Part 131. Gulai kambing. Terlihat Faris membonceng ibunya berhenti tak jauh dari warung. Anak itu masih berseragam. Mala bergegas menyambut ibunya. Faris mencium takjim tangan kakaknya. "Bu," sapa Mala. "kamu sehat, La?" "Alhamdulillah. Ibu, apa kabar?" "Sehat juga." "Bu, Faris, berangkat dulu ya," pamitnya dari atas motor. "Kamu mau sekolah?" tanya Mala. "Udah pulang, Teh. Tapi mau pergi kerja kelompok, nganterin dulu Emak," katanya sambil menyuar rambutnya. Aisyah dan Faris ada di satu sekolah yang sama. Hanya berbeda jurusan saja. "Emak, bawa apa? Banyak banget," tanya Mala, melihat beberapa plastik yang di turunkan oleh adiknya dari motor. "Kambing abahmu kebebeng, entah makan apa malam tadi, untung Fariz belum tidur. Karena tidak memungkin akan baik-baik saja. Jadi sama abahmu langsung disembelih saja. Padahal dua hari lalu sudah ada yang nawar, cuma belum pas di harga jadi abah gak menjualnya," tutur bu Sarah. Terny
Part 132. Sabar yang tiada batas."Kau mau membunuh aku, dengan memberi olahan kambing inj?" pekiknya. Membuat Mala tersentak kaget mendengar suara mertuanya yang menggelegar itu. "Apaan sih, Bu. Sudah kayak Tarzan saja, Mala didepanmu, Lho. Bicara pelan-pelan kan bisa," tegur suaminya."Bagaimana, Ibu tidak emosi, Pak. Aku ini punya penyakit darah tinggi. Dan bisa-bisanya menantumu memberikan ini ke rumahku?" ucapnya lagi dengan menggebrak meja makan."Bu!" pekik pak Manto. Bu Samirah hanya mendengus, sedangkan sayur di atas meja tumpah berserakan akibat gebrakan meja tadi. Mala masih diam dan tetap terlihat tenang, ia seakan sudah tahu mertuanya akan merespon seperti itu. Mala juga tahu, perihal ibu mertuanya yang sampai saat ini masih saja ngamuk-ngamuk begitu. Kemarahan bu Samirah memang belum selesai gara-gara kepindahan anak menantunya. Hingga menyebabkan emosi selalu naik saat setiap melihat Mala. Ia menuding menantunya itulah penyebab anak lelaki kesayangannya membangkang tak
Wangi sate yang telah terhidang di meja begitu menguar di indera penciuman bu Samirah. Cacing-Cacing dalam perutnya seakan bangkit dan menyerangnya hingga menyebabkan rasa lapar dan ingin mencicipi sate itu."Ini sate beli di langganan Ibu lho. Mau Mala ambilkan nasi, Bu?" tanya Mala dengan menatap lembut mertuanya. "Nggak usah!" sahutnya judes. "Sana kamu pulang, ngapain terus disitu?" "Ya…udah, Mala pamit ya, Pak, Bu," ucapnya sambil melangkah ke luar. Meski sikap mertuanya begitu, Mala tetap bertahan. Kata ibunya, Lawan arogannya sikap mertuamu dengan lembut, jika kamu masih mencintai suamimu. Jangan kau tempatkan suamimu pada pilihan yang tak bisa di pilihnya. Jika ibunya menekan, maka tugasmu adalah menenangkan. Bersikap lembut pada orang arogan tidak akan membuatmu hina tapi sebaliknya sikap itu yang akan membuatmu terlihat berharga. Pesan bu sarah waktu itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga Mala.Setelah terdengar pintu yang tertutup, bu Samirah merraih piring dihadapan
Part 134. Foto Gara-Gara. "Hmz, apa jangan-jangan kau naksir suamiku ya? Soalnya kamu kesepian karena adikku jauh?" tanyanya dengan nada dan pandangan pertama. Mala terkesiap mendengar ucapan Eni, ia pun meradang dan berkacak pinggang seketika. "Astaghfirullah haladzim. Kak, jangan buat saya kurang ajar sama Kakak, ya!" ucap Mala dengan garang. Pikiran macam apa pula di otak kakak iparnya itu. Bisa-Bisanya menudingnya mau cari perhatian suami iparnya sendiri "Halah, akui saja, kalau kamu emang naksir sama suamiku," ucap Eni dengan mengagumi yang dari atas memandang penampilan Mala. "Kak," pekik Mala dengan wajah memerah, siapa pula orangnya yang tak akan terpancing amarahnya jika tidak bersalah. Eni mencebik dengan tangan di depan. "Apa? Kamu mau ngeles? Emang kerjaan perempuan kesepian itu, ya gitu. Cari perhatian sama suami orang," ketusnya. Mala mengeratkan rahangnya dengan tuduhan tanpa alasan dari kakak iparnya. "Atas dasar apa, Kakak menuduh saya seperti itu? Ada bukti?"
"Pelan-Pelan sih, Kak, ngomongnya. Tuh orang yang lewat pada melirik kesini," ucap Mala risih. "Biarin mereka tau, kalau adik iparku menggoda suamiku." "Hei!? Hati-Hati kalau bicara. Bisa kena pasal anda," ucap Mala tak terima, sejak tadi dia dengan santai menanggapi emosi kakak iparnya. Tapi respon Eni sungguh mengundang emosinya."Kena pasal? Baguslah, biar kau di penjara, sana laporkan," tantang Eni"Yakin, mau aku laporkan? Sepupuku ada tuh yang dinas di Polsek sini?" ucap Mala, memang kebetulan ada anak pamannya yang jadi polisi. "Kamu ngancam aku?" tanya Eni."Kakak, yang duluan. Dibilangin baik-baik gak terima. Malah nuduh aku yang nggak-nggak. Kalau aku melaporkan, Kakak. Gampang banget lho, dengan pasal pencemaran nama baik juga ujaran kebencian." "Ngadi-Ngadi," cibir Eni."Gak percaya? Ayok, kita buktikan." Kini giliran Mala yang menantangnya. Eni sedikit bergeming. Gestur tubuhnya menandakan kaget dengan tantangan dari adik iparnya."Gimana, Kak?" "Heh! sudah tau salah
Pov Mala"Pak, Pak RT! " Aisyah berteriak memanggil pak RT yang kebetulan lewat depan rumahku. Gadis itu berlari ke arah jalan, guna mengejar pak RT yang melaju mengendarai motor."Panggil, Is. Biar kita selesaikan lewat jalur aparat," sengit kak Eni dengan dada yang membusung."Yakin, Kak? Gak bakal nyesel?" ucapku dengan santai. Tentu saja aku santai, toh mau sebagaimana dia berusaha mempermalukanku tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi hanya berdialog meminjam uang tidak ada saling tatap-tatapan. Ia kali aku mau ngegateli iparku sendiri. Meskipun kulit bang Anton lebih cerah dari suamiku, tapi tak lantas diri ini punya pikiran sejauh itu. Amit-Amit jabang bayi.Kak Eni mendengus saat tatapan mata kami bertemu, dia begitu pongah terbakar kabar yang tak jelas. Tadi saat aku dan bang Anton ketemu, hanya ada tiga orang disana. Ibu, bu Usman dan si pirang Helen.
Kak Eni bercerita sesuai dengan tuduhannya tadi padaku. Aku hanya diam mendengarkan saja. Percuma ku bantah, yang ada nanti aku yang akan beradu fisik bukan mulut lagi. Sesungguhnya aku sudah tak tahan untuk tidak menjambak, atau mungkin akan ku cekik saja kakak iparku itu sekalian. Astaghfirullah. "Kamu punya bukti?" tanya pak RT. "Punya, ini." Kak Eni menyodorkan ponselnya. Pak RT melihat kearah ponsel lalu melihat ke arah ku seakan menginginkan jawaban dariku. Aku hanya menggeleng. Beliau kenal baik denganku, karena Bu RT sering meminta bantuan kalau ada acara di kampung kami, interaksi antara aku dan keluarga pak RT bisa dibilang kenal baik. "Tidak seperti yang terlihat, Pak RT," ucapku. "Tuh, kan ngeles terus," ucap kak Eni. Sungguh bukan hanya rasa malunya yang kurang attitudenya pun minus sekali. "Biarkan Mala menyelesaikan ucapanya. Saya sudah mendengar masalah versi kamu, jadi biarkan saya juga mendengar versi dari Mala," ucap pak RT dengan te
Pov Mala."Ma—maksudku, bukan dia yang mengirim Poto ini. Aku mendapatkan dari orang lain. Tapi orang ini tak mungkin bohong," ucap Kak Eni dengan mantap dan yakin."Gak ada yang bilang Helen kok. Yakan, Teh? Kami semua belum ada yang menyebut nama," ucap Aisyah dengan tajam.Kepalaku serasa mau pecah, belum kelar Masalah foto, sudah terbit pula video toktok itu. Ya Allah."Ya, memang bukan d