Beranda / Pernikahan / Bakti Seorang Menantu / 152. Belum ada jalan keluar bagian A.

Share

152. Belum ada jalan keluar bagian A.

Penulis: RatuNna Kania
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-31 22:24:43

Belum ada jalan keluar bagian A.

"Jadi jelas, ya semua. Kakak saya ini TIDAK AKAN MENCABUT LAPORANNYA! Semoga dan ibu mengerti apa yang saya lakukan," tutur Aisyah dengan angkuh. gadis berusia tujuh belas tahun itu menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka lebar.

"Dzolim sekali sama orang. Puas, ya? Kalau melihat orang menderita. Tampilan agamis tapi julid," gerutu ibunya sambil mendelik ke arah Aisyah.

"Kalau begini kan jadi sepuluh sebelas sama, Ibu. Tampilan, Ibu juga sosialita pengajian, berbaju syar'i tapi sayang, gak bisa menjaga bicaranya sama orang lain," balas Aisyah tak kalah pedasnya.

"Sudah, Apakah!" tegurku. Meski aku setuju dengan ucapan Adik bungsuku itu, namun aku tak akan mengambil kesempatan dengan membiarkan Aisyah mengata-ngatai orang yang usianya lebih tua darinya bahkan dariku. Emak dan abah sangat menjunjung tinggi tentang adab. Seandainya sekarang mendengar atau melihat Aisyah selancang itu, sudah pasti akan kena omel keduanya.

Aisyah langsung memutar bo
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bakti Seorang Menantu    153. Belum ada jalan keluar bagian B.

    Part : Belum ada jalan keluar bagian B."Abang minta maaf, La. Atas kesalahan Eni sama kamu," ucapnya lagi. Entah yang keberapa kali bang Anton minta maaf sejak setengah jam duduk di terasku. Aku tak menjawabnya. Semua orang minta maaf dan ingin dimaafkan. Apalagi alasannya anak. Aku harus bagaimana? "Kalau begitu, kita ke kantor polisi saja," ucap ibunya Helen sambil bangkit. Lalu kedua orang lainnya ikut bangkit. Hanya bapaknya Helen dan pak RW yang menyalami kami sebelum pamit. Ibunya Sarah tanpa sepatah kata pun berlalu meninggalkan dua orang lainnya. "Ton, sana ke kantor polisi. Bebaskan istrimu, anak-anakmu nanti terlantar. Ibu malas sekali ribet lagi," ucap ibu. Ia keberatan untuk mengurusi ketiga cucunya. "Biar di sini sama Mala sa—" "Tentu saja, memang seharusnya begitu, kamu yang bikin ulah. Ya, kamu yang harus mengurusi cucu-cucuku. Kan ibunya kamu yang penjarakan," sahutnya. Padahal aku belum selesai berbicara.Ya … Tuhan, bolehkah aku bilang ingin wanita tua dihadapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Bakti Seorang Menantu    156. Jadilah manusia yang punya empati.

    "Onty, mana Ma?" tanya Nayla. Anak gemil itu sedang disuapin oleh Aisyah sambil menonton film kartun di tv."Nanti juga pulang. Nayla malam ini nginep sama onty aja, mau?" tanya dengan memandang lekat wajahnya."Nay, mau pulang onty. Nanti anterin abis makan. Mau cari Mama. Tadi pagi mama dibawa polisi," ucapnya lagi. Aku memejamkan mataku. Nayla dan kedua kakaknya juga Wulan akan terlantar hanya karena keegoisanku? Apa yang kamu lakukan Mala? Tuhan….Aku harus bagaimana? ———RatuNnaKania———Aku masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhku. Kupandang lekat langit-langit kamarku seolah-akan ada jalan keluar dari sana. Celotehan Nayla terdengar begitu jelas. Gelak tawanya, dan cara dia merajuk saat kudengar Aisyah menjahilinya. Balita itu begitu polos, bahkan sejak tadi sudah minta diantarkan pulang. Kedua kakaknya sepertinya pulang bersama bang Anton tadi. Apakah mereka sudah makan? Ada rasa khawatir di benak ini. Akh, aku jadi dilema. Kuraih ponselku lalu menekan nomor suamiku. Ku

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-02
  • Bakti Seorang Menantu    157. Di rumah Mala bagian A.

    Berkumpul di rumah Mala."Sepuluh juta?!" Serentak ketiganya mengulang nominal yang aku sebutkannya. Aku hanya memasang senyum bahagia, membayangkan tiga puluh juta di depan mata. Sedangkan ipar dan mantan pacar suamiku mereka saling pandang satu sama lain. "La, sini sebentar," panggil Eful sambil menepuk pundakku. Tanpa menunggu jawabanku Eful telah berlalu kedepan. Ia menuju ke sebuah warung di samping kantor polisi yang sedang lenggang."Mau minum apa?" tanyanya saat aku mulai mendudukkan diri di sebuah kursi tepat di hadapannya. Aisyah, Bu RT dan pak RT ku minta menunggu sebentar. "Teh botol aja," sahutku. Karena aku sangat suka dengan minuman instan itu. Jadi dimana pun dan apapun makanannya minum lnya tetap, Eh—"La, kamu gak boleh ngomongin masalah uang damai di kantor polisi!" ucapnya dengan menatap lekat wajahku. Serius sekali tatapan adik sepupuku itu. "Oh, aku hanya bercanda, Ful. Hanya menggertak mereka, beneran deh!" kilahku dan memang tak terpikirkan sebelumnya meski

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Bakti Seorang Menantu    158. Di rumah Mala bagian B.

    "Iya, Is. Abah sama emak menyarankan untuk mencabut laporan ini dan memaafkan semuanya. Ya, mau bagaimana lagi kondisinya kan memang tidak mendukung, kalau tetap dilanjutkan pun. Semalam kamu tahu sendiri Nayla seperti apa? Wulan seperti apa? Ibu bagaimana? Teteh, bingung jadinya. Makanya sudahlah kita hentikan saja tapi nanti kan kita akan bikin beberapa poin-poin tertentu agar mereka tidak melakukan hal ini kembali dan merugikan, Teteh!"3 "Haruslah, biar jera. Lagian seenaknya saja memfitnah orang di media sosial," sungut adikku. Kalau sudah dijelaskan bawa kata Emak dan Abah, maka gadis itu tak akan banyak protes.Aku pun masuk ke dalam kantor Polisi untuk mencabut laporanku. Dan pak RT, Aisyah dan bu RT mereka menemui Helen dan kedua iparku untuk menjelaskan bahwa akan ada kesepakatan damai. Jadi mereka pulang akan bareng dengan kami dan langsung ke rumahku untuk membicarakan syarat-syarat perdamaian yang akan aku minta. "Terima kasih, ya La. Aku disana baru beberapa jam saja, l

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Bakti Seorang Menantu    159. Tiga puluh juta rupiah.

    Part 159. Tiga puluh juta."Cih! Sudah jelas anakmu yang sering datang ke rumahku dan bilang masih mencintai Rahman. Begitu kan, Helen?" tanya ibu sambil menatap lekat ke arah perempuan berambut pirang yang duduk paling pojok itu. Wajah Helen pias seketika. Mungkin ia tak menyangka akan ada permintaan seperti itu. "Helen!" panggil ibunya dengan pelototan yang seakan mau menerkam wanita itu. "Ibu, Aku—" ———RatuNna Kania———Helen tergagap mendengar perkataan ibu. Mungkin ia tak menyangka kalau mertuaku bisa juga memojokkannya. Ibu yang mana yang akan diam jika anaknya dihina seperti tadi, aku pun sudah berniat menjawab ucapan-ucapan ibunya Helen. Tapi aku kalah gesit dengan ucapan ibu. "Jawab, Helen! Kenapa mendadak gagap?" bentak ibunya. Kulihat Helen menyurai rambut pirangnya dan menatap ke arah ibunya. "Apaan sih, Bu.""Apa benar yang dikatakan oleh bu Samirah itu?" tanya ibunya lagi dengan tatapan menghunus. Aku tidak tahu ada apa dengan ibunya Helen. Apa membenci mas Ra

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-05
  • Bakti Seorang Menantu    160. Wani Piro?

    Part 160. Wani Piro ?"Kak Eni, tunggu!" teriakku, karena kakak iparku itu telah naik ke motor suaminya dan hendak pulang. "Apalagi?" kehebatannya. paling jelas belum memudar."Aku lupa sesuatu," ucapku sambil menghampirinya. "Apa? Cepetan aku dah ngantuk," katanya dengan judes. "Siapa yang mengirim fotoku dan bang Anton di Kakak?" ——RatuNna kania——"Wani Piro?" tanyanya dengan wajah menyebalkan. "Serius, Kak! Kalau nggak—""Kalau nggak mau apa? Hah?! Urusan kita sudah kelar. Dan kalau mau tau siapa si pengirim foto tersebut. Bayar dulu sepuluh ju—ta!" katanya dengan memelototkan matanya. Allah, rasanya ingin ku cakar mulutnya itu. Dan kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini. Kini aku balik di minta duit sama kak Eni. Cerdik juga iparku itu ternyata. Dia minta kembali uangnya. Tidak begitulah. Nanti juga ketahuan siapa si pengirim foto itu. Daripada uang sepuluh jutaku hilang kembali. Mending aku tidak tahu sekalian. Iya kali, demi mengetahui siapa biang keroknya, aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-07
  • Bakti Seorang Menantu    161. Kembalikan uangnya, kasian.

    Part 161. Kembalikan uangnya, kasian."Mala, kamu mau apakan uang tiga puluh juta itu?" tanya ibu. Oh, rupanya dari tadi ibu mau membahas uangku. Hingga menunggu suasananya sepi seperti ini. Pantas saja ibu bertahan di dinginnya semilir angin malam ini, ternyata ada maksud tertentu. "Mala, belum tahu, Bu. Nanti Mala coba tanyakan sama Mas Rahman dulu.""Kamu kurangilah uang kompensasi si Eni. Kasian dia. Bila perlu kembalikan!" ucap ibu. "Maksudnya?" tanyaku sambil memandang ke wajah tuanya. Kulit yang mulai keriput menampilkan gelambir di leher dan dibawah kelopak mata. Wanita tua yang melahirkan suamiku itu, mencoba menego lagi denganku. Padahal persoalannya sudah selesai. Bahkan kak Eni dan bang Anton tak mempermasalahkan. Kenapa ibu kembali membicarakannya. Huft."Kamu tau sendiri ini kehidupan Eni kan? Masih belum punya apa-apa. Bahkan rumahnya pun masih ngontrak dan kadang-kadang tak bisa bayar. Apa kamu tidak kasihan dengan meminta uang sepuluh juta sebagai kompensasi pada Ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • Bakti Seorang Menantu    162. Ponsel Baru.

    Bagian 162. Ponsel Baru. "Bu Usman, Mau?" "Boleh deh. Gak usah banyak-banyak," ucapnya sambil tersenyum bahagia. Aku mengambil lima belas biji rengginang dan memasukkannya ke dalam plastik kemudian menyodorkannya pada tetanggaku itu. "Tanggung amat ini nanti menggorengnya," gerutunya sambil mencebik. Allahuakbar. Rengginang di nampan banyak sekali belum kering pula. "Tadi, Bu Usman, bilangnya jangan banyak-banyak. Sekarang bilang tanggung!" Aku menautkan alisku heran. "Ya, maksudnya e—anu," ucapannya terhenti sambil matanya di seisi dapurku. Mungkin dia masih mencari sesuatu. "Kamu lagi makan, La?" tanyanya. Pandangan terhenti di atas meja, tepatnya di piringku. "Iya, Bu Kami. Aisyah membuatkan nasi goreng," ucapku. "Ibu suka nasi goreng juga, kebetulan belum sarapan, masih ada?" "Bu Usman, mau?" Ia mengangguk dengan mantap. Aku mengambil piring dan membagi dua nasi yang terhidang yang baru sempat aku makan satu suap aja. Telur ceploknya pun ku bagi dua. "Tidak apa-apa, Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-10

Bab terbaru

  • Bakti Seorang Menantu    223. Suka sama, Abang, nggak?

    Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"

  • Bakti Seorang Menantu    Bab 222. Maaf

    Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany

  • Bakti Seorang Menantu    221. Kesasar Bagian 2.

    Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad

  • Bakti Seorang Menantu    220. Kesasar.

    Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar

  • Bakti Seorang Menantu    219. Kesasar atau hilang bagian B

    Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan

  • Bakti Seorang Menantu    218. Kesasar atau hilang bagian A.

    art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi

  • Bakti Seorang Menantu    217. Pedekate bagian B.

    "Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok

  • Bakti Seorang Menantu    216. pede kate bagian A.

    "Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto

  • Bakti Seorang Menantu    215. Aisyah mau pulang.

    Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda

DMCA.com Protection Status