Pov Mala.
"Ma—maksudku, bukan dia yang mengirim Poto ini. Aku mendapatkan dari orang lain. Tapi orang ini tak mungkin bohong," ucap Kak Eni dengan mantap dan yakin.
"Gak ada yang bilang Helen kok. Yakan, Teh? Kami semua belum ada yang menyebut nama," ucap Aisyah dengan tajam.
Kepalaku serasa mau pecah, belum kelar Masalah foto, sudah terbit pula video toktok itu. Ya Allah.
"Ya, memang bukan d
"Sudah jelas kan, Ni? Bahwa suamimu itu bertemu dengan Mala secara kebetulan. Mala yang pulang membeli sayur dan Anton yang akan berangkat ke kota. Karena suamimu tak memiliki uang, bahkan motornya pun di dorong, maka terjadilah proses meminjam uang antara mereka.""Aku tetap Ndak terima, Pak RT," sahutnya dengan judes. Allahuakbar, mau apalagi si Kentung ini."Terus kamu maunya bagaimana?" tanya bu RT."Seperti yang saya bilang, Bu, Pak. Saya mau dia, membuat perjanjian tertulis dan mengganti rugi pada saya," ucapnya dengan pongah."Ganti rugi apa?" Tiba-Tiba Aisyah menyahut dengan muka yang garang. Adikku mungkin sudah emosi dengan ngeyelnya ka Eni."Ya, ganti rugilah—""Ganti rugi untuk apa, Kak? Bayar utang padaku?" ucapku memotong ucapannya dengan lirikan tajam. Aku sudah tak punya stok sabar lagi buat iparku yang satu ini.&
Laporan ke kantor Polisi "Aku heran, kamu itu bermasalah terus hidupnya. Apa kamu itu punya nasib sial?" celutuk ibu dengan ketus disertai pandangan penuh kebencian padaku. Membuat Emak seketika menegakan tubuhnya dan menatap garang pada ibu. "Jangan sembarang bicara, Besan!" ucap emak dengan tatapan mengerikan. Sepertinya ibuku ini memang menunggu waktu yang tepat untuk membantah mertuaku."Apa yang sembarangan, Besan. Coba ingat-ingat, kejadian yang menimpa Mala akhir-akhir ini hanyala kesialan," ujar ibu dengan ketus."Benar sekali. Sialnya anak saya adalah memiliki mertua seperti, Besan," ucap emak dengan sengit. Ada amarah yang siap meledak di sorot mata ibuku itu. "Maksudnya bagaimana, ya?" tanya Ibu sambil menatap lekat wajah emak. Mimik muka keduanya sama-sama bengis. Emak apalagi seolah punya dendam tersimpan. Jujur saja aku tak pernah melihat emak seseram hari ini. "Perlu saya jabarkan?" tanya emak. "Akh, sudahlah. Aku belum ngangkat jemuran ini, udah mendung tuh. Ayo
"Tumben kamu pagi-pagi dah beredar?" tanyaku. "Berasa jadi koran deh," sahutnya sambil terbahak. "Tapi bener pagi ini gue bawa kabar bak koran pikiran rakyat." "Kabar?" "Iya, nih liat. Kamu lagi viral di toktok," ucap Tika. Aku meraih ponsel milik Tika dan melihat video yang kemaren. "Si Alina yang ngasih tau aku, La. Yang serem komentar nya , La," ucap Tika. Tanganku bergetar menekan tombol untuk membaca komentar. "Astaghfirullah." Aku menutup mulutku membaca komentar yang menghakimiku, yang membuat aku semakin geram adalah salah satu komentar teratas dengan nama 3N yang menyebutkan bahwa akulah yang menggoda suaminya. "Kak Eni—"Aku langsung meraih ponselku dan mendownload aplikasi tersebut. Aku memang tidak pernah punya aplikasi itu. Aku tidak tertarik tapi aku malah viral disana gara-gara fitnah. Tak butuh lama aplikasinya sudah muncul di layar ponselku. Aku langsung membuat akun dan mencari nama Mawar berduri yang mengunggah video tersebut. Lalu aku mengscreenshot komentar
Eni dan keangkuhannya."Wah, Rombongan. Darimana nih,?" tanya Tika, saat aku melintas di hadapannya yang sedang menyuapi Alia. Anak gembul itu tengah berlari memasuki halamanku dan berteriak memanggil namaku."Onty, Onty," serunya. Aku berjongkok menyamakan tingginya dengan Alia, lalu mencubit gemas pipi anak kecil itu, hingga menyebabkan Alia mengaduh dan cemberut karena merasa sakit di pipinya."Dari mana, La?" tanya Tika wajah kepo nya sudah terlihat jelas."Kasih tau gak, ya?" ucapku berusaha bergurau dengannya dan membuat dia makin penasaran."Dih, kebiasaan," sungutnya. Aku tergelak melihat ekspresi Tika yang menyebalkan. Dia memanyunkan bibirnya disertai bola mata yang berputar."Aku dari kantor polisi?""Hah?! Ngapain?""Ngelaporin orang lah," sahut
"Helen, silahkan dilihat kertas yang di tangan, Mbak Susan," titahku dengan senyuman manis ke arah wanita cantik itu.Helen melihat dengan seksama kertas di pegangannya, matanya membelalak kagetmenatap kertas itu, ada dua komentar yang disematkan oleh akun Mawar berduri itu. Komentar Kak Eni dan Helen sebagai provokasi dan pembenaran berita bohong dan fitnah."A—aku, a—aku," ucapnya tergagap."Kenapa, Len?itu sudah bisa membuatmu meringkuk dalam beberapa bulan lho di sel," gertakku.Kemarin saat aku menanyakan kelanjutan kasus ku via telepon. Eful menjelaskan padaku kalau kasus seperti ini tidak bisa langsung dilakukan penangkapan seperti pada kasus pencurian atau penganiayaan. Ada tahap pemanggilan sebanyak tiga kali, kalau mereka mangkir maka akan dijemput paksa. Aku geram dengan aturan itu dan meminta Eful agar menangkap mereka dengan dalih menakut
Menjemput Susan.Wajah Mala memanas kala mendengar permintaan Rahman di telepon barusan. Seandainya saja ada orang yang melihat pasti wajahnya akan terlihat memerah karena malu. Meski Rahman suaminya sendiri, Mala masih saja malu dan sering berdebar-debar jika suaminya mengucapkan hal-hal seperti tadi.Bisa dibilang, Mala adalah tipe yang kaku dalam hal begitu, dia belum terbiasa meski sudah satu tahun menikah, apalagi dulunya mereka tinggal bersama orang tua Rahman. Membuatnya terbiasa sepi sunyi tanpa kegaduhan meskipun sedang menjalankan misi. (Hahaha, maaf author ngakak nulis ini)Mala segera masuk ke kamar mandi membersihkan dirinya lalu sholat. Malam pun merangkak sepi, pekat tanpa bintang. Pikiran Mala masih seputar permintaan Rahman hingga tanpa sadar ia terlelap dengan seputar pertanyaan 'apakah aku harus menuruti keinginan mas Rahman? Karena itu bukan permintaan untuk pertama kalinya.
"Mamaaaa, ada culik," teriaknya sambil lari ke dalam, Eful dan kedua temannya yang menyaksikan itu terbengong-bengong. Melihat Wulan tunggang langgang lari sambil berteriak histerisLalu Susan keluar dengan tergopoh dan membawa sapu di tangannya. Seketika mendelik melihat ke arah Eful dan kedua temannya yang sedang menatap ke arahnya."Po—Polisi—" Susan mematung dan tak melanjutkan ucapannya. Matanya melotot sempurna melihat ketiga lelaki berseragam coklat dihadapannya."Selamat siang, Ibu. Kami kesini mau menjemput, Ibu Susan Febriani untuk pemeriksaan kasus UU ITE yang di laporkan oleh sodara Nurmala Sari," ucap Eful dengan lugas."Sa—Saya?” Susan terus tergagap menanggapi pertanyaan pria berseragam itu. Sungguh ia shock sampai didatangi polisi seperti ini. Padahal dengan jelas Minggu lalu Eni bilang akan aman karena ada kenalannya di kepolisian, tapi
Menjemput Eni. "Assalamualaikum." Terdengar suara lelaki mengucapkan salam di luar. Eni bangkit dengan wajah ditekuk, jika saja cintanya tidak besar pada Anton, mungkin sudah sejak lama ia meninggalkan bapak dua anak itu. "Waalaikumsalam," sahutnya sambil membuka pintu dalam satu kali tarikan. "Polisi?" ucapnya dengan mata yang melotot, ia tak menyangka Mala akan melanjutkan kasusnya. "Polisi?" ucap Anton yang mengulang perkataan istrinya, jantungnya terasa loncat dari tempatnya, melihat dua polisi sedang berdiri di hadapan rumahnya dengan senyum manis dan wajah yang ramah. "Ada apa, ini?" Anton membatin. "Selamat siang, Pak, Bu," sapa Eful, ia ingin tertawa sekencangnya melihat muka cengo Anton dan Eni perihal melihatnya. "Iya, ada apa, ya Pak?" sahut Anton berusaha menguasai kekagetannya. Lagian pikirnya ia tak merasa melakukan sebuah perbuatan yang melanggar hukum jadi ia berusaha untuk tenang. Lain hal dengan sang istri yang sudah dari tadi terus menelan ludah dengan dipaksa
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda