Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu.
Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya. Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu ceria. "Baru pulang, Mas?" tanya Mita basa basi seperti biasanya. "Hem." Jawaban singkat yang sudah setahun ini berlaku di kehidupan rumah tangga keduanya, sudah menjadi makanan sehari-hari Mita. Bagi wanita itu, sudah bukan hal yang aneh lagi jika mereka kini jarang berkomunikasi seperti pasangan suami istri umumnya. "Oh iya, Mas, besok aku izin mau pergi sama Ranti," ujar Mita memberi tahu suaminya. "Ya, lakukan saja apa yang mau kamu lakukan. Bukannya aku udah pernah bilang sebelumnya!" jawab Danu ketus. "Iya, kamu memang udah pernah bilang, tetapi tetap aja aku harus minta izin sama kamu setiap mau pergi karena kamu itu suami aku." "Terserah!" Sakit hati Mita rasakan, yang belum apa-apa saja sudah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari sikap suaminya. "Ya ... mungkin juga besok aku tidak pulang ke sini. Setelah menggelar pernikahan, aku dan Selena akan menginap di hotel. Lusa aku akan terbang ke Bali untuk berbulan madu." Penjelasan yang Danu sampaikan, tak mungkin tidak bisa diterima dengan hati lapang oleh istri di manapun. Termasuk Mita yang sontak merasakan kembali nyeri di relung hatinya yang belum sembuh dari luka semalam ketika mendengar berita atau keputusan dari suaminya itu. "Berapa lama?" Tidak ingin tampak terluka, Mita berusaha menahan serak suara yang pastinya bergetar sebab mendengar kata bulan madu disampaikan begitu santai oleh lelaki yang saat ini sudah selesai dengan makanannya. Bulan madu. Dua kata itu sama sekali belum pernah Mita alami dan rasakan sebagai istri dari seorang Danu Kusuma. Biduk rumah tangga yang hanya mereka jalani, tak pernah jauh dari rumah dan rumah kedua mertua, antara Bandung dan Jakarta. Tapi, kini sebagai calon istri kedua, Selena memiliki privilege itu dengan mendapatkan bulan madu ke Bali. "Belum tahu. Mungkin seminggu atau lebih, aku belum tahu pasti." "Bagaimana dengan pekerjaan kamu?" "Kenapa kamu peduli dengan urusan pekerjaanku? Aku ini seorang direktur, aku bebas cuti kapan pun aku mau," sinis Danu berkata. Tak lama kemudian lelaki itu pun beranjak dan pergi. Pergi meninggalkan istrinya yang belum selesai dengan makanannya. Sungguh perlakuan berbeda yang Danu tunjukkan. Meski mereka menikah atas dasar perjodohan, dulu Danu selalu mencoba menjadi suami yang baik. Dari sikap dan bicaranya, tidak pernah sekali pun lelaki itu menyakiti hatinya. Tapi, kali ini Mita rasakan jauh berbeda. Sikap dan tutur kata Danu sudah tidak seperti dua tahun kehidupan rumah tangga mereka di awal. Kini hari-hari mereka hanya diisi kesunyian dan suasana kelam layaknya kuburan. Bahkan meskipun mereka tidur di dalam kamar yang sama, tak pernah sekali pun Danu menyentuhnya lagi. Entah bagaimana cara lelaki itu menyalurkan hasrat biologis-nya yang biasanya tersalurkan dua atau tiga kali dalam sepekan. Terkadang Mita berpikiran buruk kalau suaminya itu mungkin saja sudah melakukan hal yang dilarang oleh agama bersama mantan kekasihnya. Namun, tak ingin rasa sakit dan benci yang biasanya ada bujuk rayu setan di dalamnya, Mita mencoba tidak peduli atau memikirkannya. *** Malam semakin menjelang, Mita akhirnya memilih untuk menyusul suaminya tidur. Sebelumnya ia lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar televisi. Sengaja memang, demi menghindari interaksi menyakitkan jika ternyata Danu masih terjaga dalam tidurnya. Namun, dugaan Mita ternyata keliru kali ini. Danu yang ia pikir sudah terlelap sebab ia sudah cukup lama menyaksikan program televisi yang sama sekali tidak ia tonton serius, rupanya tengah melakukan panggilan melalui ponselnya. "Aku juga udah enggak tahan, Sayang. Sabar, yah, kita akan melakukan itu besok." Kalimat yang Danu ucapkan —yang entah apa maksudnya— masuk ke telinga Mita ketika ia hendak menutup pintu kamar. Mita menguatkan dirinya untuk bergerak mendekati ranjang. Sang suami tengah duduk dengan menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur dengan kedua kaki diluruskan. "Tentu aja. Aku akan melayani kamu penuh. Jangan lupa untuk memberikan aku tips kalau aku sampai membuat kamu puas." Danu terkekeh ketika mengatakan kalimat yang sepertinya menjijikan itu. Sedangkan Mita yang mencoba tak peduli, menutupi telinganya dengan lengan tangannya. Samar gerakannya ia lakukan supaya samg suami tidak menyadari jika dirinya sengaja tidak ingin mendengar ocehan yang diucapkan oleh lelaki yang bertingkah seperti insan yang tengah jatuh cinta. Sungguh tega apa yang Danu lakukan. Di sebelahnya ada sosok wanita yang sudah menemaninya selama tiga tahun dan masih berstatus sebagai istri, tetapi ia abaikan dengan sikapnya yang menjijikan. "Enggak! Kenapa harus malu. Ia tahu hubungan kita. Jadi, aku rasa apa yang kita bahas ini sama sekali tidak mengganggunya. Santai aja, Sayang. Kita bebas membahas topik apapun, walaupun itu urusannya dengan malam pertama kita besok." Mita terpejam seraya air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kontrol. Mendengar jika ia tengah dibicarakan, membuat rasa sakit itu semakin nyeri bagai disayat sembilu. "Eh iya, enggak pertama, yah? Haha, iya, iya, lupa!" lanjut Danu kini tertawa terbahak-bahak. 'Tuhan! Kenapa suamiku bertingkah memuakkan dengan membicarakan sesuatu yang membuatku jijik!' Apa yang Mita duga selama ini ternyata memang benar adanya. Danu sudah bermain gila dengan Selena, termasuk dengan urusan ranjang yang sejatinya tidak boleh mereka lakukan. Bagaimana bisa wanita itu tidur jika di sebelahnya, sosok lelaki yang seharusnya memberikan kehangatan melalui pelukan, justru memberikan kehangatan pada wanita lain dengan kata-kata panas tak bermoral. "Ya sudah, aku tutup dulu, yah. Kamu istirahat sekarang. Bersiap untuk hari bahagia kita esok. I will miss you, Honey. Mimpikan aku dalam tidur kamu!" pinta Danu seraya memberikan kecupan sebagai salam perpisahan sebelum menyudahi acara bincang-bincang bersama calon istri keduanya itu. Terasa pergerakan di belakang Mita. Suaminya sudah bersiap untuk tidur. Tak ada kata atau kalimat apapun yang terucap dari mulut lelaki itu untuk Mita, istrinya. Padahal Danu pun tahu kalau wanita di sampingnya itu pasti masih terjaga sebab suaranya ketika berbincang dengan Selena tadi, bagai seseorang yang memiliki masalah dengan pendengarannya, yakni kencang seolah sengaja ingin pamer pada istrinya sendiri. Mita diam saja di posisinya yang sudah miring membelakangi tubuh Danu. Wanita itu tak ingin jika kondisi dirinya yang belum terlelap dijadikan kesempatan bagi lelaki itu untuk melakukan aksi verbal yang akan membuatnya semakin sakit hati. Sudah cukup ia merasakan pilu ketika melihat koper berukuran sedang, berdiri di depan lemari pakaian mereka. Koper yang mungkin saja sudah suaminya isi dengan beberapa setel pakaian dan segala fasilitas penunjang dirinya selama ia dan Selena pergi ke Bali nanti setelah resmi menikah. ***Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres
"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama
Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita