatap Cody.
“Merk parfum. Kau tidak tahu?” bisik Cody.
Kerutan di dahiku semakin dalam, seketika membuatku khawatir jika akan seperti dahi Rory.
Cody geleng-geleng kepala, barangkali lelah menghadapiku. Pagi ini aku merasa tidak bisa diandalkan. Aku merasa gagal. Ini bukan seperti diriku yang biasanya.
“Kupikir dia—”
“Memang usianya tidak semuda Marcel Monaghan ….” Emma memotong perkataan Rory. Entah mengapa ketika Emma menyebut nama itu lagi, tubuhku langsung menegak kembali, merasa waspada. “Tapi dia tetap seorang pebisnis sukses yang memiliki segudang pengalaman. Dan menurutku dia juga lumayan tampan. Mungkin dia bisa memberikan warna yang berbeda untuk wawancara ini.”
Rory berpikir lagi, tak butuh waktu lama untuk mengangguk setuju. “Baiklah, kita bisa mencobanya.”
Emma bernapas lega. Entah mengapa aku juga ikut melakukannya.
“Akan tetapi ….” Rory kembali berkata dengan nada tajam. Jelas aku tahu itu tertuju padaku. Dan benar ketika dia melanjutkan perkataannya sambil menatapku. “Kita harus memastikan bahwa kita memiliki beberapa opsi yang kuat sebagai pengganti Marcel. Kita tidak bisa mengandalkan satu nama saja. Segera temukan kandidat-kandidat potensial dan berikan aku laporan selengkap mungkin.”
“Noted, Rory,” jawabku pelan.
“Rapat selesai.” Dan dengan langkah seperti gemuruh, dia pergi meninggalkan ruangan.
Aku bersandar lega di kursi. Beberapa orang yang juga akan meninggalkan ruangan, menepuk bahuku ketika lewat di belakang kursiku. Semua orang telah pergi kecuali aku dan Cody. Dia juga sama tertekannya sepertiku. “Maaf karena pasti kau juga terkena omelan Rory.”
Cody tak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang.
“Akan kutraktir minum,” bujukku.
“Setuju!” Dia menjawab dengan semangat. Aku menggeleng-geleng kepala ketika menatapnya berjalan riang ke pintu ruangan rapat. Sebelum keluar, dia berbalik lagi. “Mau pinjam pengisi daya ponsel?”
“Oh, inilah kenapa aku mencintaimu!”
Aku juga harus berterima kasih kepada Emma karena telah menyelamatkan bokongku.
***
“Mia!” panggil Emma. Aku segera memutar kursi kerja, menghadapnya yang masih memegangi gagang telepon. “River setuju untuk wawancara.”
“Sungguh?” Mataku berbinar ceria. Cepat sekali!
Emma mengangguk. “Tapi kau harus menemuinya sekarang juga. Di Hotel Gallan. Saat ini dia sedang berada di sana. Bergegaslah, aku akan mengirimkan detailnya ke ponselmu.”
Demi membayar rasa bersalahku pada Rory, aku segera keluar dari kantor, berjalan cepat menuju basement dan masuk ke mobil hitamku. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Emma. Dia mengirimkan sebuah foto kartu nama. Jantungku hampir saja berhenti ketika nama yang tertulis di sana adalah River Lynch. Kebetulan yang menyebalkan!
Tanpa memikirkan banyak hal, aku segera menyalakan mesin dan keluar dari gedung ini. Tidak kusangka aku akan kembali ke hotel itu lagi.
Aku mengucap syukur ketika melihat orang yang berdiri di belakang meja resepsionis bukanlah wanita yang kemarin. Aku segera mengatakan apa tujuanku. Dia kemudian memanggil seseorang untuk mengantarku ke ruangan yang tadi kusebut.
“Terima kasih,” ucapku pada pegawai laki-laki itu, memberikan sedikit uang tips.
Ia tersenyum ramah, kemudian membukakan pintu ruang pertemuan di depan kami. Aku mengambil langkah untuk memasuki ruangan itu, mendapati seseorang bersetelan abu-abu sempurna yang sedang memunggungiku, menghadap ke jendela. Pintu di belakangku telah tertutup.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.
Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku! Dan ketika dia menyeringai, aku tahu bahwa aku benar-benar sedang berada dalam masalah.
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.**Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku membe
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus
Apartemenku terasa hampa dan gelap. Aku terlalu malas untuk menyalakan lampu. Cahaya redup datang dari lampu-lampu perkotaan dan cahaya bulan yang menerobos melalui kaca jendela yang tirainya tak kututup sejak tadi. Aku duduk sendirian di sofa—aku dan Evan sering berhubungan seksual di sofa ini, sialan—botol minuman keras berjejer di meja, ada satu yang tergeletak. Pemandangan kota yang gemerlap dari jendela hanya membuatku merasa semakin terisolasi. Kekacauan yang telah menghantuiku sepanjang hari seolah menyeruak masuk ke dalam pikiranku, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kebingungan dan keputusasaan.Aku lelah. Hari ini sangat melelahkan. Dan kacau. Bel pintu apartemen berbunyi sejak beberapa waktu yang lalu. Aku mengabaikannya.Pandanganku merana menatap koper dan kotak-kotak berisi barang-barang milik Evan. Setelah pulang dari kerja, aku mengeluarkan semua pakaian dan benda miliknya. Namun, tak butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya meledak dalam tangis.Tanpa berpikir panjang
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
Jam digital di meja menampilkan angka 07.21. Aku mengamati penampilanku di cermin dari atas sampai bawah. Gaun pilihan River sangat pas membalut tubuhku. Tenunan sutra yang ramping membentuk gaun elegan ini dengan tali spaghetti yang dapat disesuaikan dan garis leher cowl. Rok maxi A-line dengan belahan depan setinggi paha menampilkan kaki yang kupakaikan ankle-strap high heel sandals berwarna silver. Rambut cokelat sebahuku kubuat sedikit bergelombang, dengan sisi samping yang dalam.Pintu kamar diketuk, dan aku mempersilakannya untuk masuk. Sosok River yang berdiri di depan pintu terpantul dalam cermin. Kami saling bertatapan selama beberapa detik. Dia memakai setelan jas berwarna abu-abu yang entah bagaimana membuatnya tampak begitu menawan dan berkelas. Dari dalam cermin, aku dapat melihat bahwa kami tampak serasi dengan pakaian yang kami kenakan.“Ka
(Jam berapa kau pulang? Aku akan menjemputmu.)Pesan dari River membuatku terkejut sesaat. Secara tidak langsung, dia mengisyaratkan agar aku menginap lagi di tempatnya. Aku kemudian mengetikkan balasan.(Malam ini aku akan menginap di tempat temanku. Malam para gadis!)“Dia pria itu?” tanya Addy ketika kutunjukkan pesan River padanya. “Paman Evan?”Aku mengangguk. “Sepertinya dia khawatir Evan akan datang ke rumahku lagi.”Addy manggut-manggut. Dia masih beradaptasi dan mencerna kisah yang kuceritakan padanya. Melihat aku yang sedang menangis karena sangat terpukul beberapa hari yang lalu, jelas Addy sangat membenci Evan, bahkan mungkin kebenciannya lebih besar daripada p
Ide itu berakhir dengan mengenaskan … dan sangat memalukan! Aku menendang-nendang selimut di udara, kemudian membekap wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras mungkin. Bodoh sekali! Sungguh bodoh!Kejadian beberapa menit yang lalu terlintas lagi di benakku. Setelah menenggak anggur dengan tamak, aku menarik kaus River di bagian dadanya, bermaksud agar wajahnya berdekatan denganku dan aku bisa menggodanya. Namun, karena kemarahanku yang menggebu, kekuatan tanganku terlalu kencang. River yang tidak siap dan sudah terpengaruh alkohol pun tak sigap dan malah menubrukku, membuatku jatuh terjengkang dari kursi tinggi dengan posisi punggung serta kepalaku menyentuh lantai dan kakiku masih tersangkut di kaki kursi. Beruntung bagi River karena dia masih sempat berpegangan pada meja yang menempel di dinding. Tangan satunya menggantung di udara, berusaha mencegahku jatuh, tapi tidak cukup gesit. Selama sepe
“Kau tidak punya teman atau kenalan di gedung ini?” tanya River setelah kami berada di dalam mobilnya.“Temanku yang tinggal di seberang unitku, masih dalam perjalanan dari Ashville dan baru akan sampai nanti, lewat tengah malam.” Aku menjelaskan. Setelah apa yang aku dan River lalui beberapa waktu terakhir, ini kali pertama kami berada dalam satu mobil. Dan dari apa yang dia kendarai, jelas aku yakin dia benar-benar seorang pria yang kaya raya.Fakta bahwa Evan merupakan ahli waris satu-satunya adalah hal terakhir yang bisa kupercaya. Tak ada tampang “kaya” dalam setiap gaya dan gerak-geriknya selama ini. Dan bagaimana dia berhasil menyembunyikan fakta itu selama ini dan menipuku habis-habisan memang patut diberikan penghargaan.Aku tersentak pelan ketika River tiba-tiba memukul
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona