Aku terkejut melihat apa yang keduanya lakukan. Bayangkan saja, di usia mereka yang sudah senja masih bisa berlaku layaknya anak tujuh belas tahun, bahkan Aisyah yang usianya masih muda saja, tak pernah melakukan hal seperti itu.Untung saja nampan yang ada di tanganku tak terlepas meski aku shock dengan apa yang barusan aku lihat. Astaghfirullah haladzim, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Aku coba menenangkan diri dengan melafalkan istighfar beberapa kali. "Sini! Mala, ikutan," ucap ibu dengan tetap bergoyang, tak ada rasa malu atau apapun di raut wajahnya padahal aku merapalkan istighfar dengan suara yang keras. "Anggap aja senam, biar kita keringetan," sahut bu Usman. What, senam? Hahaha, pintar ngelesnya sungguh luar biasa. Aku bingung bagaimana caranya untuk mencegah ibu dan bu Usman, akhirnya aku putuskan menelpon Ria, tapi ponselnya mati. Ria pasti sedang bekerja di jam seperti ini. Aku coba menekan nomor mas Rahman, cuma berdering lalu mati pula. Akhirnya aku buka video dan
"E-eh, Bu Usman! Jangan diangkat, biarkan ibu mertuaku belajar untuk mengangkatnya." Sontak aku memekik saat melihat bu Usman hendak mengusap logo gagang telepon yang sedang meloncat-loncat itu. Bu Usman sontak menghentikan jarinya sebelum mengenai layar HP lalu menatap ke arahku. "Sini!" Aku segera meraih ponsel ibu dari genggaman Bu Usman lalu menyodorkan pada ibu. "Usap keatas tanda gagang telepon yang loncat-loncat itu, Bu!" titahku dengan sedikit suara yang meninggi. Aku takut keburu mati panggilannya. Ibu segera mengusapnya ke atas dengan telunjuknya dan muncul wajah mas Rahman, suamiku tercinta."Assalamualaikum, Ibu," sapanya dengan tersenyum pada ibunya. "Rahman," panggilnya. Terlihat gurat kerinduan di binar matanya memandang suamiku. Kata emak, mau sedewasa apapun seorang anak, tapi dimata ibunya dia adalah tetap anak kecil. Perihal menyayangi, maka hanya seorang ibu-lah pemilik cinta yang tulus tanpa syarat."Ibu, sehat-kan?" tanya suamiku. Ibu yang duduk dihadapanku s
Part 165. Sini uangnya saja. Aku beristighfar lagi dan lagi sambil menoleh ke arah ibu mertuaku. Aisyah sudah mulai tertawa-tawa karena melihat tingkah Bu Usman dan ibu di bawah pohon nangka seketika adikku itu melirikku dan bertanya. "Sejak kapan Bu Samirah jadi gesrek begitu?" Aku mendengus dengan pertanyaan yang Aisyah lontarkan, bahasanya tak kusukai. Jujur, aku tak begitu suka anak muda yang bahasanya kasar pada orang tua. "Berbicara yang baik dan benar, Is. Ingat! Beliau mertuaku," tegurku dengan wajah judes sambil meletakkan nampan kecil yang aku bawa di meja makan."Maaf," cicitnya. Aku duduk di meja makan sambil mataku tetap memperhatikan ibu dan bu Usman sedang lipsing adegan film si Roma dan Ani."Tapi bisa pas gitu, ya nadanya, Teh," tanya Aisyah lagi dengan melirik ke arahku. Seandainya Aisyah tau saat ibu dan bu Usman pargoy mungkin dia tertawa hingga terkencing-kencing di celananya. ———Semalam mas Rahman telah mentransfer uang bulanan untuk aku dan ibu. Rencananya
Part 166. Perlawanan Mala."Mala … Mala," teriak seseorang dari luar. Mala serta Bu Samirah juga Eni gegas keluar guna melihat siapa yang datang. "Ada apa, Tika?" Bu Samirah langsung bertanya begitu melihat Tika ada di halaman rumahnya. "Eh, nggak, Bu Sam. Saya mau ke Mala," ucap Tika dengan cengengesan. Hatinya ciut melihat mertua tetangganya itu, karena semua orang sekampung ini sudah tahu peringai tak baik Bu Samirah pada Mala, menantunya sendiri. "Gak ada apa-apa, kok teriak-teriak!" ketus Bu Samirah sambil mendelik. Ia kesal karena baru saja mau minta uang ke Mala malah datang hambatan tak jelas. "Saya mau ke Mala, Bu," sahut Tika dengan melirik ke arah Mala yang sedang berdiri disamping mertuanya. "Ada apa, Tik? Aku kok deg-degan," ucap Mala dengan mengelus dadanya. "E—anu, La," Tika terlihat ragu-ragu untuk mengatakannya. "Ada apa sih? Cepat bilang!" Kini Eni yang berkata, mungkin ia juga ikut penasaran dengan kedatangan Tika. Tika terlihat menghembuskan nafasnya dengan
Part 167. Nggak tau diri. Akhirnya, dengan susah payah Wak Ali meredakan kemarahan antara Eni dan Mala. Wak Ali menyuruh Eni untuk pulang agar tak terjadi lagi keributan. Eni hanya mendengus sedangkan Mala tersenyum dengan lebarnya, puas telah melihat kakak iparnya tersudutkan dan tak bisa membantah lagi pada Wak Ali. "Eni … Eni! Rupanya disini kau, aku hampir mati menunggu di rumahmu dari pagi buta!" ——RatuNna Kania——Eni terkejut melihat saat melihat Mpok Asti datang dengan mimik muka yang hendak menerkam. "Kau berani, ya ngerjain aku?" tanyanya, dagunya menengadah dengan berkacak pinggang. Mpok Asti memakai daster yang panjangnya hanya tengahan betis, dilapisi jaket dan kacamata hitam bertengger di kepalanya. Tak lupa tas selempang merk kiplong dengan banyak resleting menggantung di pundaknya. Mpok Asti adalah salah satu warga pendatang yang sukses dengan usaha pinjam-meminjam uang. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Helen. "Kamu berurusan dengan si Asti?" tanya Bu S
part 168. Berapa uang suamimu yang kau habiskan untuk keluargamu. Bagian A.Seminggu sudah setelah peristiwa Eni di tagih oleh Mpok Asti. Kini Mala sedang menginap di rumah ibunya. Karena besok adalah hari ulang tahun perkawinan orang tuanya yang ke tiga puluh satu tahun.Rencananya, Mala dan Aisyah akan mengadakan kejutan dan syukuran kecil-kecilan untuk universary kedua orang tuanya. Sebagai luapan kebahagian mereka, karena selalu berada di tengah-tengah keluarga yang penuh cinta. Anak-Anak pak Ahmad selama hidupnya tak pernah di hardik atau di bentak oleh bapaknya sendiri, tapi jika Bu Sarah, ada lah tipis-tipis mencubit dan melotot. Keharmonisan keluarga mereka tercipta karena pasangan yang saling pengertian. Misalnya, Bu Sarah sedang marah pada anaknya, pak Ahmad lekas mengajak anak-anaknya bermain keluar atau mengambil alih pekerjaan istrinya. Karena itulah, dalam rumah mereka selalu terlihat adem ayem. Tak ada pertengkaran atau saling sahut dengan teriakan hingga di dengar ol
"Kamu pesan apa sih, La. Adikmu sampai blingstan begitu!" tanya Bu Sarah, sambil menata piring kotor selepas makannya usai. "Pesen anu, Bu!" Mala bingung, dia tidak siap dengan pertanyaan ibunya. "Teh Mala pesan cream, Mak. Jadi kalau tidak segera di ambil, lama lagi adanya," terang Aisyah yang melihat kakaknya mendadak gagap. "Akh, iya, cream, cream glowing!" ucap Mala sambil menyelipkan anak rambutnya di tentunya. Terlihat kegugupannya. Ia tak pernah berbohong pada ibunya, hingga hari ini ia terpaksa berbohong dan malah menjadikan tingkahnya kikuk di hadapan orang tuanya."Kenapa gak dari tadi di ambil. Kan, Teteh tau, waktunya toko itu tutup," ujar pak Ahmad sambil menyuapkan nasi di piringnya untuk suapan yang terakhir."Iya, Bah. Mala lupa." Mala menunduk. Batinnya berteriak minta maaf pada kedua orangtuanya. Bukan lebay, ini di mana posisi seseorang yang selalu ditanamkan perihal kejujuran dan kepergok bohong. Meski Bu Sarah atau pak Ahmad tidak mengatakannya. Tapi, mereka ta
part 170. Saran dari Tika."Berapa uang anakku yang kau habiskan? Hah?!" "Ibu—" Praaaang … rantang stainless berisi kue itu ditepis oleh Bu Samirah hingga membentur tembok dapur, isinya berserakan karena setelah jatuh rantang itu pun menggelinding. "Astaghfirullah haladzim." Mala bangkit sambil memegangi dadanya dan melafalkan istigfar. ——RatuNna Kania——Mala tidak menyangka kalau respon dari ibu mertuanya akan sedemikian bengisnya. Ditambah lagi dengan pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Bu Samira membuat malah tertegun. karena benar adanya, uang yang digunakan untuk membeli kue itu adalah uang kiriman dari suaminya beberapa hari lalu dan dia pun sudah izin kepada Rahman, untuk menginap serta merayakan ulang tahun pernikahan orang tuanya.Rahman pun telah mengizinkannya tentu saja Mala tidak bilang atau izin untuk memakai uang yang diberikan kepadanya, karena pikir Mala itu adalah uang nafkah dari suaminya dan dia berhak menggunakannya untuk apapun. Selama uang itu di