Sepeninggal mereka, aku berjalan gontai keluar dari hotel, refleksi dari rasa sakit hati yang terasa begitu jelas. Suasana di sekeliling terasa mengabur, sulit untuk digenggam. Pikiranku mengatakan orang-orang yang kulewati menatapku mencemooh. Atau sebenarnya tidak? Ya Tuhan, aku tidak bisa mengendalikan situasi ini!
Pikiran kacauku menuntunku memasuki sebuah kelab malam, dan aku kemudian menuju bar, mengambil tempat duduk di sudut, agak menyingkir dari keramaian. Aku mencoba menenangkan diri, punggung tanganku menyeka air mata yang hampir jatuh. Jangan sampai orang lain melihatnya.
Seorang bartender menghampiri. “Selamat datang! Ada yang bisa saya buat untuk Anda?”
“Tequila martini, tolong. Kau punya?” Pria berwajah ramah itu mengangguk pelan. Barangkali dia tahu bahwa minuman yang kupesan ini memang akan kugunakan untuk melupakan sesuatu. “Yang kuat,” tambahku sebelum dia mulai mencampurkan bahan-bahan minuman.
Setelah beberapa saat, bartender itu kembali lagi. “Ini dia, satu tequini untuk seluruh masalahmu.”
Tak ayal, aku tergelak sumbing. Aku mengangkat gelas itu sejajar kepala, memutarnya sedikit untuk memandangi cairan berwarna amber yang memantulkan cahaya lampu. “Terkutuk kau, Evan Lynch!” desisku kemudian meneguk minuman itu. Rasa pedas dan hangat seketika menjalari kerongkonganku. Ini lebih baik … ini lebih baik.
Sementara aku terus meneguk minuman ini, bar yang awalnya hening mulai dipenuhi oleh dentangan musik dan obrolan pelanggan lain. Pandanganku menatap nanar pada gelas yang sudah hampir kosong. Luar biasa!
Bayangan seseorang yang menjulang tinggi menghalangi separuh cahaya mengenaiku. Aku menoleh malas padanya, mendapati dia tersenyum. Dia memakai setelan hitam, kemeja biru muda, dan dasi bergaris-garis.
“Aku tidak tertarik,” gumamku pelan, kemudian menunduk kembali, keberatan beban kepala yang tiba-tiba terasa seperti dua kali bobot tubuhku.
Sayangnya, pria itu bukannya pergi, tapi malah duduk di sampingku. “Boleh aku bergabung?”
“Kau sudah bergabung.”
Dia tertawa renyah, kemudian memanggil bartender. “Bisakah kau menyajikan gin untukku? Yang apa saja.”
Aku mengangkat gelasku lagi, berniat menyesap isinya, tapi tidak ada lagi yang tersisa. Aku menatap gelas itu dengan sedih. Dua detik kemudian, tangan kananku terangkat dengan semangat. “Aku mau satu lagi yang sama seperti tadi!”
“Sepertinya ada yang membuatmu sangat terluka malam ini,” katanya, tergelak manis.
Aku tak mengacuhkannya, mataku sedang terfokus ke pria di belakang meja bar yang sedang meramu minuman luar biasaku. Ayo, ayo, ayo segera bawakan minumanku, Sobat!
Mataku berbinar menyambut segelas cairan amber yang disajikan kepadaku. Aku kembali menenggaknya, kemudian muncul rasa gelitik di entah bagian mana di tubuhku yang membuatku tertawa. Aku serasa berada di puncak gunung himalaya sekaligus di pinggir pantai di Hawaii. Astaga, kau tak akan mengerti.
“Oke, Miss Mia ….” Pria di sampingku berbicara lagi. “Kau mau bercerita padaku mengenai pria brengsek yang terus-terusan kau kutuk itu?”
Apa aku mengutuk? Tunggu, bagaimana dia bisa tahu namaku? Siapa namanya? Ya ampun, aku bahkan tidak menyadari apa saja yang keluar dari mulutku.
“Kau!” Aku menunjuk tepat di hidungnya. Dia tertawa halus, mengembuskan angin di jariku. “Berjanjilah tak akan menyiarkan ini di berita!” Dia mirip pembawa berita!
“O-okey …?”
“Sssuuuushhhh!” Aku menekan bibirnya dengan jari telunjuk. “Ini giliranku bercerita!”
Dia tak menjawab, hanya mengangguk pasrah.
“Pria yang aku bisa melihat masa depanku bersamanya … dia mengkhianatiku! Aku telah melakukan banyak hal untuknya! Pria brengsek itu—” Aku menenggak tequini lagi.
Pria itu masih diam mendengarkan. Aku menceritakan apa yang terjadi. Awal mula hubungan kami, rencana-rencana kami (atau mungkin hanya aku yang berencana?), sikap manisnya selama ini, dan segalanya. Hingga semua bayangan indah itu hancur saat aku memergokinya berselingkuh dengan Cinderella itu.
“Mencoba merayuku, huh?” Suara tawanya mengalirkan rasa gelitik di telingaku. Entah bagaimana ceritanya, tapi kini posisi wajah kami sangat dekat. Aku bisa mencium bau kolonye di lehernya. Tanganku berada di dadanya. Semuanya tampak kabur. Aku seperti melompat ke adegan satu, lalu adegan tiga, dan tiba-tiba sampai di adegan enam!
“Kau yang mendatangiku.” Wajahku semakin mendekat, tanganku menarik dasinya. Napas bau alkohol kami bercampur jadi satu, bergumul di tengah-tengah. Jantungku berdenyut ketika ujung bibir kami bersentuhan sepersekian detik. Aku menginginkan lebih.
Ia menarik diri, membuatku merasa terbuang dan kesepian. Tangannya menggenggam tanganku yang berada di antara kami. “Mau membalas dendam?” Penawarannya begitu memikat, terdengar seperti ide yang bagus.
“Terserah bagaimana kau menyebutnya.”
Dia tertawa pelan di telingaku. “Tidak biasanya aku bermain-main.” Suara musik yang kencang mengalun di latar belakang.
“Bermainlah bersamaku,” ucapku, lebih seperti meminta. Jantungku berdebar luar biasa. Dan ketika akhirnya bibir kami bertemu, seakan segalanya berhenti, termasuk detak jantungku.
Kami masing-masing melepaskan diri, bernapas seadanya dan saling menatap. Tak pernah aku menemukan mata hijau-kelabu seindah ini sebelumnya.
Tangannya naik ke leherku, berputar ke tengkuk dan menarikku untuk kembali menciumku. Seharusnya aku berhenti. Seharusnya aku berhenti. Tapi tidak. Entah mengapa, ini terasa benar. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya.
Hingga aku tak ingat secara pasti lagi ketika pria itu meletakkan beberapa lembar uang di meja bar yang menurutku terlalu banyak. Kami naik ke salah satu suite yang memang tersedia di kelab malam tersebut.
Aku merasakan perut telanjangnya di telapak tanganku. Bibirnya mencecap leherku sementara tangannya melepaskan kancing-kancing kemejaku. Dengan satu gerakan mulus, dia berhasil menjatuhkanku di tempat tidur.
Dari posisi ini, aku dapat melihatnya menjulang begitu tinggi dan besar. Mataku tak cukup jernih untuk melihat segala detail-detailnya, tapi yang aku tahu, pria itu begitu indah.
Aku hampir tak bisa melihat gerakannya hingga ia tiba-tiba merangkak di atasku. “Apa yang kau inginkan?” bisiknya, mengirimkan embusan napas di bibirku. Jemarinya meluncur di sepanjang tulang punggungku.
“Buat aku lupa,” kataku teperdaya, mengalungkan lengan ke lehernya. “Aku ingin melupakannya barang sebentar saja.”
Dan kemudian tangannya menuju tengkukku, menariknya hingga ia bisa menciumku dengan begitu dalam, begitu dahsyat.
Langit pagi itu begitu biru ketika aku keluar dari kelab dengan langkah cepat. Wajahku mungkin mencerminkan kombinasi antara kegelisahan, rasa bersalah, dan kepanikan. Aku harus segera kembali ke unit dan bersiap ke kantor. Aku berdecak setelah menatap sekilas ke arlojiku. Pening dan mual kukesampingkan, walaupun tubuhku benar-benar menyuruhku untuk berhenti berjalan cepat dan istirahat. Astaga, tidak ada waktu!Ketika pintu gedung apartemen terbuka, aku menabrak seseorang yang sedang berada di lorong. “Astaga, Mia—hai!”Syukurlah, itu hanya Addy. “Hai, Addy. Aku sedang terburu-buru. Nanti saja, oke?”“Tidak, tidak.” Addy mencegatku, membuatku tak repot-repot menyembunyikan wajah keberatan. “Aku berutang maaf padamu dan Evan—”“Tidak,” selaku, langsung teringat kejadian semalam. “Kau benar, uh, dia berselingkuh. Tapi sungguh, kita bicarakan ini nanti saja, kumohon? Aku terlambat masuk kerja.”“Baiklah. Segala sesuatu akan membaik seiring waktu.” Addy menatapku dengan simpati, tapi sej
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.**Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku membe
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus
“Ini tidak gratis, kau tahu?”Sesuatu yang besar dari dalam mimpi menghantamku dengan keras, instan membuat mataku terbuka lebar. Aku terbangun di sebuah kamar tak dikenal, dengan kepala berdenyut-denyut dan dikelilingi oleh kebingungan. Setelah mati-matian beradaptasi dengan cahaya dan dapat membuka mata dengan ringan, ruangan ini perlahan-lahan mulai tampak jelas, menampakkan seorang pria asing yang bergelung di selimut di sampingku.Tunggu, APA?!Kepanikan melanda, mendorongku untuk mencoba merangkai kejadian-kejadian sebelumnya yang membawaku ke situasi gila ini. Semuanya tampak berkabut, gambar-gambar adegan yang buram melintas di benakku. Tak ada satu pun yang kupahami selain … oh, astaga, alkohol sialan! Mustahil untuk dapat mengingat kejadian semalam.Tak kunjung menemukan jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih masuk akal. Dengan hati-hati, aku menyibak selimut putih kusut dan kemudian melepaskan diri. Ya Tuhan, aku sampai tak sadar telah menahan
Sehari sebelumnya“Aku melihat Evan masuk hotel bersama seorang perempuan,” kata Addy setengah jam yang lalu. Dan itulah yang membuatku datang ke Hotel Gallan. Sebenarnya aku tidak mempercayai kata-kata Addy, yang barangkali dia melihat sesuatu secara keliru. Atau mungkin dia salah mengenali orang lain sebagai Evan. Namun, sepuluh persen dari diriku tetap ingin memastikan bahwa dia salah.Saat aku berjalan memasuki Hotel Gallan, pikiranku terbagi antara perkataan Addy dan perasaan skeptisku sendiri. Lantai marmer putih membentang luas di lobi, lampu-lampu LED bersembunyi di bawahnya. Dinding-dinding utama terbuat dari kaca, menjulang ke atas dan bertemu dengan langit-langit tinggi berwarna putih, yang di tengahnya terdapat lampu gantung besar bergaya avant-garde. Rasa was-was menggerogoti ketika aku menuju meja resepsionis di mana seorang wanita ramah menyambutku dengan senyum hangat. “Selamat datang di Hotel Gallan. Ada yang bisa saya bantu?”Mengambil napas panjang, aku memutuskan