Part 128. Jiwa bar bar Aisyah bagian A.
"Bocah gemblung, kamu ngatain orang tua Gil*k. Kualat nanti, tuh kayak si Mala. Dah dibilangi jangan pindah rumah dulu, ngeyel. Dan akhirnya bayinya meninggal."
Aku yang sudah mulai melangkah, kini memutar badanku kembali ke arah tiga wanita itu. Aku membocorkan tajam pada bu Usman. Tapi wanita tua itu malah seperti menantang.
"Ada apa kamu memandang saya?" tanyanya dengan sengit.
Part 129. Jiwa bar-bar Aisyah bagian B."Oo, jadi seblak kanibal dong, atut," sahut Helen dengan mimik muka seperti minta ku tampol."Ais. Ayolah! Teteh, mau Bak," ucapku."Tahan dulu si, Teh," sungutnya tak suka."Udah di ujung, ini," ucapku lagi, sungguh tak ada jalan lain untuk menghentikan perdebatan yang membag*ngkan ini. Terpaksa aku bilang mau buang air kecil."Ish." Aisyah mendelik tak suka."Lihat saja! Kalau kau berani mengatai aku lagi, apalagi berani menggoda suami kakakku. Akan aku pastikan, hidupmu berakhir di wajan seblakku," ucap Aisyah dengan sorot mata tajam. Ku lihat ibu dan bu Usman berbisik-bisik. Tapi aku tak peduli lagi, mau apapun yang mereka bisikan.Aku berhasil membawa Aisyah pulang, meski ia terus saja mengomel gara-gara kesal sama trio kucluk. Ku biarkan saja, mungkin dengan mengomel sepe
Part 130. Misi novi yang gagal. "Apa kak Novi, bilang?" Aisyah mengepalkan tangannya ketika mendengar tudingan tetangga kakaknya. Jiwa masa mudanya yang berani bangkit seketika untuk memberi perlawanan. "Kamu penipu!" "Apa?!" Pekik Aisyah. "Kakak menuding saya penipu? atas dasar apa?" "Anak saya jajan bawa uang lima puluh ribu, dia pulang membawa sosis satu tusuk, tanpa di kasih kembalian," ucapnya dengan berapi-api. Aisyah berjongkok menyamakan tinggi dengan anak Novi. Ia mengusap pundak anak lelaki itu dengan lembut bertanya, "Abang, tadi jajan uangnya cuma dua ribu kan?" Anak itu mengangguk dengan mantap lalu menjawab. "Ia, onty. Kata Mama, Abang, gak boleh jajan banyak-banyak-cukup. Dua lebu juga cukup. Anak Novi memang terkenal dengan kefasihan bicaranya. Bahkan seperti orang tua jika sedang diajak bicara, selalu nyambung dengan apa yang banyak dipertanyakan. "Heh, sembarang! Mama, tadi kasih kamu uang yang biru," bentak Novi dengan
Part 131. Gulai kambing. Terlihat Faris membonceng ibunya berhenti tak jauh dari warung. Anak itu masih berseragam. Mala bergegas menyambut ibunya. Faris mencium takjim tangan kakaknya. "Bu," sapa Mala. "kamu sehat, La?" "Alhamdulillah. Ibu, apa kabar?" "Sehat juga." "Bu, Faris, berangkat dulu ya," pamitnya dari atas motor. "Kamu mau sekolah?" tanya Mala. "Udah pulang, Teh. Tapi mau pergi kerja kelompok, nganterin dulu Emak," katanya sambil menyuar rambutnya. Aisyah dan Faris ada di satu sekolah yang sama. Hanya berbeda jurusan saja. "Emak, bawa apa? Banyak banget," tanya Mala, melihat beberapa plastik yang di turunkan oleh adiknya dari motor. "Kambing abahmu kebebeng, entah makan apa malam tadi, untung Fariz belum tidur. Karena tidak memungkin akan baik-baik saja. Jadi sama abahmu langsung disembelih saja. Padahal dua hari lalu sudah ada yang nawar, cuma belum pas di harga jadi abah gak menjualnya," tutur bu Sarah. Terny
Part 132. Sabar yang tiada batas."Kau mau membunuh aku, dengan memberi olahan kambing inj?" pekiknya. Membuat Mala tersentak kaget mendengar suara mertuanya yang menggelegar itu. "Apaan sih, Bu. Sudah kayak Tarzan saja, Mala didepanmu, Lho. Bicara pelan-pelan kan bisa," tegur suaminya."Bagaimana, Ibu tidak emosi, Pak. Aku ini punya penyakit darah tinggi. Dan bisa-bisanya menantumu memberikan ini ke rumahku?" ucapnya lagi dengan menggebrak meja makan."Bu!" pekik pak Manto. Bu Samirah hanya mendengus, sedangkan sayur di atas meja tumpah berserakan akibat gebrakan meja tadi. Mala masih diam dan tetap terlihat tenang, ia seakan sudah tahu mertuanya akan merespon seperti itu. Mala juga tahu, perihal ibu mertuanya yang sampai saat ini masih saja ngamuk-ngamuk begitu. Kemarahan bu Samirah memang belum selesai gara-gara kepindahan anak menantunya. Hingga menyebabkan emosi selalu naik saat setiap melihat Mala. Ia menuding menantunya itulah penyebab anak lelaki kesayangannya membangkang tak
Wangi sate yang telah terhidang di meja begitu menguar di indera penciuman bu Samirah. Cacing-Cacing dalam perutnya seakan bangkit dan menyerangnya hingga menyebabkan rasa lapar dan ingin mencicipi sate itu."Ini sate beli di langganan Ibu lho. Mau Mala ambilkan nasi, Bu?" tanya Mala dengan menatap lembut mertuanya. "Nggak usah!" sahutnya judes. "Sana kamu pulang, ngapain terus disitu?" "Ya…udah, Mala pamit ya, Pak, Bu," ucapnya sambil melangkah ke luar. Meski sikap mertuanya begitu, Mala tetap bertahan. Kata ibunya, Lawan arogannya sikap mertuamu dengan lembut, jika kamu masih mencintai suamimu. Jangan kau tempatkan suamimu pada pilihan yang tak bisa di pilihnya. Jika ibunya menekan, maka tugasmu adalah menenangkan. Bersikap lembut pada orang arogan tidak akan membuatmu hina tapi sebaliknya sikap itu yang akan membuatmu terlihat berharga. Pesan bu sarah waktu itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga Mala.Setelah terdengar pintu yang tertutup, bu Samirah merraih piring dihadapan
Part 134. Foto Gara-Gara. "Hmz, apa jangan-jangan kau naksir suamiku ya? Soalnya kamu kesepian karena adikku jauh?" tanyanya dengan nada dan pandangan pertama. Mala terkesiap mendengar ucapan Eni, ia pun meradang dan berkacak pinggang seketika. "Astaghfirullah haladzim. Kak, jangan buat saya kurang ajar sama Kakak, ya!" ucap Mala dengan garang. Pikiran macam apa pula di otak kakak iparnya itu. Bisa-Bisanya menudingnya mau cari perhatian suami iparnya sendiri "Halah, akui saja, kalau kamu emang naksir sama suamiku," ucap Eni dengan mengagumi yang dari atas memandang penampilan Mala. "Kak," pekik Mala dengan wajah memerah, siapa pula orangnya yang tak akan terpancing amarahnya jika tidak bersalah. Eni mencebik dengan tangan di depan. "Apa? Kamu mau ngeles? Emang kerjaan perempuan kesepian itu, ya gitu. Cari perhatian sama suami orang," ketusnya. Mala mengeratkan rahangnya dengan tuduhan tanpa alasan dari kakak iparnya. "Atas dasar apa, Kakak menuduh saya seperti itu? Ada bukti?"
"Pelan-Pelan sih, Kak, ngomongnya. Tuh orang yang lewat pada melirik kesini," ucap Mala risih. "Biarin mereka tau, kalau adik iparku menggoda suamiku." "Hei!? Hati-Hati kalau bicara. Bisa kena pasal anda," ucap Mala tak terima, sejak tadi dia dengan santai menanggapi emosi kakak iparnya. Tapi respon Eni sungguh mengundang emosinya."Kena pasal? Baguslah, biar kau di penjara, sana laporkan," tantang Eni"Yakin, mau aku laporkan? Sepupuku ada tuh yang dinas di Polsek sini?" ucap Mala, memang kebetulan ada anak pamannya yang jadi polisi. "Kamu ngancam aku?" tanya Eni."Kakak, yang duluan. Dibilangin baik-baik gak terima. Malah nuduh aku yang nggak-nggak. Kalau aku melaporkan, Kakak. Gampang banget lho, dengan pasal pencemaran nama baik juga ujaran kebencian." "Ngadi-Ngadi," cibir Eni."Gak percaya? Ayok, kita buktikan." Kini giliran Mala yang menantangnya. Eni sedikit bergeming. Gestur tubuhnya menandakan kaget dengan tantangan dari adik iparnya."Gimana, Kak?" "Heh! sudah tau salah
Pov Mala"Pak, Pak RT! " Aisyah berteriak memanggil pak RT yang kebetulan lewat depan rumahku. Gadis itu berlari ke arah jalan, guna mengejar pak RT yang melaju mengendarai motor."Panggil, Is. Biar kita selesaikan lewat jalur aparat," sengit kak Eni dengan dada yang membusung."Yakin, Kak? Gak bakal nyesel?" ucapku dengan santai. Tentu saja aku santai, toh mau sebagaimana dia berusaha mempermalukanku tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi hanya berdialog meminjam uang tidak ada saling tatap-tatapan. Ia kali aku mau ngegateli iparku sendiri. Meskipun kulit bang Anton lebih cerah dari suamiku, tapi tak lantas diri ini punya pikiran sejauh itu. Amit-Amit jabang bayi.Kak Eni mendengus saat tatapan mata kami bertemu, dia begitu pongah terbakar kabar yang tak jelas. Tadi saat aku dan bang Anton ketemu, hanya ada tiga orang disana. Ibu, bu Usman dan si pirang Helen.
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda