Part 134. Foto Gara-Gara. "Hmz, apa jangan-jangan kau naksir suamiku ya? Soalnya kamu kesepian karena adikku jauh?" tanyanya dengan nada dan pandangan pertama. Mala terkesiap mendengar ucapan Eni, ia pun meradang dan berkacak pinggang seketika. "Astaghfirullah haladzim. Kak, jangan buat saya kurang ajar sama Kakak, ya!" ucap Mala dengan garang. Pikiran macam apa pula di otak kakak iparnya itu. Bisa-Bisanya menudingnya mau cari perhatian suami iparnya sendiri "Halah, akui saja, kalau kamu emang naksir sama suamiku," ucap Eni dengan mengagumi yang dari atas memandang penampilan Mala. "Kak," pekik Mala dengan wajah memerah, siapa pula orangnya yang tak akan terpancing amarahnya jika tidak bersalah. Eni mencebik dengan tangan di depan. "Apa? Kamu mau ngeles? Emang kerjaan perempuan kesepian itu, ya gitu. Cari perhatian sama suami orang," ketusnya. Mala mengeratkan rahangnya dengan tuduhan tanpa alasan dari kakak iparnya. "Atas dasar apa, Kakak menuduh saya seperti itu? Ada bukti?"
"Pelan-Pelan sih, Kak, ngomongnya. Tuh orang yang lewat pada melirik kesini," ucap Mala risih. "Biarin mereka tau, kalau adik iparku menggoda suamiku." "Hei!? Hati-Hati kalau bicara. Bisa kena pasal anda," ucap Mala tak terima, sejak tadi dia dengan santai menanggapi emosi kakak iparnya. Tapi respon Eni sungguh mengundang emosinya."Kena pasal? Baguslah, biar kau di penjara, sana laporkan," tantang Eni"Yakin, mau aku laporkan? Sepupuku ada tuh yang dinas di Polsek sini?" ucap Mala, memang kebetulan ada anak pamannya yang jadi polisi. "Kamu ngancam aku?" tanya Eni."Kakak, yang duluan. Dibilangin baik-baik gak terima. Malah nuduh aku yang nggak-nggak. Kalau aku melaporkan, Kakak. Gampang banget lho, dengan pasal pencemaran nama baik juga ujaran kebencian." "Ngadi-Ngadi," cibir Eni."Gak percaya? Ayok, kita buktikan." Kini giliran Mala yang menantangnya. Eni sedikit bergeming. Gestur tubuhnya menandakan kaget dengan tantangan dari adik iparnya."Gimana, Kak?" "Heh! sudah tau salah
Pov Mala"Pak, Pak RT! " Aisyah berteriak memanggil pak RT yang kebetulan lewat depan rumahku. Gadis itu berlari ke arah jalan, guna mengejar pak RT yang melaju mengendarai motor."Panggil, Is. Biar kita selesaikan lewat jalur aparat," sengit kak Eni dengan dada yang membusung."Yakin, Kak? Gak bakal nyesel?" ucapku dengan santai. Tentu saja aku santai, toh mau sebagaimana dia berusaha mempermalukanku tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi hanya berdialog meminjam uang tidak ada saling tatap-tatapan. Ia kali aku mau ngegateli iparku sendiri. Meskipun kulit bang Anton lebih cerah dari suamiku, tapi tak lantas diri ini punya pikiran sejauh itu. Amit-Amit jabang bayi.Kak Eni mendengus saat tatapan mata kami bertemu, dia begitu pongah terbakar kabar yang tak jelas. Tadi saat aku dan bang Anton ketemu, hanya ada tiga orang disana. Ibu, bu Usman dan si pirang Helen.
Kak Eni bercerita sesuai dengan tuduhannya tadi padaku. Aku hanya diam mendengarkan saja. Percuma ku bantah, yang ada nanti aku yang akan beradu fisik bukan mulut lagi. Sesungguhnya aku sudah tak tahan untuk tidak menjambak, atau mungkin akan ku cekik saja kakak iparku itu sekalian. Astaghfirullah. "Kamu punya bukti?" tanya pak RT. "Punya, ini." Kak Eni menyodorkan ponselnya. Pak RT melihat kearah ponsel lalu melihat ke arah ku seakan menginginkan jawaban dariku. Aku hanya menggeleng. Beliau kenal baik denganku, karena Bu RT sering meminta bantuan kalau ada acara di kampung kami, interaksi antara aku dan keluarga pak RT bisa dibilang kenal baik. "Tidak seperti yang terlihat, Pak RT," ucapku. "Tuh, kan ngeles terus," ucap kak Eni. Sungguh bukan hanya rasa malunya yang kurang attitudenya pun minus sekali. "Biarkan Mala menyelesaikan ucapanya. Saya sudah mendengar masalah versi kamu, jadi biarkan saya juga mendengar versi dari Mala," ucap pak RT dengan te
Pov Mala."Ma—maksudku, bukan dia yang mengirim Poto ini. Aku mendapatkan dari orang lain. Tapi orang ini tak mungkin bohong," ucap Kak Eni dengan mantap dan yakin."Gak ada yang bilang Helen kok. Yakan, Teh? Kami semua belum ada yang menyebut nama," ucap Aisyah dengan tajam.Kepalaku serasa mau pecah, belum kelar Masalah foto, sudah terbit pula video toktok itu. Ya Allah."Ya, memang bukan d
"Sudah jelas kan, Ni? Bahwa suamimu itu bertemu dengan Mala secara kebetulan. Mala yang pulang membeli sayur dan Anton yang akan berangkat ke kota. Karena suamimu tak memiliki uang, bahkan motornya pun di dorong, maka terjadilah proses meminjam uang antara mereka.""Aku tetap Ndak terima, Pak RT," sahutnya dengan judes. Allahuakbar, mau apalagi si Kentung ini."Terus kamu maunya bagaimana?" tanya bu RT."Seperti yang saya bilang, Bu, Pak. Saya mau dia, membuat perjanjian tertulis dan mengganti rugi pada saya," ucapnya dengan pongah."Ganti rugi apa?" Tiba-Tiba Aisyah menyahut dengan muka yang garang. Adikku mungkin sudah emosi dengan ngeyelnya ka Eni."Ya, ganti rugilah—""Ganti rugi untuk apa, Kak? Bayar utang padaku?" ucapku memotong ucapannya dengan lirikan tajam. Aku sudah tak punya stok sabar lagi buat iparku yang satu ini.&
Laporan ke kantor Polisi "Aku heran, kamu itu bermasalah terus hidupnya. Apa kamu itu punya nasib sial?" celutuk ibu dengan ketus disertai pandangan penuh kebencian padaku. Membuat Emak seketika menegakan tubuhnya dan menatap garang pada ibu. "Jangan sembarang bicara, Besan!" ucap emak dengan tatapan mengerikan. Sepertinya ibuku ini memang menunggu waktu yang tepat untuk membantah mertuaku."Apa yang sembarangan, Besan. Coba ingat-ingat, kejadian yang menimpa Mala akhir-akhir ini hanyala kesialan," ujar ibu dengan ketus."Benar sekali. Sialnya anak saya adalah memiliki mertua seperti, Besan," ucap emak dengan sengit. Ada amarah yang siap meledak di sorot mata ibuku itu. "Maksudnya bagaimana, ya?" tanya Ibu sambil menatap lekat wajah emak. Mimik muka keduanya sama-sama bengis. Emak apalagi seolah punya dendam tersimpan. Jujur saja aku tak pernah melihat emak seseram hari ini. "Perlu saya jabarkan?" tanya emak. "Akh, sudahlah. Aku belum ngangkat jemuran ini, udah mendung tuh. Ayo
"Tumben kamu pagi-pagi dah beredar?" tanyaku. "Berasa jadi koran deh," sahutnya sambil terbahak. "Tapi bener pagi ini gue bawa kabar bak koran pikiran rakyat." "Kabar?" "Iya, nih liat. Kamu lagi viral di toktok," ucap Tika. Aku meraih ponsel milik Tika dan melihat video yang kemaren. "Si Alina yang ngasih tau aku, La. Yang serem komentar nya , La," ucap Tika. Tanganku bergetar menekan tombol untuk membaca komentar. "Astaghfirullah." Aku menutup mulutku membaca komentar yang menghakimiku, yang membuat aku semakin geram adalah salah satu komentar teratas dengan nama 3N yang menyebutkan bahwa akulah yang menggoda suaminya. "Kak Eni—"Aku langsung meraih ponselku dan mendownload aplikasi tersebut. Aku memang tidak pernah punya aplikasi itu. Aku tidak tertarik tapi aku malah viral disana gara-gara fitnah. Tak butuh lama aplikasinya sudah muncul di layar ponselku. Aku langsung membuat akun dan mencari nama Mawar berduri yang mengunggah video tersebut. Lalu aku mengscreenshot komentar
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda