Share

Bab 1

Sehari sebelumnya

“Aku melihat Evan masuk hotel bersama seorang perempuan,” kata Addy setengah jam yang lalu. Dan itulah yang membuatku datang ke Hotel Gallan. Sebenarnya aku tidak mempercayai kata-kata Addy, yang barangkali dia melihat sesuatu secara keliru. Atau mungkin dia salah mengenali orang lain sebagai Evan. Namun, sepuluh persen dari diriku tetap ingin memastikan bahwa dia salah.

Saat aku berjalan memasuki Hotel Gallan, pikiranku terbagi antara perkataan Addy dan perasaan skeptisku sendiri. Lantai marmer putih membentang luas di lobi, lampu-lampu LED bersembunyi di bawahnya. Dinding-dinding utama terbuat dari kaca, menjulang ke atas dan bertemu dengan langit-langit tinggi berwarna putih, yang di tengahnya terdapat lampu gantung besar bergaya avant-garde.

Rasa was-was menggerogoti ketika aku menuju meja resepsionis di mana seorang wanita ramah menyambutku dengan senyum hangat. “Selamat datang di Hotel Gallan. Ada yang bisa saya bantu?”

Mengambil napas panjang, aku memutuskan untuk bertanya, memanfaatkan bakat kecilku. “Hai, saya ingin tahu apakah Anda bisa membantu saya dengan sesuatu. Saya dan seorang teman sedang berencana membuat kejutan untuk teman lama kami yang baru datang dari Prancis. Anda tahu, kejutan kecil yang menyenangkan, di hotel ini. Sayangnya, dia sekarang malah tidak bisa dihubungi—astaga, kebiasaan buruknya memang merepotkan. Teman saya bernama Evan. Evan Lynch. Apakah Anda bisa membantu saya mengecek apakah dia sudah melakukan reservasi di sini?” Aku menahan napas. Ya Tuhan, apakah yang kukatakan barusan masuk akal? Aku tidak banyak berpikir. Apakah dia akan percaya?

Sang resepsionis mengetik sesuatu di keyboard, semoga dia memang sedang menagkses sistem reservasi hotel. Setelah beberapa saat, wanita bersurai cokelat terang itu menatapku. “Saya bisa membantu Anda, jangan khawatir. Bisa tolong eja nama belakangnya?”

“Lynch. L-Y-N-C-H. Evan Lynch.”

Dia mengangguk. “Saya akan memeriksanya. Tolong tunggu sebentar.”

Jemariku mengetuk-ngetuk meja resepsionis yang terasa begitu dingin. Jantungku berdegup kencang. Perkataan Addy kembali terlintas di benakku. Astaga, Addy, apakah yang kulakukan saat ini benar? Datang ke sini, diam-diam mengecek nama kekasihku dalam sistem reservasi hotel, meragukan kesetiaannya setelah apa yang kami lalui bersama selama dua tahun.

Aku menghela napas lagi, meyakinkan diri sendiri. Apa yang kulakukan ini bukanlah untuk mengetes kesetiaan Evan, tetapi membuktikan bahwa Addy memang keliru.

Si resepsionis kembali menatapku. “Maaf, tapi saya tidak bisa menemukan informasi check-in terbaru yang sesuai dengan apa yang Anda sebutkan. Ada kemungkinan dia tidak melakukan reservasi di sini, atau mungkin menggunakan nama lain. Apakah ada nama lain yang Anda pikirkan?”

Aku mengembuskan napas lega. “Lupakan saja. Mungkin dia memang belum melakukan reservasi. Terima kasih atas bantuan Anda.” Jelas sudah bahwa penglihatan Addy memang salah.

Duduk di lobi, aku membuka ponsel, berencana mengirim pesang singkat kepada Addy bahwa dia memang salah mengenali orang lain sebagai Evan. Dia tidak tahu Evan sebaik aku. Gagasan bahwa Evan terlibat dalam situasi yang mencurigakan tidaklah masuk akal.

(Aku mendatangi hotel yang kau katakan dan tidak menemukan sesuatu apa pun. Mungkin kau harus lebih sering bertemu Evan agar tidak salah mengenalinya lagi.)

Aku memencet tombol kirim, kemudian bersandar pada sandaran sofa tunggal. Aku menghabiskan sekitar dua menit untuk mengamati dekorasi lobi ini. Ruang duduk terdiri dari sofa-sofa berwarna beige. Beberapa tanaman hias di tempatkan di sudut-sudut ruangan. Di salah ujung ruangan, terdapat sebuah seni instalasi berwarna hitam-emas yang aku tidak yakin apa bentuknya, tapi tak dapat dipungkiri tampak begitu mewah.

Merasa cukup puas, aku berdiri dengan bangga, siap meletakkan kejadian ini di belakang dan menyimpannya rapat-rapat. Aku semakin yakin dengan penilaianku, bahwa hubunganku dengan Evan memang sangat kuat.

Namun, jantungku berdenyut hebat ketika mengikuti arah pandangku dan menemukan Evan di seberang lobi. Pikiran dan emosiku berkecamuk: keterkejutan, kebingungan, kekecewaan—semuanya bersatu dan menghantam ulu hatiku. Di sana aku mendapati Evan, pria yang selama ini kukenal (atau mungkin ternyata aku tidak mengenalnya dengan baik) sedang berbagi momen intim bersama seorang wanita asing. Gestur mereka menunjukkan bahwa mereka tengah dimabuk asmara, yang sangat naif jika aku percaya hubungan mereka hanyalah sebuah pertemanan, atau bahkan kerabat. Mataku jelas mengenali siapa orang di sana, tapi hatiku tetap menanyakan benarkah itu adalah Evan?

Adegan mesra keduanya membentang di hadapanku, memunculkan kabut dalam keyakinanku. Aku jelas berada di tengah-tengah situasi yang mengharuskanku memilih untuk percaya dengan kenangan kami selama ini ataukah pada fakta tak terbantahkan di depan mata.

Menarik napas panjang, aku memutuskan untuk menghampiri mereka. Setiap langkah yang kuambil serasa berat, ada sesuatu hal tak masuk akal yang menyuruhku untuk pergi saja, berpura-pura tidak melihat apa pun, dan menjalani kehidupan percintaanku sebagaimana biasanya.

Namun, tidak bisa. “Evan?” Suaraku bergetar. Astaga, aku benar-benar sudah tidak bisa mundur. “Siapa wanita ini?”

Wajah Evan seketika pucat. Ia buru-buru mengurai pelukannya dengan si wanita berambut pirang dan bermata biru. Ya ampun, serius? 

“Mengapa kau di sini?” tanyanya balik alih-alih menjawabku.

Aku kehilangan kesabaran. “SIAPA DIA?!” Dadaku naik-turun tak karuan. “Kau berselingkuh dariku?”

Respons Evan salah. Seharusnya wajahnya tidak pucat, seharusnya dia tidak buru-buru melepaskan diri dari wanita itu. Seharusnya dia tidak bersikap seperti orang tertangkap basah. Ayolah, ayo tertawa dan kenalkan wanita ini padaku.

Lututku makin terasa lemas ketika sang wanita juga terlihat terkejut dan salah tingkah. Siapa kira-kira namanya? Ashley? Olivia? Apa nama yang cocok untuk gadis berambut pirang sekaligus bermata biru? Cinderella?

Evan tergagap, kesulitan mencari kata-kata. “Aku … aku bisa menjelaskan, tolong beri aku waktu.”

Salah, Evan. Jawaban yang salah!

Perasaan dikhianati menghantamku seperti ombak besar, menggulungku ke tengah-tengah lautan dan menenggelamkanku ke dasar. Dadaku sesak. Aku tidak bisa berpegangan pada apa pun untuk menolongku kembali ke permukaan. “Kau mengkhianatiku!”

Evan mencoba meraihku, yang gagal karena aku langsung mengambil langkah mundur. “Beri kesempatanku untuk menjelaskan. Kumohon, ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

Memangnya apa yang kupikirkan? Pikiranku tak karuan. Semuanya terasa bising dan kacau hingga aku tidak bisa mendengar isi kepalaku sendiri. Aku lagi-lagi terjebak dalam dua hal. Apakah aku harus memberi kesempatan kepada Evan menjelaskan segalanya, yang barangkali akan menyelamatkan hubungan kami? Atau haruskah aku pergi saja dengan membawa harga diriku?

Aku melangkah mendekati Evan, secara otomatis membuat si wanita sedikit memberi jarak. Di wajah Evan tampak seakan dia diberi kesempatan, seakan dia berhasil membujukku. Aku mencondongkan wajah, menatap matanya dengan tajam. “Jangan pernah menghubungiku lagi!”

Suaraku bergetar dengan campuran kemarahan, perasaan dikhianati, dan kekecewaan. Aku menarik diri, demi untuk melihat wajah kaku Evan. 

“Mia, kumohon ….”

Si wanita menarik napas dan membuka mulut, tampak hendak mengatakan sesuatu. Tapi ekor mataku menangkap gerakan tangan Evan yang mencegahnya bicara.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik, menyadari bahwa beberapa orang sedang menyaksikan kami. Pandanganku secara otomatis terarah pada sang resepsionis. Dia, yang kutebak telah melihat semuanya, buru-buru menundukkan kepala. Sungguh, etos kerjanya perlu diapresiasi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status