Kedatangan orang tua Helen."Assalamualaikum. La, Mala."Aku yang sedang menata baju kedalam lemari seketika menajamkan pendengaraku guna memperjelas suara yang samar ditelinga ini. Jarak ruang tamu dan kamarku memang hanya terhalang ruang tamu. Tapi terkadang suara dari depan tidak kedengar dengan jelas."Assalamualaikum. Tok … tok!" kini selain ucapan salam disertai pula dengan ketukan pintu. Aku pun langsung bangkit karena ternyata itu bukan sekedar pendengaranku saja, tapi sepertinya memang ada tamu."Waalaikumsalam," sahutku sambil bergegas bangun dan menuju ke arah pintu depan."Mala," ucap seorang ibu berbaju navy. Dihadapanku kini tengah ada 3 orang tetangga satu kampung. Meski tak akrab, tapi aku tau siapa mereka.Kedua orang tua Helen dan pamannya, yang dikenal sebagai ketua RW yan
"Iya, kamu sombong banget sama tetangga. Masalah toktok aja sampe rumit begini. Lebay hidupmu!" Ejek ibunya Helen.Emosiku yang sudah mulai naik sekaan tersiram bensin dan kini sudah siap meledak."Apa, Ibu, bilang? Masalah sepele? Saya di fitnah di media sosial oleh ketiga orang itu. Videonya saja di tonton jutaan mata diseluruh pelosok negeri ini. Ibu, bilang Masalah toktok saja aku lebay? Kalau posisi ini di balik dan yang di unggah adalah video anaknya Ibu yang sedang berusaha menggoda suami orang, apakah, Ibu. dan anak Ibu, bisa terima?"Aku sudah tak bisa mengontrol emosiku. Aku baru saja kehilangan anak. Masalah datang bertubi-tubi sekali. Aku yang seharusnya bedrest malah kacau balau dengan banyak masalah."Iya, kami paham, tapi kita tetanggaan lho, Mala," timpal bapaknya Helen."Tentu saja kita tetanggan dan anak kalian sangat
Di tahan."Tentu saja kami paham masalah damai ini, dan saya pastikan akan ada ganti rugi yang tidak sedikit," ucap ibunya Helen dengan angkuh. Dia lalu bersedekap di dadanya. Mungkin berusaha menunjukkan bahwa dia banyak uang.Bu RT menyenggolku dengan bahunya. Kebetulan kami duduk rapat berdampingan. Karena kursi tempat awal aku duduk di duduki oleh pak RT. Mata bu RT memutar ke atas bak orang yang akan pingsan, mungkin saking jengahnya dengan gestur tubuh dan bahasa ibunya Helen saat bicara tadi. "Iya Mala. Mending damai aja, jangan egois kamu," ucap ibu dengan pandangan tajam. Ingin rasanya aku colok saja matanya. Dia bilang aku egois? Gak ada ot@k emang. "Iya, ntr kita kasih duit banyak," timpal ibunya Helen. Aku meradang dan bangkit dengan emosi tertahan. "Saya egois, Bu? Benarkah? Apakah hati kecil Ibu juga mengatakan bahwa menantu Ibu ini adalah manusia egois? Yang selalu diam saja ketika dicaci maki, yang selalu tak bersuara ketika disalahkan dengan tanpa alasan?" Aku bena
"Mala, bagaimana selanjutnya?" tanya pak RT dengan suara yang lembut. Beliau memandang ke arahku yang baru saja menjatuhkan bokongku di sebelah bu RT. "Seperti yang saya bilang, Pak RT. Semua telah saya serahkan ke pihak yang berwajib. Jadi semua sudah bukan urusan saya," sahutku mencoba tetap dalam planing awalku. "Cih, keras kepala sekali kali kamu Ma—" "Bu!" bentak bapaknya Helen. Mulut ibunya Helen berhenti saat masih menganga, entah akan mengucapkan apa. Namun, karena pelototan dari lelaki berbaju koko di sebelahnya, wanita itu seketika mingkem tak melanjutkan ucapannya. Padahal aku sangat penasaran dengan apa yang akan berbunyi dari mulutnya. "Diam coba! Kita disini mau meminta kebijakan dari Mala, kamu malah terus teriak-teriak tidak berguna. Diam dan dengarkan," ketusnya, sepertinya bapaknya Helen sudah kesal. Sama seperti aku. Ibunya Helen sama ibu mas Rahman kenapa klop banget gak tau dirinya. Astaghfirullah. Aku mengusap dadaku seketika. Suara motor dengan knalpot yang
Belum ada jalan keluar bagian A. "Jadi jelas, ya semua. Kakak saya ini TIDAK AKAN MENCABUT LAPORANNYA! Semoga dan ibu mengerti apa yang saya lakukan," tutur Aisyah dengan angkuh. gadis berusia tujuh belas tahun itu menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka lebar. "Dzolim sekali sama orang. Puas, ya? Kalau melihat orang menderita. Tampilan agamis tapi julid," gerutu ibunya sambil mendelik ke arah Aisyah. "Kalau begini kan jadi sepuluh sebelas sama, Ibu. Tampilan, Ibu juga sosialita pengajian, berbaju syar'i tapi sayang, gak bisa menjaga bicaranya sama orang lain," balas Aisyah tak kalah pedasnya. "Sudah, Apakah!" tegurku. Meski aku setuju dengan ucapan Adik bungsuku itu, namun aku tak akan mengambil kesempatan dengan membiarkan Aisyah mengata-ngatai orang yang usianya lebih tua darinya bahkan dariku. Emak dan abah sangat menjunjung tinggi tentang adab. Seandainya sekarang mendengar atau melihat Aisyah selancang itu, sudah pasti akan kena omel keduanya. Aisyah langsung memutar bo
Part : Belum ada jalan keluar bagian B."Abang minta maaf, La. Atas kesalahan Eni sama kamu," ucapnya lagi. Entah yang keberapa kali bang Anton minta maaf sejak setengah jam duduk di terasku. Aku tak menjawabnya. Semua orang minta maaf dan ingin dimaafkan. Apalagi alasannya anak. Aku harus bagaimana? "Kalau begitu, kita ke kantor polisi saja," ucap ibunya Helen sambil bangkit. Lalu kedua orang lainnya ikut bangkit. Hanya bapaknya Helen dan pak RW yang menyalami kami sebelum pamit. Ibunya Sarah tanpa sepatah kata pun berlalu meninggalkan dua orang lainnya. "Ton, sana ke kantor polisi. Bebaskan istrimu, anak-anakmu nanti terlantar. Ibu malas sekali ribet lagi," ucap ibu. Ia keberatan untuk mengurusi ketiga cucunya. "Biar di sini sama Mala sa—" "Tentu saja, memang seharusnya begitu, kamu yang bikin ulah. Ya, kamu yang harus mengurusi cucu-cucuku. Kan ibunya kamu yang penjarakan," sahutnya. Padahal aku belum selesai berbicara.Ya … Tuhan, bolehkah aku bilang ingin wanita tua dihadapa
"Onty, mana Ma?" tanya Nayla. Anak gemil itu sedang disuapin oleh Aisyah sambil menonton film kartun di tv."Nanti juga pulang. Nayla malam ini nginep sama onty aja, mau?" tanya dengan memandang lekat wajahnya."Nay, mau pulang onty. Nanti anterin abis makan. Mau cari Mama. Tadi pagi mama dibawa polisi," ucapnya lagi. Aku memejamkan mataku. Nayla dan kedua kakaknya juga Wulan akan terlantar hanya karena keegoisanku? Apa yang kamu lakukan Mala? Tuhan….Aku harus bagaimana? ———RatuNnaKania———Aku masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhku. Kupandang lekat langit-langit kamarku seolah-akan ada jalan keluar dari sana. Celotehan Nayla terdengar begitu jelas. Gelak tawanya, dan cara dia merajuk saat kudengar Aisyah menjahilinya. Balita itu begitu polos, bahkan sejak tadi sudah minta diantarkan pulang. Kedua kakaknya sepertinya pulang bersama bang Anton tadi. Apakah mereka sudah makan? Ada rasa khawatir di benak ini. Akh, aku jadi dilema. Kuraih ponselku lalu menekan nomor suamiku. Ku
Berkumpul di rumah Mala."Sepuluh juta?!" Serentak ketiganya mengulang nominal yang aku sebutkannya. Aku hanya memasang senyum bahagia, membayangkan tiga puluh juta di depan mata. Sedangkan ipar dan mantan pacar suamiku mereka saling pandang satu sama lain. "La, sini sebentar," panggil Eful sambil menepuk pundakku. Tanpa menunggu jawabanku Eful telah berlalu kedepan. Ia menuju ke sebuah warung di samping kantor polisi yang sedang lenggang."Mau minum apa?" tanyanya saat aku mulai mendudukkan diri di sebuah kursi tepat di hadapannya. Aisyah, Bu RT dan pak RT ku minta menunggu sebentar. "Teh botol aja," sahutku. Karena aku sangat suka dengan minuman instan itu. Jadi dimana pun dan apapun makanannya minum lnya tetap, Eh—"La, kamu gak boleh ngomongin masalah uang damai di kantor polisi!" ucapnya dengan menatap lekat wajahku. Serius sekali tatapan adik sepupuku itu. "Oh, aku hanya bercanda, Ful. Hanya menggertak mereka, beneran deh!" kilahku dan memang tak terpikirkan sebelumnya meski