"Terima kasih!"
Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?" Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?" Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?" Bocah bernama Nina itu menggeleng cepat. "Enggak. Nina enggak takut." "Malu?" "Sedikit." Ada senyum yang tersungging di bibir Amar ketika melihat ekspresi putrinya yang terlihat gugup. Juga seorang gadis muda yang duduk di dekat mereka, ikut tersenyum demi melihat sikap keponakannya. Dia adalah Yola, adik Amar, yang menemani bocah itu selama sang kakak mengurus administrasi rumah sakit. "Baiklah. Nina bisa ikut ayah sekarang. Tapi, enggak bisa lama karena tante harus menjalani pemeriksaan lanjutan." Mendengar penjelasan Amar, Nina tiba-tiba menunduk. "Kenapa?" "Enggak. Nina cuma ...." Bocah itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Entah kosakata yang dimiliki anak lima tahun itu yang belum banyak, atau memang ia sulit mengekspresikan perasaannya sekarang mengenai kecelakaan yang menimpa Mita, yang nyata disebabkan olehnya. "Cuma ...?" "Nina cuma kasihan sama tante. Pasti tante kesakitan, yah, Yah?" Amar kembali tersenyum. Ia lalu mengusap kepala sang putri sebelum kemudian menjawab. "Nina bisa lihat sendiri kondisi tante di dalam." Nina mengangguk. Meski ekspresi-nya tidak seceria anak seusianya, tetapi bocah itu seperti ingin menunjukkan betapa ia ingin sekali menemui Mita yang masih terbaring di bilik ruangan UGD. "Kalau gitu, ayo kita ke sana sekarang sebelum tantenya dibawa perawat!" ajak Amar seraya bangkit berdiri. Tak lupa ia menggenggam tangan mungil putrinya, kemudian bicara pada adiknya, Yola. "Kamu mau ikut? Atau tunggu di sini?" "Tunggu di sini dulu aja, Mas. Enggak enak kayanya kalau terlalu banyak orang di dalam. Aku bisa nemuin perempuan itu nanti." Amar mengangguk, setuju. Ia pun kemudian mengajak Nina untuk beranjak menuju bilik di mana Mita berada. "Yah, gimana tantenya? Apa galak? Marah-marah enggak sama Ayah tadi?' Di sepanjang langkah anak dan ayah itu, Nina sempat-sempatnya menanyakan sifat Mita yang sudah menjadi korban atas kesalahannya. Meski sejujurnya ia ketakutan sebab kecelakaan tadi, tapi ia yang sudah diajarkan orang tuanya agar menjadi anak dengan pribadi yang baik dan mandiri. Mencoba untuk menemui Mita meski tidak ada kewajiban bagi seorang anak kecil sepertinya yang belum bisa disalahkan atas insiden dari kelalaian seorang dewasa. Jarak kantin rumah sakit dengan ruang UGD memang tidak terlalu jauh, membuat Amar dan Nina tiba dengan cepat sesaat sebelum tim medis membawa Mita ke ruangan lain. "Ya kamu jangan lembek juga, Ta. Kalau ada apa-apa sama badan kamu, laki-laki itu harus tanggung jawab." Sebelum Amar masuk ke bilik Mita, sesaat ia terdiam demi mendengar percakapan yang terjadi di dalam. Sontak ia menatap Nina yang tiba-tiba saja menggenggam tangannya erat. Amar kemudian tersenyum, mencoba menangkan putrinya itu. Mengusap lembut tangan Nina sebelum kemudian ia mendengar jawaban yang ia tahu suara Mita. "Siapa yang lembek? Kamu sendiri lihat, orang itu tanggung jawab loh sampai mau urus ke bagian administrasi segala," ucap Mita. "Lagian, tanpa laki-laki itu tanggung jawab pun, aku juga bisa sendiri," lanjut Mita dengan suara lebih pelan dan lirih. "Mita ...." "Ya ... walau memang kondisi lalu lintas tadi lagi hijau, terus anak itu yang tiba-tiba nyelonong nyeberang. Tapi, aku juga salah kok. Aku kurang fokus waktu nyetir tadi. Jadi, kejadian ini enggak seratus persen kesalahan anak itu." "Ya ampun, Ta. Mas Danu lagi?" Tak ada lagi sahutan. Setelah pertanyaan Ranti tentang seseorang bernama Danu, tak ada balasan suara dari Mita setelahnya. Hingga beberapa detik kemudian suasana di dalam bilik masih hening, akhirnya Amar memutuskan untuk masuk. "Permisi!" sapa Amar dari luar bilik. "Ya." Amar menyingkap tirai pelan, lalu berjalan masuk sembari mengajak Nina bersama. "Maaf mengganggu. Kenalkan ini putri saya. Dia memaksa ingin menemui Mbak Mita." Mita yang posisinya sudah setengah terbangun, menatap Nina dengan mata bersinar. "Hai! Namanya siapa, Cantik?" Mita menyapa lebih dulu. Keramahan dan sikap tulusnya membuat Nina perlahan mendekat. Tangannya terulur ketika Mita mengulurkan tangannya lebih dulu meski sedikit kesusahan. "Nama Tante, Mita. Kamu?" "Nina, Tante." "Ah, Nina. Nama yang cantik, secantik orangnya." Senyum tipis mulai hadir di bibir Nina saat mendengar Mita memujinya. "Umur kamu berapa, Sayang?" "Lima tahun." "Sudah sekolah?" "Sudah." Jawaban singkat Nina berikan ketika Mita terus bertanya padanya. "Nina sudah sekolah di taman kanak-kanak." Kali ini Amar yang menjelaskan. Seketika Mita dan Ranti menengok ke arah lelaki itu. "Tante, maafin Nina, yah?" Tiba-tiba di saat belum ada obrolan lain, bocah itu berkata lebih dulu. Sontak Mita dan semua orang yang ada di dalam bilik itu menengok padanya. "Maaf karena sudah bikin Tante sakit." Lagi, Nina melanjutkan permintaan maafnya. Bocah itu mungkin belum mengerti apa kesalahannya meski sudah dijelaskan. Tapi demi melihat kecelakaan di depan matanya tadi, juga ekspresi ayahnya yang cemas, panik, juga agak membentak Yola, membuat Nina merasa jika kecelakaan ini adalah karenanya. "Enggak, Sayang. Kamu enggak salah kok!" Mita langsung merespon. Tapi, ketika ia mendapat sentuhan halus dari Ranti, juga tatapan tak setuju Amar, membuatnya kembali berkata. "Ya ... lain kali kamu sudah harus belajar tentang kondisi lalu lintas di mana kamu seharusnya belum boleh berkeliaran sendiri di jalan raya seperti tadi." "Ayah sudah kasih tahu Nina sesudah Tante dibawa ke sini. Tante Yola juga padahal udah pernah kasih tahu Nina sebelumnya. Tapi, Nina nakal karena lupa sama semua yang sudah Tante Yola dan ibu guru ajarin." Mita tidak tahu harus berkata apa. Anak lima tahun seperti Nina, bagaimana bisa mengerti dan langsung tanggap atas kesalahannya. "Ya, bagus kalau Nina sudah tahu apa kesalahan Nina. Tapi, lain kali kamu enggak boleh lagi jalan sendirian kaya tadi, yah? Apalagi di jalan raya yang banyak kendaraan. Bahaya, Sayang." "Sebenarnya Nina sama adik saya. Cuma Nina lagi ngambek karena bukan saya yang antar dia ke sekolah." Amar kembali menyambar dan mencoba menjelaskan, membuat dua wanita dewasa di dekatnya menoleh. "Adik saya yang salah karena sudah lalai menjaga Nina sehingga Mbak Mita harus mengalami insiden tidak menyenangkan seperti ini. Sekali lagi, saya sebagai wakil dari Nina juga adik saya, Yola, meminta maaf kepada Mbak Mita atas kecelakaan yang sudah menimpa Mbak Mita." "Eh, Anda sudah menyampaikan permintaan maaf tadi," sahut Mita canggung. Namun, Amar justru tersenyum saat menyadari jika apa yang Mita katakan benar. Tapi karena sudah membuat orang lain celaka, membuatnya merasa terus menerus merasa bersalah. "Oh iya, Mbak Mita dan Mbak Ranti ...." Amar menatap Mita, lalu Ranti bergantian, "Kalian tidak perlu khawatir, semua biaya rumah sakit akan jadi tanggung jawab saya. Saya tidak akan lari dari situasi ini sampai tim medis memastikan bahwa Mbak Mita dalam keadaan baik dan sehat." Lelaki itu menatap Mita dan Ranti sungguh-sungguh, membuat dua wanita itu tersenyum canggung seolah menyadari jika obrolan keduanya tadi yang mungkin sudah lelaki itu dengar. ***Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres