"Terima kasih!"
Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?" Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?" Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?" Bocah bernama Nina itu menggeleng cepat. "Enggak. Nina enggak takut." "Malu?" "Sedikit." Ada senyum yang tersungging di bibir Amar ketika melihat ekspresi putrinya yang terlihat gugup. Juga seorang gadis muda yang duduk di dekat mereka, ikut tersenyum demi melihat sikap keponakannya. Dia adalah Yola, adik Amar, yang menemani bocah itu selama sang kakak mengurus administrasi rumah sakit. "Baiklah. Nina bisa ikut ayah sekarang. Tapi, enggak bisa lama karena tante harus menjalani pemeriksaan lanjutan." Mendengar penjelasan Amar, Nina tiba-tiba menunduk. "Kenapa?" "Enggak. Nina cuma ...." Bocah itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Entah kosakata yang dimiliki anak lima tahun itu yang belum banyak, atau memang ia sulit mengekspresikan perasaannya sekarang mengenai kecelakaan yang menimpa Mita, yang nyata disebabkan olehnya. "Cuma ...?" "Nina cuma kasihan sama tante. Pasti tante kesakitan, yah, Yah?" Amar kembali tersenyum. Ia lalu mengusap kepala sang putri sebelum kemudian menjawab. "Nina bisa lihat sendiri kondisi tante di dalam." Nina mengangguk. Meski ekspresi-nya tidak seceria anak seusianya, tetapi bocah itu seperti ingin menunjukkan betapa ia ingin sekali menemui Mita yang masih terbaring di bilik ruangan UGD. "Kalau gitu, ayo kita ke sana sekarang sebelum tantenya dibawa perawat!" ajak Amar seraya bangkit berdiri. Tak lupa ia menggenggam tangan mungil putrinya, kemudian bicara pada adiknya, Yola. "Kamu mau ikut? Atau tunggu di sini?" "Tunggu di sini dulu aja, Mas. Enggak enak kayanya kalau terlalu banyak orang di dalam. Aku bisa nemuin perempuan itu nanti." Amar mengangguk, setuju. Ia pun kemudian mengajak Nina untuk beranjak menuju bilik di mana Mita berada. "Yah, gimana tantenya? Apa galak? Marah-marah enggak sama Ayah tadi?' Di sepanjang langkah anak dan ayah itu, Nina sempat-sempatnya menanyakan sifat Mita yang sudah menjadi korban atas kesalahannya. Meski sejujurnya ia ketakutan sebab kecelakaan tadi, tapi ia yang sudah diajarkan orang tuanya agar menjadi anak dengan pribadi yang baik dan mandiri. Mencoba untuk menemui Mita meski tidak ada kewajiban bagi seorang anak kecil sepertinya yang belum bisa disalahkan atas insiden dari kelalaian seorang dewasa. Jarak kantin rumah sakit dengan ruang UGD memang tidak terlalu jauh, membuat Amar dan Nina tiba dengan cepat sesaat sebelum tim medis membawa Mita ke ruangan lain. "Ya kamu jangan lembek juga, Ta. Kalau ada apa-apa sama badan kamu, laki-laki itu harus tanggung jawab." Sebelum Amar masuk ke bilik Mita, sesaat ia terdiam demi mendengar percakapan yang terjadi di dalam. Sontak ia menatap Nina yang tiba-tiba saja menggenggam tangannya erat. Amar kemudian tersenyum, mencoba menangkan putrinya itu. Mengusap lembut tangan Nina sebelum kemudian ia mendengar jawaban yang ia tahu suara Mita. "Siapa yang lembek? Kamu sendiri lihat, orang itu tanggung jawab loh sampai mau urus ke bagian administrasi segala," ucap Mita. "Lagian, tanpa laki-laki itu tanggung jawab pun, aku juga bisa sendiri," lanjut Mita dengan suara lebih pelan dan lirih. "Mita ...." "Ya ... walau memang kondisi lalu lintas tadi lagi hijau, terus anak itu yang tiba-tiba nyelonong nyeberang. Tapi, aku juga salah kok. Aku kurang fokus waktu nyetir tadi. Jadi, kejadian ini enggak seratus persen kesalahan anak itu." "Ya ampun, Ta. Mas Danu lagi?" Tak ada lagi sahutan. Setelah pertanyaan Ranti tentang seseorang bernama Danu, tak ada balasan suara dari Mita setelahnya. Hingga beberapa detik kemudian suasana di dalam bilik masih hening, akhirnya Amar memutuskan untuk masuk. "Permisi!" sapa Amar dari luar bilik. "Ya." Amar menyingkap tirai pelan, lalu berjalan masuk sembari mengajak Nina bersama. "Maaf mengganggu. Kenalkan ini putri saya. Dia memaksa ingin menemui Mbak Mita." Mita yang posisinya sudah setengah terbangun, menatap Nina dengan mata bersinar. "Hai! Namanya siapa, Cantik?" Mita menyapa lebih dulu. Keramahan dan sikap tulusnya membuat Nina perlahan mendekat. Tangannya terulur ketika Mita mengulurkan tangannya lebih dulu meski sedikit kesusahan. "Nama Tante, Mita. Kamu?" "Nina, Tante." "Ah, Nina. Nama yang cantik, secantik orangnya." Senyum tipis mulai hadir di bibir Nina saat mendengar Mita memujinya. "Umur kamu berapa, Sayang?" "Lima tahun." "Sudah sekolah?" "Sudah." Jawaban singkat Nina berikan ketika Mita terus bertanya padanya. "Nina sudah sekolah di taman kanak-kanak." Kali ini Amar yang menjelaskan. Seketika Mita dan Ranti menengok ke arah lelaki itu. "Tante, maafin Nina, yah?" Tiba-tiba di saat belum ada obrolan lain, bocah itu berkata lebih dulu. Sontak Mita dan semua orang yang ada di dalam bilik itu menengok padanya. "Maaf karena sudah bikin Tante sakit." Lagi, Nina melanjutkan permintaan maafnya. Bocah itu mungkin belum mengerti apa kesalahannya meski sudah dijelaskan. Tapi demi melihat kecelakaan di depan matanya tadi, juga ekspresi ayahnya yang cemas, panik, juga agak membentak Yola, membuat Nina merasa jika kecelakaan ini adalah karenanya. "Enggak, Sayang. Kamu enggak salah kok!" Mita langsung merespon. Tapi, ketika ia mendapat sentuhan halus dari Ranti, juga tatapan tak setuju Amar, membuatnya kembali berkata. "Ya ... lain kali kamu sudah harus belajar tentang kondisi lalu lintas di mana kamu seharusnya belum boleh berkeliaran sendiri di jalan raya seperti tadi." "Ayah sudah kasih tahu Nina sesudah Tante dibawa ke sini. Tante Yola juga padahal udah pernah kasih tahu Nina sebelumnya. Tapi, Nina nakal karena lupa sama semua yang sudah Tante Yola dan ibu guru ajarin." Mita tidak tahu harus berkata apa. Anak lima tahun seperti Nina, bagaimana bisa mengerti dan langsung tanggap atas kesalahannya. "Ya, bagus kalau Nina sudah tahu apa kesalahan Nina. Tapi, lain kali kamu enggak boleh lagi jalan sendirian kaya tadi, yah? Apalagi di jalan raya yang banyak kendaraan. Bahaya, Sayang." "Sebenarnya Nina sama adik saya. Cuma Nina lagi ngambek karena bukan saya yang antar dia ke sekolah." Amar kembali menyambar dan mencoba menjelaskan, membuat dua wanita dewasa di dekatnya menoleh. "Adik saya yang salah karena sudah lalai menjaga Nina sehingga Mbak Mita harus mengalami insiden tidak menyenangkan seperti ini. Sekali lagi, saya sebagai wakil dari Nina juga adik saya, Yola, meminta maaf kepada Mbak Mita atas kecelakaan yang sudah menimpa Mbak Mita." "Eh, Anda sudah menyampaikan permintaan maaf tadi," sahut Mita canggung. Namun, Amar justru tersenyum saat menyadari jika apa yang Mita katakan benar. Tapi karena sudah membuat orang lain celaka, membuatnya merasa terus menerus merasa bersalah. "Oh iya, Mbak Mita dan Mbak Ranti ...." Amar menatap Mita, lalu Ranti bergantian, "Kalian tidak perlu khawatir, semua biaya rumah sakit akan jadi tanggung jawab saya. Saya tidak akan lari dari situasi ini sampai tim medis memastikan bahwa Mbak Mita dalam keadaan baik dan sehat." Lelaki itu menatap Mita dan Ranti sungguh-sungguh, membuat dua wanita itu tersenyum canggung seolah menyadari jika obrolan keduanya tadi yang mungkin sudah lelaki itu dengar. ***Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
Ranti memang sangat menyayangi Mita, terlebih saat ini sahabatnya itu sedang bersedih sebab rencana pernikahan yang akan suaminya langsungkan. Tapi, memarahi laki-laki lain sebab pelampiasan kekesalannya, bukanlah sebuah ide yang baik dan dibenarkan. "Iya, sorry, Ran."Berkali-kali Mita meminta maaf pada Ranti. "Bukan ke aku, yah, Mit, tapi ke Mas Amar.""Iya, iya. Nanti aku minta maaf sama dia kalau datang."Mita sungguh merasa bodoh sekarang. Bisa-bisanya ia marah pada laki-laki yang tulus dan ikhlas ingin membantu dan bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya. "Maaf sudah membuat kalian menunggu. Puji syukur, dokter tidak memaksa Mbak Mita untuk dirawat di sini. Tapi, dokter meminta Anda untuk rutin kontrol walau tidak ada keluhan apapun."Amar tiba-tiba muncul di saat Mita dan Ranti saling terdiam sebab suasana yang tidak mengenakan setelah protes yang Mita lakukan sebelumnya. "Eh, Mas Amar," ucap Mita ragu. Tapi, di sebelahnya Ranti kembali mencoleknya supaya bicara.
Amar Hadinata, ia adalah seorang pengusaha yang memiliki warisan perusahaan dari keluarganya. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu, sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk menjadi seorang eksekutif muda seperti yang sekarang ia jalani. Cita-citanya dahulu menjadi seorang Chef internasional. Meski keinginan orang tuanya menginginkan salah satu anak mereka meneruskan perusahaan, tetap membuat Amar tenang sebab ada sang kakak yang bisa diandalkan sehingga ia bisa menggapai cita-citanya tersebut.Namun, takdir Tuhan tidak selamanya sejalan dengan rencana manusia. Sang kakak yang waktu itu ikut mengantar kedua orang tua mereka menghadiri salah satu jamuan pesta salah seorang kolega, turut menjadi korban meninggal menyusul kedua orang tuanya yang dinyatakan pergi lebih dulu. Amar kehilangan tiga anggota keluarganya sekaligus. Membuat lelaki itu sempat limbung juga depresi, sehingga mau tak mau ia mengambil alih perusahaan yang waktu itu sama sekali belum menguasai ilmunya. Beruntungnya a
Burung yang bebas terbang di alam sudah sibuk mencari makanan di waktu yang masih sangat pagi. Membangunkan seseorang di salah satu rumah yang pagi itu bangun sedikit kesiangan sebab tidur yang terlampau malam. Mita, semalam ia sibuk mengerjakan beberapa laporan akhir bulan usaha butiknya. Sempat dibantu oleh Ranti sampai jam sembilan malam, tetapi sahabatnya itu harus segera pulang karena urusan mendadak dengan calon suaminya. "Seharusnya kamu enggak harus ngerjain ini sampai malam, Mit."Ranti sempat protes karena kesibukan Mita paska kecelakaan yang sesungguhnya belum membuat tubuhnya pulih sempurna. Tapi, alasan ingin melupakan kesedihannya membuat Ranti tak lagi bisa berkata-kata. "Mungkin dengan begini aku bisa melupakan pernikahan yang Mas Danu jalani sama mantannya."Ah, andai saja Mita mau mendengarkan saran dari Ranti untuk menyudahi pernikahannya dengan Danu, mungkin sahabatnya itu tak akan merasa sedih. Tapi, seperti yang Mita katakan, biar semua keputusan ia yang mena
Mita terpaksa kembali ke rumah setelah Danu memaksanya datang. Ia terpaksa meminta Ranti untuk meng-handle urusan butik setelah sebelumnya ia harus menerima kekesalan sahabatnya itu karena mau-maunya menuruti permintaan Danu. "Mau bagaimana pun juga dia masih suamiku, Ran. Setiap perintahnya adalah kewajiban yang harus aku tunaikan."'Iya, tapi kewajiban yang seperti apa dulu, Mit. Masalah pindah kamar, apa itu bukan hal gila namanya? Perempuan itu bisa pakai kamar tamu, kenapa jadi kamu yang harus pindah. Lagian, kalau mau istirahat mereka 'kan bisa pakai kamar lain untuk sementara waktu sampai kamu kembali nanti. Ini kok malah maksa. Enggak masuk akal tahu enggak!'"Iya, iya, aku tahu. Aku minta tolong banget, yah, Ran. Tapi, kalau kamu ada keperluan juga enggak apa-apa kok. Untuk meeting dan laporan bulanan, bisa ditunda dulu sampai besok."'Bukan gitu, Mita. Ah, sudahlah. Kamu tenang aja, aku bisa handle urusan butik. Kamu urus aja suami kamu sama istri barunya itu. Tapi ingat, y
Air mata sudah sejak tadi ingin tumpah keluar dari dua bola matanya yang bening. Tapi, sebisa mungkin Mita tahan sebab keberadaan Danu —suaminya dengan Selena yang terlihat kesal sebab pergerakan Mita yang dinilainya lamban. Tak tahu saja mereka jika Mita masih dalam masa pemulihan setelah insiden kecelakaan lusa kemarin. Siapa yang bisa tahan melihat suami sendiri berinteraksi mesra dengan perempuan lain di depan matanya tanpa sungkan. Begitu juga Mita yang meskipun keberadaannya sudah tak lagi dianggap oleh sang suami, tetap merasakan nyeri di hatinya sebab kebersamaan Danu dengan mantan kekasih yang kini sudah resmi menjadi istri keduanya tersebut. "Apakah tidak ada pembantu di rumah ini, Mas? Bukankah pekerjaan wanita itu bisa cepat selesai kalau dibantu? Aku udah lelah, pingin buru-buru istirahat." Tiba-tiba Selena nyeletuk. Selena mulai ngomel. Sengaja bicara di depan Mita yang saat itu tengah membawa koper berisi seluruh pakaiannya ke dalam kamar tamu. "Aku 'kan udah cerita
Mencoba tak peduli dengan keberadaan Selena yang sekarang tengah bersama Danu, Mita memilih untuk pergi dari rumah menuju butik. Sengaja tidak pamit pada laki-laki yang saat ini tengah berbahagia dengan istri keduanya, Mita buru-buru ke butik sebab ada pekerjaan penting yang harus ia kerjakan. Jam sudah menunjuk ke angka sebelas. Lebih dari dua jam Mita memindahkan barang pribadi dari kamar yang hampir tiga tahun ia tempati ke kamar tamu sebab seorang perempuan yang kini mengambil posisinya. Berusaha menahan tangis sejak melihat aksi gila yang Danu lakukan bersama Selena di ruang TV tadi, akhirnya pertahanan Mita jebol juga. Air mata mengalir deras tanpa ia minta demi mengingat kesakralan rumah tangganya yang kini telah sah dikhianati. Masuknya perempuan masa lalu sang suami di dalam kehidupannya menjadi awal penderitaan yang harus siap ia tanggung. 'Aku percaya Tuhan tidak pernah tidur. Kali ini mungkin Tuhan memang sedang memberiku penderitaan, tetapi siapa yang bisa meneb
Ranti telah selesai dengan kesimpulannya ketika Mita memutuskan untuk ikut bergabung dengan semua orang di ruang meeting. Sahabatnya itu langsung menatap khawatir akan kehadiran Mita yang sepertinya justru terlihat biasa saja. "Sepertinya rapatnya sudah selesai. Maaf karena saya datang terlambat."Ranti terlihat menarik satu bangku di dekatnya untuk Mita duduki. "Belum selesai. Kami masih menunggu kamu untuk ikut memberikan keputusan."Beberapa karyawan terlihat mengangguk, merespon ucapan Ranti. "Ok. Jadi, aku mau dengar kesimpulan dari kamu dulu, Ran, tentang rencana kita yang mau buka cabang butik.""Beberapa hal yang kamu minta sedang Zara buat laporannya. Tinggal kamu cek untuk dikoreksi. Mungkin kamu ada beberapa poin yang belum disampaikan.""Sepertinya aku harus lihat dulu sebelum menambahkan poin yang lain," ucap Mita sembari menengok ke arah seorang perempuan muda yang siap dengan banyak catatan di depannya. "Ya, memang seharusnya seperti itu. Apa ada yang lain?""Lalu,
"Aku tidak peduli kamu mau percaya aku atau tidak. Tapi yang pasti, kamu itu bukan seleraku.""Ap-apa?" Nisa menatap Danu emosi. "Kamu bilang aku bukan seleramu? Lantas, perempuan seperti apa yang jadi seleramu? Apakah lebih cantik, lebih kaya, atau lebih pintar dari aku?"Danu tertawa mendengar pertanyaan Nisa. "Kenapa kamu marah? Selera seseorang enggak melulu tentang cantik, kaya, atau pintar bukan?""Y-Ya. Tapi, apa yang para lelaki lihat kalau bukan tiga poin yang aku sebutkan tadi?"Sekali lagi Danu tertawa sembari meminum kopinya yang tinggal setengah. "Aku sudah pernah mendapatkan perempuan dengan tiga poin yang kamu sebutkan tadi. Jadi, bukan itu yang membuatku berselera ketika ingin kembali menikahi seorang perempuan untuk aku jadikan istri."Nisa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bagaimana mungkin ada perempuan yang memiliki poin istimewa seperti yang ia sebutkan tadi selain dirinya. "Apa ayahmu sudah memberitahu padamu tentang kehidupanku sebelumnya?""Tentang kamu
Sepekan yang lalu saat Danu baru pulang dari kantor, ia sudah dibuat kesal oleh ayahnya. Hal itu karena ucapan lelaki yang ia sayangi itu mengenai perjodohan yang tetap harus dilaksanakan. "Ibumu sakit. Dokter bilang waktunya tidak lama lagi.""Jangan bercanda, Yah. Ini bukan waktunya main-main." Danu mulai emosi ketika sang ayah membawa-bawa penyakit ibunya. "Bu, apa betul dokter bilang begitu? Memang Ibu itu sakit apa, kok tiba-tiba jadi parah? Kalian ke luar negeri 'kan cuma cek rutin, bukan mau konsultasi penyakit serius." Danu menatap ibunya bertanya. Perasaannya mendadak tak enak. "Enggak, dokter enggak bilang gitu.""Nah, terus? Barusan ayah ngomong gitu!" seru Danu kesal menatap ayahnya. Namun, lelaki di depannya itu terlihat cuek dan santai. Membuat Danu kembali menatap ibunya. "Kenapa Ibu mau aja diajak kongkalikong sama ayah meminta aku buat nikah sama perempuan itu? Sampai bawa-bawa penyakit segala.""Enggak ada yang salah kok, Nu. Apa yang ayahmu katakan itu ada bena
Terdengar suara gedebuk orang jatuh dari ketinggian. Danu yang masih kebingungan menjawab pertanyaannya sang ayah, seketika membuka mata dan menyadari jika ia baru saja bermimpi. "Ah, sial! Ternyata cuma mimpi," gerutunya kesal. Danu kemudian kembali ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya kembali yang terasa sakit sebab terjatuh tadi. "Kenapa aku jadi bermimpi seperti itu? Jelas-jelas aku ingin melupakannya. Tapi, kenapa sosoknya malah muncul. Lalu, kenapa juga ayah enggan membatalkan perjodohan ini?" ucapnya semakin kesal. Danu melihat jam di atas nakas. Jam digital di sana menunjukkan angka dua dini hari. "Aku baru tidur satu jam dan sudah bermimpi? Ini benar-benar gila!" gerutu Danu lagi. Ia mencoba untuk kembali tertidur, tapi mengalami kesulitan. Kantuknya seketika hilang setelah insiden terjatuh tadi. Ia pun kemudian memutuskan untuk ke toilet untuk membuang hajat. Setelahnya ia mencuci muka, menatap wajahnya di depan cermin wastafel. 'Hei! Apa kamu masih belum puas membu
"Nisa Naura Setiawan. Dia adalah putri tinggal alias putri semata wayang dari Rendy Setiawan, seorang pengusaha, pebisnis yang lumayan disegani." Danu mendengarkan cerita Amar tentang sosok Nisa, gadis yang dijodohkan dengannya. "Nisa adalah gadis baik-baik. Aku kenal dengannya sejak kami kuliah di fakultas yang sama.""Mas Amar satu angkatan sama Nisa? Kok bisa?" Mita bertanya bingung. Ia berpikir jika usia keduanya jauh berbeda. "Oh, enggak. Nisa di bawahku. Aku kenal dia karena orang tua kami yang adalah rekan bisnis," jelas Amar. Baik Mita atau pun Danu sama-sama menyimak dengan serius. Entah apa yang terjadi, keduanya seperti menemukan sebuah kisah seru yang ingin mereka dengarkan sampai tuntas. "Kalian enggak dijodohkan?" tanya Mita iseng. "Enggak. Aku sudah punya pacar waktu Nisa masuk kuliah. Selain itu usia kami juga lumayan jauh." Amar mencoba membayangkan hal yang membuat kedua orang tua mereka tidak menjodohkannya dengan Nisa. "Lagian, orang tua kamu cuma rekan bisni
"Apa? Jadi, ibu sama ayah mau jodohin Mas Danu lagi?" Mita tampak terkejut saat mendengar cerita Danu mengenai perjodohannya dengan Nisa. "Ehm, menurut sahabat ayah begitu." Danu menjawab sambil mengangguk. "Tapi, sebelumnya ayah dan ibu enggak bilang. Aku baru tahu pas hubungi mereka tadi."Mita melempar pandangannya pada Amar. Amar hanya diam dengan senyum tipis. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu. Pertemuan malam itu antara Danu, Mita, dan Amar, membuat Danu bercerita tentang rencana perjodohan yang kedua orang tuanya lakukan. Ia yang saat ini sedang menenangkan hati, hanya bisa bercerita pada sosok yang sekiranya bisa dipercaya. "Eh, maafkan aku. Aku enggak bermaksud mengganggu kehidupan baru kalian dengan menceritakan kisahku. Aku cuma butuh tempat bercerita," ucap Danu sembari menyesap kopi panas yang ia pesan. "Setidaknya hal tersebut membuatku lega. Tak perlu ada saran atau pendapat." Danu menatap Mita, terlebih Amar dengan raut muka tak enak hati. "Enggak apa-apa kok
Danu berjalan pelan menuju meja, tempat di mana keluarga Setiawan alias Nisa berada. Makanan sudah terhidang, dan mau tak mau Danu harus melanjutkan makan malamnya dengan keluarga Setiawan. Ia tak mau membuat dua orang tua di depannya kecewa atau pun tak nyaman. "Maafkan saya, Pak Rendy. Maaf karena sudah membuat Anda dan keluarga menunggu," ucap Danu sembari duduk. Di dekatnya Nisa seolah enggan menatapnya. Ekspresinya masih sama, jutek dan kesal. "Tidak apa-apa, Nak Danu. Kami maklum. Kami juga minta maaf karena kecerobohan Nisa membuat kamu terkejut.""Kok aku, Yah?" Nisa menyela, tapi cubitan sang ibu seketika membuatnya bungkam. "Kalau saja Nisa tidak bicara tadi, mungkin suasananya tidak akan se-canggung ini. Kita masih bisa makan dengan santai dan akrab.""Oh, tidak, Pak Rendy. Dengan Nisa bicara tadi, bukankah saya jadi tahu mengenai rencana perjodohan kalian terhadap kami berdua. Saya jadi bisa bertanya pada ayah dan ibu mengenai kebenaran berita tersebut.""Ya, tapi mung
"Mau ngapain kamu di sini?" Nisa bertanya kaget saat melihat Danu berdiri di depannya. "Nisa! Tolong yang sopan sama tamu Ayah."Nisa menengok kepada ayahnya. "Ja-jadi, ini tamu ... eh, maksudnya anak sahabat Ayah yang mau dijodohin sama aku?"Ayah Nisa mengangguk yakin. Tapi, di depannya Danu tercengang. "Maaf, Pak Rendy. Ini maksudnya apa, ya? Siapa yang dijodohkan dan dengan siapa?" Danu merasakan kengerian sebab perkataan Nisa tadi. "Kamu dan Nisa, anak saya.""Kok bisa? Ma-maksud saya, siapa yang bilang begitu?""Loh, apakah orang tua kamu enggak bilang apa-apa tentang perjodohan ini?" Rendy menatap Danu bingung. Danu menggeleng. Ia terlihat lemas dan tak bertenaga. 'Jadi, apakah ini yang ayah dan ibu sembunyikan sejak kemarin?' batin Danu mengingat ucapan-ucapan kedua orang tuanya di telepon beberapa hari belakangan. "Danu, apa udah ada kabar dari Pak Rendy?""Danu, kamu jadi 'kan datang ke undangannya teman Ayah?""Danu! Awas loh kalau kamu sampai enggak datang. Jangan bik
Danu baru akan pulang dari kantor ketika ibunya menelepon. "Iya, Bu?" tanya Danu setelah menerima panggilan dari ibunya tersebut. "Sudah pulang, Nu?""Baru aja mau pulang. Kenapa?""Enggak kenapa-kenapa. Ibu cuma mau tanya, tadi siang apa Pak Rendy jadi datang?""Jadi, Bu. Kenapa memang?""Enggak, Ibu cuma mau mastiin aja.""Mastiin? Emang beliau siapa sih, Bu?""Loh, memangnya Pak Rendy enggak ngenalin dirinya ke kamu?"Danu sudah sampai parkiran. Ia masuk ke mobil, lalu menyalakan mesin mobil. "Ngenalin namanya sama hubungan beliau sama kalian. Itu aja.""Oh, gitu.""Memang kenapa sih, Bu?" tanya Danu penasaran. "Tapi, ngomong-ngomong kok tumben banget, ya, Ibu sama ayah bisa ketemuan sama teman lama. Di sana kalian enggak jadi pulang besok karena mau reunian sama teman juga. Sekarang, tiba-tiba aja muncul Pak Rendy yang katanya teman ayah.""Eh, memangnya enggak boleh?""Siapa yang bilang enggak boleh? Tapi, kok tumben-tumbenan banget. Bisa dua orang begini.""Enggak kenapa-kena
Nisa berjalan gontai menuju parkiran. Ia yang memarkir mobilnya di basement terlihat kesal sekaligus malu. Beberapa saat lalu, Danu menjawab semua kekhawatirannya. Bahkan, lelaki itu mampu membuatnya diam membisu setelah semua pertanyaan dijawab dengan keseriusan yang tampak nyata. Nisa mungkin malu sebab tuduhannya tidak terbukti. Tapi, demi mendengar alasan dirinya tidak diterima bekerja, membuatnya kesal bukan main. "Apakah kamu pikir saya akan menerima seorang perempuan pemabuk untuk jadi sekretaris saya?""Saya bukan seorang pemabuk. Ada masalah yang sedang saya hadapi, yang membuat saya melakukan itu." Nisa mencoba memberikan pembelaan. Tapi, melawan Danu adalah hal yang sia-sia. Lelaki itu mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya. "Saya tidak mau mempunyai sekretaris kekanak-kanakan. Seseorang yang rapuh hanya karena satu masalah. Bagaimana ia akan bekerja nanti di tengah masalah pribadi yang sedang dihadapi? Bisa-bisa semua pekerjaan yang sudah dirancang malah hancur beran