Pov Mala
"Pak, Pak RT! " Aisyah berteriak memanggil pak RT yang kebetulan lewat depan rumahku. Gadis itu berlari ke arah jalan, guna mengejar pak RT yang melaju mengendarai motor.
"Panggil, Is. Biar kita selesaikan lewat jalur aparat," sengit kak Eni dengan dada yang membusung.
"Yakin, Kak? Gak bakal nyesel?" ucapku dengan santai. Tentu saja aku santai, toh mau sebagaimana dia berusaha mempermalukanku tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi hanya berdialog meminjam uang tidak ada saling tatap-tatapan. Ia kali aku mau ngegateli iparku sendiri. Meskipun kulit bang Anton lebih cerah dari suamiku, tapi tak lantas diri ini punya pikiran sejauh itu. Amit-Amit jabang bayi.
Kak Eni mendengus saat tatapan mata kami bertemu, dia begitu pongah terbakar kabar yang tak jelas. Tadi saat aku dan bang Anton ketemu, hanya ada tiga orang disana. Ibu, bu Usman dan si pirang Helen. <
Kak Eni bercerita sesuai dengan tuduhannya tadi padaku. Aku hanya diam mendengarkan saja. Percuma ku bantah, yang ada nanti aku yang akan beradu fisik bukan mulut lagi. Sesungguhnya aku sudah tak tahan untuk tidak menjambak, atau mungkin akan ku cekik saja kakak iparku itu sekalian. Astaghfirullah. "Kamu punya bukti?" tanya pak RT. "Punya, ini." Kak Eni menyodorkan ponselnya. Pak RT melihat kearah ponsel lalu melihat ke arah ku seakan menginginkan jawaban dariku. Aku hanya menggeleng. Beliau kenal baik denganku, karena Bu RT sering meminta bantuan kalau ada acara di kampung kami, interaksi antara aku dan keluarga pak RT bisa dibilang kenal baik. "Tidak seperti yang terlihat, Pak RT," ucapku. "Tuh, kan ngeles terus," ucap kak Eni. Sungguh bukan hanya rasa malunya yang kurang attitudenya pun minus sekali. "Biarkan Mala menyelesaikan ucapanya. Saya sudah mendengar masalah versi kamu, jadi biarkan saya juga mendengar versi dari Mala," ucap pak RT dengan te
Pov Mala."Ma—maksudku, bukan dia yang mengirim Poto ini. Aku mendapatkan dari orang lain. Tapi orang ini tak mungkin bohong," ucap Kak Eni dengan mantap dan yakin."Gak ada yang bilang Helen kok. Yakan, Teh? Kami semua belum ada yang menyebut nama," ucap Aisyah dengan tajam.Kepalaku serasa mau pecah, belum kelar Masalah foto, sudah terbit pula video toktok itu. Ya Allah."Ya, memang bukan d
"Sudah jelas kan, Ni? Bahwa suamimu itu bertemu dengan Mala secara kebetulan. Mala yang pulang membeli sayur dan Anton yang akan berangkat ke kota. Karena suamimu tak memiliki uang, bahkan motornya pun di dorong, maka terjadilah proses meminjam uang antara mereka.""Aku tetap Ndak terima, Pak RT," sahutnya dengan judes. Allahuakbar, mau apalagi si Kentung ini."Terus kamu maunya bagaimana?" tanya bu RT."Seperti yang saya bilang, Bu, Pak. Saya mau dia, membuat perjanjian tertulis dan mengganti rugi pada saya," ucapnya dengan pongah."Ganti rugi apa?" Tiba-Tiba Aisyah menyahut dengan muka yang garang. Adikku mungkin sudah emosi dengan ngeyelnya ka Eni."Ya, ganti rugilah—""Ganti rugi untuk apa, Kak? Bayar utang padaku?" ucapku memotong ucapannya dengan lirikan tajam. Aku sudah tak punya stok sabar lagi buat iparku yang satu ini.&
Laporan ke kantor Polisi "Aku heran, kamu itu bermasalah terus hidupnya. Apa kamu itu punya nasib sial?" celutuk ibu dengan ketus disertai pandangan penuh kebencian padaku. Membuat Emak seketika menegakan tubuhnya dan menatap garang pada ibu. "Jangan sembarang bicara, Besan!" ucap emak dengan tatapan mengerikan. Sepertinya ibuku ini memang menunggu waktu yang tepat untuk membantah mertuaku."Apa yang sembarangan, Besan. Coba ingat-ingat, kejadian yang menimpa Mala akhir-akhir ini hanyala kesialan," ujar ibu dengan ketus."Benar sekali. Sialnya anak saya adalah memiliki mertua seperti, Besan," ucap emak dengan sengit. Ada amarah yang siap meledak di sorot mata ibuku itu. "Maksudnya bagaimana, ya?" tanya Ibu sambil menatap lekat wajah emak. Mimik muka keduanya sama-sama bengis. Emak apalagi seolah punya dendam tersimpan. Jujur saja aku tak pernah melihat emak seseram hari ini. "Perlu saya jabarkan?" tanya emak. "Akh, sudahlah. Aku belum ngangkat jemuran ini, udah mendung tuh. Ayo
"Tumben kamu pagi-pagi dah beredar?" tanyaku. "Berasa jadi koran deh," sahutnya sambil terbahak. "Tapi bener pagi ini gue bawa kabar bak koran pikiran rakyat." "Kabar?" "Iya, nih liat. Kamu lagi viral di toktok," ucap Tika. Aku meraih ponsel milik Tika dan melihat video yang kemaren. "Si Alina yang ngasih tau aku, La. Yang serem komentar nya , La," ucap Tika. Tanganku bergetar menekan tombol untuk membaca komentar. "Astaghfirullah." Aku menutup mulutku membaca komentar yang menghakimiku, yang membuat aku semakin geram adalah salah satu komentar teratas dengan nama 3N yang menyebutkan bahwa akulah yang menggoda suaminya. "Kak Eni—"Aku langsung meraih ponselku dan mendownload aplikasi tersebut. Aku memang tidak pernah punya aplikasi itu. Aku tidak tertarik tapi aku malah viral disana gara-gara fitnah. Tak butuh lama aplikasinya sudah muncul di layar ponselku. Aku langsung membuat akun dan mencari nama Mawar berduri yang mengunggah video tersebut. Lalu aku mengscreenshot komentar
Eni dan keangkuhannya."Wah, Rombongan. Darimana nih,?" tanya Tika, saat aku melintas di hadapannya yang sedang menyuapi Alia. Anak gembul itu tengah berlari memasuki halamanku dan berteriak memanggil namaku."Onty, Onty," serunya. Aku berjongkok menyamakan tingginya dengan Alia, lalu mencubit gemas pipi anak kecil itu, hingga menyebabkan Alia mengaduh dan cemberut karena merasa sakit di pipinya."Dari mana, La?" tanya Tika wajah kepo nya sudah terlihat jelas."Kasih tau gak, ya?" ucapku berusaha bergurau dengannya dan membuat dia makin penasaran."Dih, kebiasaan," sungutnya. Aku tergelak melihat ekspresi Tika yang menyebalkan. Dia memanyunkan bibirnya disertai bola mata yang berputar."Aku dari kantor polisi?""Hah?! Ngapain?""Ngelaporin orang lah," sahut
"Helen, silahkan dilihat kertas yang di tangan, Mbak Susan," titahku dengan senyuman manis ke arah wanita cantik itu.Helen melihat dengan seksama kertas di pegangannya, matanya membelalak kagetmenatap kertas itu, ada dua komentar yang disematkan oleh akun Mawar berduri itu. Komentar Kak Eni dan Helen sebagai provokasi dan pembenaran berita bohong dan fitnah."A—aku, a—aku," ucapnya tergagap."Kenapa, Len?itu sudah bisa membuatmu meringkuk dalam beberapa bulan lho di sel," gertakku.Kemarin saat aku menanyakan kelanjutan kasus ku via telepon. Eful menjelaskan padaku kalau kasus seperti ini tidak bisa langsung dilakukan penangkapan seperti pada kasus pencurian atau penganiayaan. Ada tahap pemanggilan sebanyak tiga kali, kalau mereka mangkir maka akan dijemput paksa. Aku geram dengan aturan itu dan meminta Eful agar menangkap mereka dengan dalih menakut
Menjemput Susan.Wajah Mala memanas kala mendengar permintaan Rahman di telepon barusan. Seandainya saja ada orang yang melihat pasti wajahnya akan terlihat memerah karena malu. Meski Rahman suaminya sendiri, Mala masih saja malu dan sering berdebar-debar jika suaminya mengucapkan hal-hal seperti tadi.Bisa dibilang, Mala adalah tipe yang kaku dalam hal begitu, dia belum terbiasa meski sudah satu tahun menikah, apalagi dulunya mereka tinggal bersama orang tua Rahman. Membuatnya terbiasa sepi sunyi tanpa kegaduhan meskipun sedang menjalankan misi. (Hahaha, maaf author ngakak nulis ini)Mala segera masuk ke kamar mandi membersihkan dirinya lalu sholat. Malam pun merangkak sepi, pekat tanpa bintang. Pikiran Mala masih seputar permintaan Rahman hingga tanpa sadar ia terlelap dengan seputar pertanyaan 'apakah aku harus menuruti keinginan mas Rahman? Karena itu bukan permintaan untuk pertama kalinya.