Jam sudah menunjukkan kearah angka tiga. Tapi mata Mala belum juga terpejam. Hatinya gelisah juga terngiang-ngiang selalu tentang apa yang diucapkan oleh ibu mertuanya tadi siang. Dan apa yang dikatakan Tika, pun begitu menggerogoti pikirannya tentang kecemburuan besar Bu Samirah dan kedua iparnya itu, memang ia pun menyadari selama ini belum pernah memberikan perhiasan kepada Ibu mertuanya itu. Karena memang kondisi keuangan mereka yang hanya cukup, lagi pula gaji suaminya selalu dibagi dua dengan ibu mertuanya setiap bulan. Lalu bagaimana bisa ia memberikan hadiah untuk mertuanya? Mala terduduk lalu meraih botol minum di nakas yang memang selalu tersedia agar kalau kehausan tengah malam, ia tinggal bangkit saja tak usah ke dapur lagi. Hadiah kemarin pun bukan darinya. Gelang dan jam tangan itu dibeli oleh Aisyah, karena hanya adiknya yang mempunyai penghasilan sendiri saat ini. Sedangkan Mala masih mengandalkan uang dari Rahman, dia hanya membelikan kuenya saja seharga seratus dua
"Ya, wajarlah, namanya kakak sama adik, kamu juga gitu kan sama Rahman? Dulu, saat lahiran si Nayla yang capek kan Rahman, karena si Anton lagi di luar pulau," sahut Wak Isah menimpali ucapan kakak iparku. "Belum lagi ngurusin surat-suratnya, Wak Ali juga ikut turun tangan waktu itu. Jangan begitu mulutmu, Ni. Baik-baik sama ipar, Gak kapok apa?" Lanjut Wak Isah sambil mendelik. "Kenapa kamu yang sewot, Sah? Eni, bicara benar dan apa adanya!" Tiba-Tiba ibu nyeletuk tak terima."Mikir aja sendiri deh, Mir. Kamu sudah tua juga kan?" sahut Wak Isah dengan ketus. Kemudian menyuruh mang Ujang menghitung belanjaannya. Tika mengelus punggungku sambil berbisik. "Tenang, sabar dan biarkan!"La, ayo cepetan belanjanya, kalau lama-lama disini, nanti kamu bisa ketularan gak tau diri," ucap Wak Isah sambil melangkah pulang. Kulihat ibu mencebik. Sejauh yang aku tahu, ibu memang selalu kalah kalau berdebat dengan istri kakaknya itu. Mulut pedas Wak Isah selalu tepat sasaran. "Hitung, Mang!" tit
"Bapak sih, setuju saja. Yang penting kamu ingat janji kamu itu," sahutnya lalu meraih gelas yang ada di hadapannya kemudian meneguknya hingga tandas."Sama saja, itu merugikan orang. Berdalih apapun tetap jatuhnya begitu, mengambil keuntungan!" dengus ibu dengan pelan dan aku masih bisa mendengarnya. ——RatuNna Kania ——Aku tak memperdulikan ocehan perempuan tua dihadapanku. Sebab itu sudah tabiatnya, selama nyawanya masih bersatu dengan raganya, maka tak akan mungkin beliau berubah. Aku selalu mencoba mengabaikan apa yang dikatakan Ibu. Meski tidak bisa aku pungkiri dalam hati ini merasakan sangat sakit.Mau bagaimana lagi, beliau ibu dari suamiku. Selain sabar dan menerima, aku bisa apa? Selama suamiku dan bapak mertua masih baik. Tak ada alasan aku menjauhkan diri dari keluarga ini. Yang diperlukan saat ini adalah, kalapangan hatiku juga sabar yang tiada batas. Meski, terkadang aku lupa atas si sabar itu dan membantah ucapan ibu mertuaku. Aku hanya wanita biasa yang terka
"Tika gak kesini?" tanya Sisil sambil memandangku. "Aku tidak tahu, akan kucoba telepon." Aku langsung merogoh ponselku dibalik saku daster. Kemudian menekan nomor Tika dan terdengar dering, beberapa detik kemudian, langsung terdengar suara Tika "Iya, La. Ada apa?" suara dari seberang sana."Ka, kamu dimana? Sini ke pos kamling, kita mau rujakan. Aku, Sisil, bu Hana, Yanti dan juga Novi.""Aku masih di luar, lagi jemput sekolah. Ya … udah duluan aja!" sahut Tika. Akhirnya kami rujakan tanpa Tika, diselingi canda dan tawa begitupun ghibah tak luput dari mulut kami. Aku lebih banyak diam dan mendengarkan. Karena jika salah berucap akan jadi bumerang bagi diriku sendiri.Terlihat Aisyah lewat ternyata sudah jam dua lebih. Aku pun pamit dengan alasan aku akan pergi ke rumah emak dan Abah.Sebenarnya sudah dari tadi aku ingin segera pulang. Tapi, aku bingung dengan alasan apa. Jujur saja, aku kurang suka dengan kumpul-kumpul seperti ini. Karena selain menambah dosa, juga aku bukanlah ti
Jam, memang telah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mengetuk pintu, karena saat ku putar handle pintu ternyata sudah terkunci."Siapa?" terdengar suara ibu bertanya dari dalam."Mala, Bu!" "Ada apa?" Pintu pun terbuka lebar. "Ini Mala, beli martabak buat, Ibu sama Bapak!" ucapku sambil menyodorkan bungkusan martabak yang masih panas."Malam-malam begini, kalian masih keluyuran? Perempuan macam apa?" ———RatuNna Kania ———Ibu mengomel sambil menerima bungkusan yang aku sodorkan. Aku pun langsung pamit, tanpa menyahuti ocehan ibu. Kulihat Aisyah menekuk mukanya mungkin kesal karena aku diam saja. Ya, mau bagaimana lagi. Wataknya ibu seperti itu, mau aku datang pagi atau malam akan tetap salah di mata ibu. jadi, biarkan saja beliau melakukan apapun maunya. "Heran, deh! Teteh, gak mau gitu balas ucapan nenek tua itu. Kupingku sakit, Teh, selalu mendengar ucapan ketusnya," sungut Aisyah sambil naik ke motornya. Wajar, kalau adikku kesal dengan perangai ibu selama ini. Karen
"Lah, kalau belanja dipasar mah, nanti harganya sama saja dengan warung lainnya." Ibu mencebik setelah sekilas melirikku. "Mala mau nanya, bukan belanja di pasar!" sahutku dengan sedikit menekan nada bicara. "Oh!" Hanya itu respon ibu. Sungguh ini keajaiban yang tak pernah aku bayangkan, sekalipun dalam mimpi. Hehehe."Mirah! tumben kau disini? Akur pula!" Bu Usman menghampiri kami yang sedang santai setelah makan. "Telat kau, Man. Kita baru selesai makan liwet loh!" ucap ibu sambil menyuapkan jeruk dari tangannya. "Kenapa gak ngasih tau aku sih?" ucapnya dengan merajuk. Kalau melihat pertemanan ibu dengan Bu Usman itu unik. Karena hanya ibu yang tahan terus jadi teman Bu Usman dengan segala celamitannya. Semua pintu kalau kedatangan Bu Usman akan mendadak terkunci karena, ya itu. Apa yang dilihat Bu Usman selalu ingin memilikinya. Apapun itu. Kalau tidak diminta, ya di pinjam. Tapi pinjaman yang tak akan dikembalikan.Aku meninggalkan emak, ibu dan bu Usman di teras. Kami beda ge
Sepuluh hari telah berlalu, pembangunan toko sudah selesai. Kini Fariz sedang memang banner nama toko di depan, dengan tulisan. 'Toko Berkah Jaya' khusus grosir. Nama itu hasil diskusiku dengan mas Rahman beberapa hari lalu dan disetujui oleh emak dan abah juga bapak, jangan tanya tentang pendapat ibu, karena ibu tetap ngotot ingin nama toko itu pake nama anaknya. Tapi mas Rahman tidak mau. Biarlah nama toko kami memakai kata berkah saja, katanya. Agar nanti penghasilan yang didapat juga bisa berkah buat kami. Dan nama Jaya' sengaja aku sematkan. Entahlah, aku selalu melihat beberapa toko berakhiran nama Jaya' selalu ramai pembeli dan kokoh bertahan lama. Ini hasil pengamatanku, saat dulu masih bekerja di toko milik koh Acong. Di Sekitar toko tempatku berkerja banyak nama toko lainnya yang berujung jaya. Ada, Udin Jaya, Padang Jaya' kemudian banyak lagi. Jadi aku pake aja nama Jaya'nya biar berjaya juga. Hehehe. Di rumahku beberapa orang sedang membantu memasak, karena akan diadak
Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, aku baru selesai ber-make up. Dua jam setengah aku luluran, maskeran dan segala macam perawatan. Untung ada kamar mandi dalam kamarku, jadi semua ku lakukan dalam satu ruangan. Luluran di bantu Aisyah tadi. Terdengar riuh dari arah depan. Apakah mas Rahman telah datang? Akh, aku harus segera keluar. Dan, benar saja ibu sedang memeluk anaknya dan menangisinya. Sedangkan bapak juga Abah berdiri di sampingnya. Aku jadi ikutan terharu. Ada pepatah yang bilang, sedewasa apapun seorang anak. Tapi, Dimata orang tuanya, dia tetap anak kecil yang perlu diingatkan dan selalu dinasehati. Mas Rahman melihatku lalu melepas pelukan ibunya dan menghampiriku, aku mencium takzim tangannya. Lalu dia memelukku di hadapan orang banyak, membuat riuh suasana seketika. Sorak-Sorai menggema belum lagi suara suit-suit dari Aisyah. Aku hafal betul itu suitan adikku. Karena hanya dia yang bisa memainkannya. "Aku rinduuuuu sekali," bisiknya di telingaku. Bulu romak