Pembelaan Anton.Mala memelototkan matanya pada Helen yang sedang mengejeknya, bahkan Helen tak segan menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengahnya ke arah Mala. Membuat amarah Mala memuncak, namun ia segera sadar dengan mengerjakan matanya lalu beristighfar. "Bukankah buah yang busuk akan jatuh dengan sendirinya?" gumamnya dalam hati. "Biarlah mereka semena-mena padaku saat ini, aku juga yakin, hukum tabur tuai itu masih berlaku,"ucap Mala dalam hati."Sabar, ya! La," ucap Umi Hamzah sambil mengelus pundak Mala perlahan-lahan. Wanita berhijab lebar itu, sungguh tau apa yang dirasakan tetangganya ini. "Nggak apa-apa kok, Mi. Lagian sudah biasa-kan?" sahut Mala dengan seulas senyum. Umi Hamzah mengangguk pelan, senyumnya getir saat mengingat bagaimana keseharian Mala dengan mertuanya. Sebagai tetangga dekat bu Samirah, sudah sering Umi Hamzah mengingatkan wanita tua itu, namun seperti tidak pernah berbekas. Kini jalan satu-satunya adalah menenangkan Mala. "Heran sama si Helen,
Part 127. Pembelaan Anton bagian B."Heh, Anton. Itu istri adik iparmu, kamu palak juga?" seru bu Usman dengan lantang. Membuat Anton melirik ke arah bu Usman dan kawan-kawannya. "Aku pinjam, Bu. Bukan malak," jawab Anton jujur. "Halah, modus sekali," cibirnya."Jangan kau godain istri iparmu, Bang. Pamali!" Seru Helen dengan tatapan mengejek ke arah Anton dan Mala. "Sebusuk-busuknya saya, tidak akan menggoda wanita baik-baik. Apalagi keluarga sendiri," sahut Anton dengan keras. "Halah, siapa yang gak tau kamu, Bang. Warga sini juga dah tahu tabiat kamu," ejek Helen. "Lama-Lama, pasti kau embat juga istri iparmu itu, apalagi jauh dari suaminya. Atau memang kalian ada affair?"Anton yang sudah siap mendorong sepeda motornya, kembali memasang standar motor itu. Kini ia maju beberapa langkah ke arah tiga orang itu. "Eh, J*nda! Dengerin baik-baik ni. banyak orang punya masa lalu, begitupun aku. Jangan lantas kau ingat busuknya, tapi lihatlah aku sekarang. Aku memang pernah melakukan
Part 128. Jiwa bar bar Aisyah bagian A."Bocah gemblung, kamu ngatain orang tua Gil*k. Kualat nanti, tuh kayak si Mala. Dah dibilangi jangan pindah rumah dulu, ngeyel. Dan akhirnya bayinya meninggal."Aku yang sudah mulai melangkah, kini memutar badanku kembali ke arah tiga wanita itu. Aku membocorkan tajam pada bu Usman. Tapi wanita tua itu malah seperti menantang."Ada apa kamu memandang saya?" tanyanya dengan sengit.
Part 129. Jiwa bar-bar Aisyah bagian B."Oo, jadi seblak kanibal dong, atut," sahut Helen dengan mimik muka seperti minta ku tampol."Ais. Ayolah! Teteh, mau Bak," ucapku."Tahan dulu si, Teh," sungutnya tak suka."Udah di ujung, ini," ucapku lagi, sungguh tak ada jalan lain untuk menghentikan perdebatan yang membag*ngkan ini. Terpaksa aku bilang mau buang air kecil."Ish." Aisyah mendelik tak suka."Lihat saja! Kalau kau berani mengatai aku lagi, apalagi berani menggoda suami kakakku. Akan aku pastikan, hidupmu berakhir di wajan seblakku," ucap Aisyah dengan sorot mata tajam. Ku lihat ibu dan bu Usman berbisik-bisik. Tapi aku tak peduli lagi, mau apapun yang mereka bisikan.Aku berhasil membawa Aisyah pulang, meski ia terus saja mengomel gara-gara kesal sama trio kucluk. Ku biarkan saja, mungkin dengan mengomel sepe
Part 130. Misi novi yang gagal. "Apa kak Novi, bilang?" Aisyah mengepalkan tangannya ketika mendengar tudingan tetangga kakaknya. Jiwa masa mudanya yang berani bangkit seketika untuk memberi perlawanan. "Kamu penipu!" "Apa?!" Pekik Aisyah. "Kakak menuding saya penipu? atas dasar apa?" "Anak saya jajan bawa uang lima puluh ribu, dia pulang membawa sosis satu tusuk, tanpa di kasih kembalian," ucapnya dengan berapi-api. Aisyah berjongkok menyamakan tinggi dengan anak Novi. Ia mengusap pundak anak lelaki itu dengan lembut bertanya, "Abang, tadi jajan uangnya cuma dua ribu kan?" Anak itu mengangguk dengan mantap lalu menjawab. "Ia, onty. Kata Mama, Abang, gak boleh jajan banyak-banyak-cukup. Dua lebu juga cukup. Anak Novi memang terkenal dengan kefasihan bicaranya. Bahkan seperti orang tua jika sedang diajak bicara, selalu nyambung dengan apa yang banyak dipertanyakan. "Heh, sembarang! Mama, tadi kasih kamu uang yang biru," bentak Novi dengan
Part 131. Gulai kambing. Terlihat Faris membonceng ibunya berhenti tak jauh dari warung. Anak itu masih berseragam. Mala bergegas menyambut ibunya. Faris mencium takjim tangan kakaknya. "Bu," sapa Mala. "kamu sehat, La?" "Alhamdulillah. Ibu, apa kabar?" "Sehat juga." "Bu, Faris, berangkat dulu ya," pamitnya dari atas motor. "Kamu mau sekolah?" tanya Mala. "Udah pulang, Teh. Tapi mau pergi kerja kelompok, nganterin dulu Emak," katanya sambil menyuar rambutnya. Aisyah dan Faris ada di satu sekolah yang sama. Hanya berbeda jurusan saja. "Emak, bawa apa? Banyak banget," tanya Mala, melihat beberapa plastik yang di turunkan oleh adiknya dari motor. "Kambing abahmu kebebeng, entah makan apa malam tadi, untung Fariz belum tidur. Karena tidak memungkin akan baik-baik saja. Jadi sama abahmu langsung disembelih saja. Padahal dua hari lalu sudah ada yang nawar, cuma belum pas di harga jadi abah gak menjualnya," tutur bu Sarah. Terny
Part 132. Sabar yang tiada batas."Kau mau membunuh aku, dengan memberi olahan kambing inj?" pekiknya. Membuat Mala tersentak kaget mendengar suara mertuanya yang menggelegar itu. "Apaan sih, Bu. Sudah kayak Tarzan saja, Mala didepanmu, Lho. Bicara pelan-pelan kan bisa," tegur suaminya."Bagaimana, Ibu tidak emosi, Pak. Aku ini punya penyakit darah tinggi. Dan bisa-bisanya menantumu memberikan ini ke rumahku?" ucapnya lagi dengan menggebrak meja makan."Bu!" pekik pak Manto. Bu Samirah hanya mendengus, sedangkan sayur di atas meja tumpah berserakan akibat gebrakan meja tadi. Mala masih diam dan tetap terlihat tenang, ia seakan sudah tahu mertuanya akan merespon seperti itu. Mala juga tahu, perihal ibu mertuanya yang sampai saat ini masih saja ngamuk-ngamuk begitu. Kemarahan bu Samirah memang belum selesai gara-gara kepindahan anak menantunya. Hingga menyebabkan emosi selalu naik saat setiap melihat Mala. Ia menuding menantunya itulah penyebab anak lelaki kesayangannya membangkang tak
Wangi sate yang telah terhidang di meja begitu menguar di indera penciuman bu Samirah. Cacing-Cacing dalam perutnya seakan bangkit dan menyerangnya hingga menyebabkan rasa lapar dan ingin mencicipi sate itu."Ini sate beli di langganan Ibu lho. Mau Mala ambilkan nasi, Bu?" tanya Mala dengan menatap lembut mertuanya. "Nggak usah!" sahutnya judes. "Sana kamu pulang, ngapain terus disitu?" "Ya…udah, Mala pamit ya, Pak, Bu," ucapnya sambil melangkah ke luar. Meski sikap mertuanya begitu, Mala tetap bertahan. Kata ibunya, Lawan arogannya sikap mertuamu dengan lembut, jika kamu masih mencintai suamimu. Jangan kau tempatkan suamimu pada pilihan yang tak bisa di pilihnya. Jika ibunya menekan, maka tugasmu adalah menenangkan. Bersikap lembut pada orang arogan tidak akan membuatmu hina tapi sebaliknya sikap itu yang akan membuatmu terlihat berharga. Pesan bu sarah waktu itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga Mala.Setelah terdengar pintu yang tertutup, bu Samirah merraih piring dihadapan