Share

Bab 2

Sepeninggal mereka, aku berjalan gontai keluar dari hotel, refleksi dari rasa sakit hati yang terasa begitu jelas. Suasana di sekeliling terasa mengabur, sulit untuk digenggam. Pikiranku mengatakan orang-orang yang kulewati menatapku mencemooh. Atau sebenarnya tidak? Ya Tuhan, aku tidak bisa mengendalikan situasi ini!

Pikiran kacauku menuntunku memasuki sebuah kelab malam, dan aku kemudian menuju bar, mengambil tempat duduk di sudut, agak menyingkir dari keramaian. Aku mencoba menenangkan diri, punggung tanganku menyeka air mata yang hampir jatuh. Jangan sampai orang lain melihatnya.

Seorang bartender menghampiri. “Selamat datang! Ada yang bisa saya buat untuk Anda?”

“Tequila martini, tolong. Kau punya?” Pria berwajah ramah itu mengangguk pelan. Barangkali dia tahu bahwa minuman yang kupesan ini memang akan kugunakan untuk melupakan sesuatu. “Yang kuat,” tambahku sebelum dia mulai mencampurkan bahan-bahan minuman.

Setelah beberapa saat, bartender itu kembali lagi. “Ini dia, satu tequini untuk seluruh masalahmu.”

Tak ayal, aku tergelak sumbing. Aku mengangkat gelas itu sejajar kepala, memutarnya sedikit untuk memandangi cairan berwarna amber yang memantulkan cahaya lampu. “Terkutuk kau, Evan Lynch!” desisku kemudian meneguk minuman itu. Rasa pedas dan hangat seketika menjalari kerongkonganku. Ini lebih baik … ini lebih baik.

Sementara aku terus meneguk minuman ini, bar yang awalnya hening mulai dipenuhi oleh dentangan musik dan obrolan pelanggan lain. Pandanganku menatap nanar pada gelas yang sudah hampir kosong. Luar biasa!

Bayangan seseorang yang menjulang tinggi menghalangi separuh cahaya mengenaiku. Aku menoleh malas padanya, mendapati dia tersenyum. Dia memakai setelan hitam, kemeja biru muda, dan dasi bergaris-garis.

“Aku tidak tertarik,” gumamku pelan, kemudian menunduk kembali, keberatan beban kepala yang tiba-tiba terasa seperti dua kali bobot tubuhku.

Sayangnya, pria itu bukannya pergi, tapi malah duduk di sampingku. “Boleh aku bergabung?”

“Kau sudah bergabung.”

Dia tertawa renyah, kemudian memanggil bartender. “Bisakah kau menyajikan gin untukku? Yang apa saja.”

Aku mengangkat gelasku lagi, berniat menyesap isinya, tapi tidak ada lagi yang tersisa. Aku menatap gelas itu dengan sedih. Dua detik kemudian, tangan kananku terangkat dengan semangat. “Aku mau satu lagi yang sama seperti tadi!”

“Sepertinya ada yang membuatmu sangat terluka malam ini,” katanya, tergelak manis.

Aku tak mengacuhkannya, mataku sedang terfokus ke pria di belakang meja bar yang sedang meramu minuman luar biasaku. Ayo, ayo, ayo segera bawakan minumanku, Sobat!

Mataku berbinar menyambut segelas cairan amber yang disajikan kepadaku. Aku kembali menenggaknya, kemudian muncul rasa gelitik di entah bagian mana di tubuhku yang membuatku tertawa. Aku serasa berada di puncak gunung himalaya sekaligus di pinggir pantai di Hawaii. Astaga, kau tak akan mengerti.

“Oke, Miss Mia ….” Pria di sampingku berbicara lagi. “Kau mau bercerita padaku mengenai pria brengsek yang terus-terusan kau kutuk itu?”

Apa aku mengutuk? Tunggu, bagaimana dia bisa tahu namaku? Siapa namanya? Ya ampun, aku bahkan tidak menyadari apa saja yang keluar dari mulutku.

“Kau!” Aku menunjuk tepat di hidungnya. Dia tertawa halus, mengembuskan angin di jariku. “Berjanjilah tak akan menyiarkan ini di berita!” Dia mirip pembawa berita!

“O-okey …?”

Sssuuuushhhh!” Aku menekan bibirnya dengan jari telunjuk. “Ini giliranku bercerita!”

Dia tak menjawab, hanya mengangguk pasrah.

“Pria yang aku bisa melihat masa depanku bersamanya … dia mengkhianatiku! Aku telah melakukan banyak hal untuknya! Pria brengsek itu—” Aku menenggak tequini lagi.

Pria itu masih diam mendengarkan. Aku menceritakan apa yang terjadi. Awal mula hubungan kami, rencana-rencana kami (atau mungkin hanya aku yang berencana?), sikap manisnya selama ini, dan segalanya. Hingga semua bayangan indah itu hancur saat aku memergokinya berselingkuh dengan Cinderella itu.

“Mencoba merayuku, huh?” Suara tawanya mengalirkan rasa gelitik di telingaku. Entah bagaimana ceritanya, tapi kini posisi wajah kami sangat dekat. Aku bisa mencium bau kolonye di lehernya. Tanganku berada di dadanya. Semuanya tampak kabur. Aku seperti melompat ke adegan satu, lalu adegan tiga, dan tiba-tiba sampai di adegan enam!

“Kau yang mendatangiku.” Wajahku semakin mendekat, tanganku menarik dasinya. Napas bau alkohol kami bercampur jadi satu, bergumul di tengah-tengah. Jantungku berdenyut ketika ujung bibir kami bersentuhan sepersekian detik. Aku menginginkan lebih.

Ia menarik diri, membuatku merasa terbuang dan kesepian. Tangannya menggenggam tanganku yang berada di antara kami. “Mau membalas dendam?” Penawarannya begitu memikat, terdengar seperti ide yang bagus.

“Terserah bagaimana kau menyebutnya.”

Dia tertawa pelan di telingaku. “Tidak biasanya aku bermain-main.” Suara musik yang kencang mengalun di latar belakang.

“Bermainlah bersamaku,” ucapku, lebih seperti meminta. Jantungku berdebar luar biasa. Dan ketika akhirnya bibir kami bertemu, seakan segalanya berhenti, termasuk detak jantungku.

Kami masing-masing melepaskan diri, bernapas seadanya dan saling menatap. Tak pernah aku menemukan mata hijau-kelabu seindah ini sebelumnya.

Tangannya naik ke leherku, berputar ke tengkuk dan menarikku untuk kembali menciumku. Seharusnya aku berhenti. Seharusnya aku berhenti.  Tapi tidak. Entah mengapa, ini terasa benar. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya.

Hingga aku tak ingat secara pasti lagi ketika pria itu meletakkan beberapa lembar uang  di meja bar yang menurutku terlalu banyak. Kami naik ke salah satu suite yang memang tersedia di kelab malam tersebut.

Aku merasakan perut telanjangnya di telapak tanganku. Bibirnya mencecap leherku sementara tangannya melepaskan kancing-kancing kemejaku.  Dengan satu gerakan mulus, dia berhasil menjatuhkanku di tempat tidur.

Dari posisi ini, aku dapat melihatnya menjulang begitu tinggi dan besar. Mataku tak cukup jernih untuk melihat segala detail-detailnya, tapi yang aku tahu, pria itu begitu indah.

Aku hampir tak bisa melihat gerakannya hingga ia tiba-tiba merangkak di atasku. “Apa yang kau inginkan?” bisiknya, mengirimkan embusan napas di bibirku. Jemarinya meluncur di sepanjang tulang punggungku.

“Buat aku lupa,” kataku teperdaya, mengalungkan lengan ke lehernya. “Aku ingin melupakannya barang sebentar saja.”

Dan kemudian tangannya menuju tengkukku, menariknya hingga ia bisa menciumku dengan begitu dalam, begitu dahsyat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status