Part 167. Nggak tau diri. Akhirnya, dengan susah payah Wak Ali meredakan kemarahan antara Eni dan Mala. Wak Ali menyuruh Eni untuk pulang agar tak terjadi lagi keributan. Eni hanya mendengus sedangkan Mala tersenyum dengan lebarnya, puas telah melihat kakak iparnya tersudutkan dan tak bisa membantah lagi pada Wak Ali. "Eni … Eni! Rupanya disini kau, aku hampir mati menunggu di rumahmu dari pagi buta!" ——RatuNna Kania——Eni terkejut melihat saat melihat Mpok Asti datang dengan mimik muka yang hendak menerkam. "Kau berani, ya ngerjain aku?" tanyanya, dagunya menengadah dengan berkacak pinggang. Mpok Asti memakai daster yang panjangnya hanya tengahan betis, dilapisi jaket dan kacamata hitam bertengger di kepalanya. Tak lupa tas selempang merk kiplong dengan banyak resleting menggantung di pundaknya. Mpok Asti adalah salah satu warga pendatang yang sukses dengan usaha pinjam-meminjam uang. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Helen. "Kamu berurusan dengan si Asti?" tanya Bu S
part 168. Berapa uang suamimu yang kau habiskan untuk keluargamu. Bagian A.Seminggu sudah setelah peristiwa Eni di tagih oleh Mpok Asti. Kini Mala sedang menginap di rumah ibunya. Karena besok adalah hari ulang tahun perkawinan orang tuanya yang ke tiga puluh satu tahun.Rencananya, Mala dan Aisyah akan mengadakan kejutan dan syukuran kecil-kecilan untuk universary kedua orang tuanya. Sebagai luapan kebahagian mereka, karena selalu berada di tengah-tengah keluarga yang penuh cinta. Anak-Anak pak Ahmad selama hidupnya tak pernah di hardik atau di bentak oleh bapaknya sendiri, tapi jika Bu Sarah, ada lah tipis-tipis mencubit dan melotot. Keharmonisan keluarga mereka tercipta karena pasangan yang saling pengertian. Misalnya, Bu Sarah sedang marah pada anaknya, pak Ahmad lekas mengajak anak-anaknya bermain keluar atau mengambil alih pekerjaan istrinya. Karena itulah, dalam rumah mereka selalu terlihat adem ayem. Tak ada pertengkaran atau saling sahut dengan teriakan hingga di dengar ol
"Kamu pesan apa sih, La. Adikmu sampai blingstan begitu!" tanya Bu Sarah, sambil menata piring kotor selepas makannya usai. "Pesen anu, Bu!" Mala bingung, dia tidak siap dengan pertanyaan ibunya. "Teh Mala pesan cream, Mak. Jadi kalau tidak segera di ambil, lama lagi adanya," terang Aisyah yang melihat kakaknya mendadak gagap. "Akh, iya, cream, cream glowing!" ucap Mala sambil menyelipkan anak rambutnya di tentunya. Terlihat kegugupannya. Ia tak pernah berbohong pada ibunya, hingga hari ini ia terpaksa berbohong dan malah menjadikan tingkahnya kikuk di hadapan orang tuanya."Kenapa gak dari tadi di ambil. Kan, Teteh tau, waktunya toko itu tutup," ujar pak Ahmad sambil menyuapkan nasi di piringnya untuk suapan yang terakhir."Iya, Bah. Mala lupa." Mala menunduk. Batinnya berteriak minta maaf pada kedua orangtuanya. Bukan lebay, ini di mana posisi seseorang yang selalu ditanamkan perihal kejujuran dan kepergok bohong. Meski Bu Sarah atau pak Ahmad tidak mengatakannya. Tapi, mereka ta
part 170. Saran dari Tika."Berapa uang anakku yang kau habiskan? Hah?!" "Ibu—" Praaaang … rantang stainless berisi kue itu ditepis oleh Bu Samirah hingga membentur tembok dapur, isinya berserakan karena setelah jatuh rantang itu pun menggelinding. "Astaghfirullah haladzim." Mala bangkit sambil memegangi dadanya dan melafalkan istigfar. ——RatuNna Kania——Mala tidak menyangka kalau respon dari ibu mertuanya akan sedemikian bengisnya. Ditambah lagi dengan pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Bu Samira membuat malah tertegun. karena benar adanya, uang yang digunakan untuk membeli kue itu adalah uang kiriman dari suaminya beberapa hari lalu dan dia pun sudah izin kepada Rahman, untuk menginap serta merayakan ulang tahun pernikahan orang tuanya.Rahman pun telah mengizinkannya tentu saja Mala tidak bilang atau izin untuk memakai uang yang diberikan kepadanya, karena pikir Mala itu adalah uang nafkah dari suaminya dan dia berhak menggunakannya untuk apapun. Selama uang itu di
"Minum dulu," titah Tika sambil menyodorkan segelas air putih yang di bawa Aisyah barusan. Mala menerimanya kemudian meminumnya hingga tandas. Beberapa menit kemudian, terlihat Mala sudah menguasai dirinya. Tika tak banyak bertanya, lebih memilih menunggu tetangganya itu bercerita. Mengalirlah cerita sebab dia menangis. Tika tak mencela setiap omongan Mala, ia fokus mendengarkan dan matanya melihat Alia uang anteng bermain di ayunan. Mala menceritakan apa yang terjadi di rumah mertuanya tadi, dengan detail. Sama seperti yang terjadi disana. "Begitu, Ka. Aku nggak nyangka ibu akan bicara seperti itu. Lagian aku beli kue dan hadiah dibantu dengan uang Aisyah. Kamu tau kan, Aisyah sudah bisa cari uang." Aisyah terlihat komat-kamit mulutnya, entah mengumpat kelakuan bu Samirah atau dia sedang berdoa agar bisa meredam emosinya yang sedang memuncak setelah mendengar penuturan kakaknya."Begini, ya La. Aku minta maaf terlebih dahulu, ini aku bicara melalu linsudut pandang aku. Di sini aku
Jam sudah menunjukkan kearah angka tiga. Tapi mata Mala belum juga terpejam. Hatinya gelisah juga terngiang-ngiang selalu tentang apa yang diucapkan oleh ibu mertuanya tadi siang. Dan apa yang dikatakan Tika, pun begitu menggerogoti pikirannya tentang kecemburuan besar Bu Samirah dan kedua iparnya itu, memang ia pun menyadari selama ini belum pernah memberikan perhiasan kepada Ibu mertuanya itu. Karena memang kondisi keuangan mereka yang hanya cukup, lagi pula gaji suaminya selalu dibagi dua dengan ibu mertuanya setiap bulan. Lalu bagaimana bisa ia memberikan hadiah untuk mertuanya? Mala terduduk lalu meraih botol minum di nakas yang memang selalu tersedia agar kalau kehausan tengah malam, ia tinggal bangkit saja tak usah ke dapur lagi. Hadiah kemarin pun bukan darinya. Gelang dan jam tangan itu dibeli oleh Aisyah, karena hanya adiknya yang mempunyai penghasilan sendiri saat ini. Sedangkan Mala masih mengandalkan uang dari Rahman, dia hanya membelikan kuenya saja seharga seratus dua
"Ya, wajarlah, namanya kakak sama adik, kamu juga gitu kan sama Rahman? Dulu, saat lahiran si Nayla yang capek kan Rahman, karena si Anton lagi di luar pulau," sahut Wak Isah menimpali ucapan kakak iparku. "Belum lagi ngurusin surat-suratnya, Wak Ali juga ikut turun tangan waktu itu. Jangan begitu mulutmu, Ni. Baik-baik sama ipar, Gak kapok apa?" Lanjut Wak Isah sambil mendelik. "Kenapa kamu yang sewot, Sah? Eni, bicara benar dan apa adanya!" Tiba-Tiba ibu nyeletuk tak terima."Mikir aja sendiri deh, Mir. Kamu sudah tua juga kan?" sahut Wak Isah dengan ketus. Kemudian menyuruh mang Ujang menghitung belanjaannya. Tika mengelus punggungku sambil berbisik. "Tenang, sabar dan biarkan!"La, ayo cepetan belanjanya, kalau lama-lama disini, nanti kamu bisa ketularan gak tau diri," ucap Wak Isah sambil melangkah pulang. Kulihat ibu mencebik. Sejauh yang aku tahu, ibu memang selalu kalah kalau berdebat dengan istri kakaknya itu. Mulut pedas Wak Isah selalu tepat sasaran. "Hitung, Mang!" tit
"Bapak sih, setuju saja. Yang penting kamu ingat janji kamu itu," sahutnya lalu meraih gelas yang ada di hadapannya kemudian meneguknya hingga tandas."Sama saja, itu merugikan orang. Berdalih apapun tetap jatuhnya begitu, mengambil keuntungan!" dengus ibu dengan pelan dan aku masih bisa mendengarnya. ——RatuNna Kania ——Aku tak memperdulikan ocehan perempuan tua dihadapanku. Sebab itu sudah tabiatnya, selama nyawanya masih bersatu dengan raganya, maka tak akan mungkin beliau berubah. Aku selalu mencoba mengabaikan apa yang dikatakan Ibu. Meski tidak bisa aku pungkiri dalam hati ini merasakan sangat sakit.Mau bagaimana lagi, beliau ibu dari suamiku. Selain sabar dan menerima, aku bisa apa? Selama suamiku dan bapak mertua masih baik. Tak ada alasan aku menjauhkan diri dari keluarga ini. Yang diperlukan saat ini adalah, kalapangan hatiku juga sabar yang tiada batas. Meski, terkadang aku lupa atas si sabar itu dan membantah ucapan ibu mertuaku. Aku hanya wanita biasa yang terka
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda