"Mamaaaa, ada culik," teriaknya sambil lari ke dalam, Eful dan kedua temannya yang menyaksikan itu terbengong-bengong. Melihat Wulan tunggang langgang lari sambil berteriak histeris
Lalu Susan keluar dengan tergopoh dan membawa sapu di tangannya. Seketika mendelik melihat ke arah Eful dan kedua temannya yang sedang menatap ke arahnya.
"Po—Polisi—" Susan mematung dan tak melanjutkan ucapannya. Matanya melotot sempurna melihat ketiga lelaki berseragam coklat dihadapannya.
"Selamat siang, Ibu. Kami kesini mau menjemput, Ibu Susan Febriani untuk pemeriksaan kasus UU ITE yang di laporkan oleh sodara Nurmala Sari," ucap Eful dengan lugas.
"Sa—Saya?” Susan terus tergagap menanggapi pertanyaan pria berseragam itu. Sungguh ia shock sampai didatangi polisi seperti ini. Padahal dengan jelas Minggu lalu Eni bilang akan aman karena ada kenalannya di kepolisian, tapi
Menjemput Eni. "Assalamualaikum." Terdengar suara lelaki mengucapkan salam di luar. Eni bangkit dengan wajah ditekuk, jika saja cintanya tidak besar pada Anton, mungkin sudah sejak lama ia meninggalkan bapak dua anak itu. "Waalaikumsalam," sahutnya sambil membuka pintu dalam satu kali tarikan. "Polisi?" ucapnya dengan mata yang melotot, ia tak menyangka Mala akan melanjutkan kasusnya. "Polisi?" ucap Anton yang mengulang perkataan istrinya, jantungnya terasa loncat dari tempatnya, melihat dua polisi sedang berdiri di hadapan rumahnya dengan senyum manis dan wajah yang ramah. "Ada apa, ini?" Anton membatin. "Selamat siang, Pak, Bu," sapa Eful, ia ingin tertawa sekencangnya melihat muka cengo Anton dan Eni perihal melihatnya. "Iya, ada apa, ya Pak?" sahut Anton berusaha menguasai kekagetannya. Lagian pikirnya ia tak merasa melakukan sebuah perbuatan yang melanggar hukum jadi ia berusaha untuk tenang. Lain hal dengan sang istri yang sudah dari tadi terus menelan ludah dengan dipaksa
"Apakah teman saya tadi tidak ada yang ke rumah, Bapak?" tanya Eful. Ia baru ingat tadi saat sebelum ke rumah Susan dia meminta temannya untuk meminta pak RT agar membersamai mereka untuk menjemput Susan. "Iya, ada. Tadi saya lagi tanggung ngasih makan kambing, jadi mandi dulu sebentar. Pas saya ke rumah Susan, kalian sudah kesini," jelas pak RT."Maaf saya lancang pak RT." "Tak apa, lagian saya yang sedikit terlambat," sahut pak RT dengan sedikit tak enak rasa, karena dia tadi malah mandi dulu."Ayo, Ni," ajak Anton sambil meraih jaket Levis lusuh kesayangannya. Tampilan Anton memang masih gaya pemuda Bandung jaman dulu. Panas atau hujan tetap pake jaket. Hahahahah. (Boleh kalian tanyain deh. Pemuda di kota kembang jaman dulu, pada masanya saat itu, aku pun masih SD kalau gak salah. Jaket jeans adalah seperti baju yang wajib dimiliki para anak muda waktu itu) Wkwkwkwk. Author gaje sekali, heheh. "Aku nggak mau, Bang. Aku gak salah. Yang mengunggah video itu bukan aku," Kilah Eni d
Kedatangan orang tua Helen."Assalamualaikum. La, Mala."Aku yang sedang menata baju kedalam lemari seketika menajamkan pendengaraku guna memperjelas suara yang samar ditelinga ini. Jarak ruang tamu dan kamarku memang hanya terhalang ruang tamu. Tapi terkadang suara dari depan tidak kedengar dengan jelas."Assalamualaikum. Tok … tok!" kini selain ucapan salam disertai pula dengan ketukan pintu. Aku pun langsung bangkit karena ternyata itu bukan sekedar pendengaranku saja, tapi sepertinya memang ada tamu."Waalaikumsalam," sahutku sambil bergegas bangun dan menuju ke arah pintu depan."Mala," ucap seorang ibu berbaju navy. Dihadapanku kini tengah ada 3 orang tetangga satu kampung. Meski tak akrab, tapi aku tau siapa mereka.Kedua orang tua Helen dan pamannya, yang dikenal sebagai ketua RW yan
"Iya, kamu sombong banget sama tetangga. Masalah toktok aja sampe rumit begini. Lebay hidupmu!" Ejek ibunya Helen.Emosiku yang sudah mulai naik sekaan tersiram bensin dan kini sudah siap meledak."Apa, Ibu, bilang? Masalah sepele? Saya di fitnah di media sosial oleh ketiga orang itu. Videonya saja di tonton jutaan mata diseluruh pelosok negeri ini. Ibu, bilang Masalah toktok saja aku lebay? Kalau posisi ini di balik dan yang di unggah adalah video anaknya Ibu yang sedang berusaha menggoda suami orang, apakah, Ibu. dan anak Ibu, bisa terima?"Aku sudah tak bisa mengontrol emosiku. Aku baru saja kehilangan anak. Masalah datang bertubi-tubi sekali. Aku yang seharusnya bedrest malah kacau balau dengan banyak masalah."Iya, kami paham, tapi kita tetanggaan lho, Mala," timpal bapaknya Helen."Tentu saja kita tetanggan dan anak kalian sangat
Di tahan."Tentu saja kami paham masalah damai ini, dan saya pastikan akan ada ganti rugi yang tidak sedikit," ucap ibunya Helen dengan angkuh. Dia lalu bersedekap di dadanya. Mungkin berusaha menunjukkan bahwa dia banyak uang.Bu RT menyenggolku dengan bahunya. Kebetulan kami duduk rapat berdampingan. Karena kursi tempat awal aku duduk di duduki oleh pak RT. Mata bu RT memutar ke atas bak orang yang akan pingsan, mungkin saking jengahnya dengan gestur tubuh dan bahasa ibunya Helen saat bicara tadi. "Iya Mala. Mending damai aja, jangan egois kamu," ucap ibu dengan pandangan tajam. Ingin rasanya aku colok saja matanya. Dia bilang aku egois? Gak ada ot@k emang. "Iya, ntr kita kasih duit banyak," timpal ibunya Helen. Aku meradang dan bangkit dengan emosi tertahan. "Saya egois, Bu? Benarkah? Apakah hati kecil Ibu juga mengatakan bahwa menantu Ibu ini adalah manusia egois? Yang selalu diam saja ketika dicaci maki, yang selalu tak bersuara ketika disalahkan dengan tanpa alasan?" Aku bena
"Mala, bagaimana selanjutnya?" tanya pak RT dengan suara yang lembut. Beliau memandang ke arahku yang baru saja menjatuhkan bokongku di sebelah bu RT. "Seperti yang saya bilang, Pak RT. Semua telah saya serahkan ke pihak yang berwajib. Jadi semua sudah bukan urusan saya," sahutku mencoba tetap dalam planing awalku. "Cih, keras kepala sekali kali kamu Ma—" "Bu!" bentak bapaknya Helen. Mulut ibunya Helen berhenti saat masih menganga, entah akan mengucapkan apa. Namun, karena pelototan dari lelaki berbaju koko di sebelahnya, wanita itu seketika mingkem tak melanjutkan ucapannya. Padahal aku sangat penasaran dengan apa yang akan berbunyi dari mulutnya. "Diam coba! Kita disini mau meminta kebijakan dari Mala, kamu malah terus teriak-teriak tidak berguna. Diam dan dengarkan," ketusnya, sepertinya bapaknya Helen sudah kesal. Sama seperti aku. Ibunya Helen sama ibu mas Rahman kenapa klop banget gak tau dirinya. Astaghfirullah. Aku mengusap dadaku seketika. Suara motor dengan knalpot yang
Belum ada jalan keluar bagian A. "Jadi jelas, ya semua. Kakak saya ini TIDAK AKAN MENCABUT LAPORANNYA! Semoga dan ibu mengerti apa yang saya lakukan," tutur Aisyah dengan angkuh. gadis berusia tujuh belas tahun itu menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka lebar. "Dzolim sekali sama orang. Puas, ya? Kalau melihat orang menderita. Tampilan agamis tapi julid," gerutu ibunya sambil mendelik ke arah Aisyah. "Kalau begini kan jadi sepuluh sebelas sama, Ibu. Tampilan, Ibu juga sosialita pengajian, berbaju syar'i tapi sayang, gak bisa menjaga bicaranya sama orang lain," balas Aisyah tak kalah pedasnya. "Sudah, Apakah!" tegurku. Meski aku setuju dengan ucapan Adik bungsuku itu, namun aku tak akan mengambil kesempatan dengan membiarkan Aisyah mengata-ngatai orang yang usianya lebih tua darinya bahkan dariku. Emak dan abah sangat menjunjung tinggi tentang adab. Seandainya sekarang mendengar atau melihat Aisyah selancang itu, sudah pasti akan kena omel keduanya. Aisyah langsung memutar bo
Part : Belum ada jalan keluar bagian B."Abang minta maaf, La. Atas kesalahan Eni sama kamu," ucapnya lagi. Entah yang keberapa kali bang Anton minta maaf sejak setengah jam duduk di terasku. Aku tak menjawabnya. Semua orang minta maaf dan ingin dimaafkan. Apalagi alasannya anak. Aku harus bagaimana? "Kalau begitu, kita ke kantor polisi saja," ucap ibunya Helen sambil bangkit. Lalu kedua orang lainnya ikut bangkit. Hanya bapaknya Helen dan pak RW yang menyalami kami sebelum pamit. Ibunya Sarah tanpa sepatah kata pun berlalu meninggalkan dua orang lainnya. "Ton, sana ke kantor polisi. Bebaskan istrimu, anak-anakmu nanti terlantar. Ibu malas sekali ribet lagi," ucap ibu. Ia keberatan untuk mengurusi ketiga cucunya. "Biar di sini sama Mala sa—" "Tentu saja, memang seharusnya begitu, kamu yang bikin ulah. Ya, kamu yang harus mengurusi cucu-cucuku. Kan ibunya kamu yang penjarakan," sahutnya. Padahal aku belum selesai berbicara.Ya … Tuhan, bolehkah aku bilang ingin wanita tua dihadapa