Air mata sudah sejak tadi ingin tumpah keluar dari dua bola matanya yang bening. Tapi, sebisa mungkin Mita tahan sebab keberadaan Danu —suaminya dengan Selena yang terlihat kesal sebab pergerakan Mita yang dinilainya lamban. Tak tahu saja mereka jika Mita masih dalam masa pemulihan setelah insiden kecelakaan lusa kemarin. Siapa yang bisa tahan melihat suami sendiri berinteraksi mesra dengan perempuan lain di depan matanya tanpa sungkan. Begitu juga Mita yang meskipun keberadaannya sudah tak lagi dianggap oleh sang suami, tetap merasakan nyeri di hatinya sebab kebersamaan Danu dengan mantan kekasih yang kini sudah resmi menjadi istri keduanya tersebut. "Apakah tidak ada pembantu di rumah ini, Mas? Bukankah pekerjaan wanita itu bisa cepat selesai kalau dibantu? Aku udah lelah, pingin buru-buru istirahat." Tiba-tiba Selena nyeletuk. Selena mulai ngomel. Sengaja bicara di depan Mita yang saat itu tengah membawa koper berisi seluruh pakaiannya ke dalam kamar tamu. "Aku 'kan udah cerita
Mencoba tak peduli dengan keberadaan Selena yang sekarang tengah bersama Danu, Mita memilih untuk pergi dari rumah menuju butik. Sengaja tidak pamit pada laki-laki yang saat ini tengah berbahagia dengan istri keduanya, Mita buru-buru ke butik sebab ada pekerjaan penting yang harus ia kerjakan. Jam sudah menunjuk ke angka sebelas. Lebih dari dua jam Mita memindahkan barang pribadi dari kamar yang hampir tiga tahun ia tempati ke kamar tamu sebab seorang perempuan yang kini mengambil posisinya. Berusaha menahan tangis sejak melihat aksi gila yang Danu lakukan bersama Selena di ruang TV tadi, akhirnya pertahanan Mita jebol juga. Air mata mengalir deras tanpa ia minta demi mengingat kesakralan rumah tangganya yang kini telah sah dikhianati. Masuknya perempuan masa lalu sang suami di dalam kehidupannya menjadi awal penderitaan yang harus siap ia tanggung. 'Aku percaya Tuhan tidak pernah tidur. Kali ini mungkin Tuhan memang sedang memberiku penderitaan, tetapi siapa yang bisa meneb
Ranti telah selesai dengan kesimpulannya ketika Mita memutuskan untuk ikut bergabung dengan semua orang di ruang meeting. Sahabatnya itu langsung menatap khawatir akan kehadiran Mita yang sepertinya justru terlihat biasa saja. "Sepertinya rapatnya sudah selesai. Maaf karena saya datang terlambat."Ranti terlihat menarik satu bangku di dekatnya untuk Mita duduki. "Belum selesai. Kami masih menunggu kamu untuk ikut memberikan keputusan."Beberapa karyawan terlihat mengangguk, merespon ucapan Ranti. "Ok. Jadi, aku mau dengar kesimpulan dari kamu dulu, Ran, tentang rencana kita yang mau buka cabang butik.""Beberapa hal yang kamu minta sedang Zara buat laporannya. Tinggal kamu cek untuk dikoreksi. Mungkin kamu ada beberapa poin yang belum disampaikan.""Sepertinya aku harus lihat dulu sebelum menambahkan poin yang lain," ucap Mita sembari menengok ke arah seorang perempuan muda yang siap dengan banyak catatan di depannya. "Ya, memang seharusnya seperti itu. Apa ada yang lain?""Lalu,
Mita bisa melihat sikap Amar yang tampak gugup. Tapi di balik penampilan ber-jasnya, lelaki itu mampu menutupi semua di detik berikutnya. "Saya cuma antar. Sekalian mau nostalgia sama restoran yang pernah saya datangi waktu beberapa tahun lalu.""Oh. Restoran mana memangnya?""Restoran yang di ujung sebelum masuk jalan ini."Mita tidak berpikir Amar berbohong, sebab sebelumnya lelaki itu sudah tahu mengenai butiknya yang pernah lelaki itu datangi dengan seseorang, yang entah siapa Mita sendiri tidak tahu juga tidak mau tahu. "Oh ... gitu. Mau makan siang sekalian.""Ya.""Eh, tapi ke rumah sakitnya setelah istirahat makan siang 'kan?""Iya. Saya sudah buat janji sama dokter di jam satu sampai jam dua nanti.""Oh iya. Makasih kalau gitu."Di saat keduanya kembali diam, Ranti muncul dan mengajak Mita untuk makan siang."Eh, maaf, Mas Amar. Sepertinya sudah masuk jam makan siang. Sahabat saya sudak ngajak saya makan nih!" Beri tahu Mita yang tak ayal langsung mendapat cubitan kecil di
Pada akhirnya Mita memilih untuk pergi bersama Ranti. Sahabatnya itu ingin tahu hasil dari pemeriksaan CT Scan yang sudah Mita lakukan tempo hari. Di lobi rumah sakit sudah ada Amar yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya. Di dekatnya ada seorang perempuan yang dua sahabat itu tahu jika dia adalah salah satu anak buah Amar yang setia menemani lelaki itu ke mana pun pergi. "Kayanya dia kaya banget, yah, Mit. Sampai-sampai punya pengawal.""Mungkin." Mita menyahut perkataan Ranti cuek."Tapi, dilihat dari pakaiannya mungkin bukan pengawal. Atau sekretaris, yah? Ah, tapi sekretaris kok laki-laki."Ranti terus saja bicara yang sama sekali tidak Mita hiraukan. Perempuan itu mengoceh sampai mereka kemudian tiba di depan Amar. "Maaf lama nunggu, yah?" Mita bicara setelah berdiri di depan Amar. "Ah, kalian. Tidak. Saya juga baru datang," ucap Amar yang cukup dibuat terkejut. "Tadi habis ambil ini di laboratorium," lanjutnya sembari menunjuk sebuah amplop coklat berukuran besar yang
Benar saja, sepanjang perjalanan pulang, Ranti terus meledek dan menggoda Mita atas situasi tak mengenakan yang terjadi di rumah sakit tadi. Kekhawatiran Amar sebab rasa sakit kepala yang terkadang Mita alami, membuat Ranti semakin yakin ingin menjodohkan sang sahabat dengan lelaki itu. "Mau sampai kapan kamu menggodaku?" tanya Mita yang mulai jengah sebab tak henti-hentinya Ranti berkicau. "Entahlah. Aku sendiri seperti mendapat jackpot untuk terus membahas situasi tadi," ucap Ranti terkekeh. Mita hanya menggeleng. Ia sungguh tak percaya sahabatnya itu masih mempunyai stok bahan untuk ditertawakan. Meski ia sendiri tahu, apa yang Ranti lakukan hanya sebuah penghiburan demi melupakan masalah yang Mita tengah alami. Sepulangnya nanti Mita harus dihadapkan pada situasi paling menguras emosi di mana ia akan melihat kemesraan yang terjadi antara suaminya —Danu, dan istri barunya. "Andai skenario Tuhan seindah itu, Mit. Mungkin kehidupan di dunia akan tenang dan damai." Tiba-tiba Ranti
Ingin sekali Mita membalas ucapan Selena. Tapi, ia berusaha menahan untuk tidak terpancing dengan omongan istri baru suaminya itu. "Kalau tidak ada yang mau Mas Danu katakan, aku permisi masuk duluan. Masih banyak barang milikku yang belum aku bereskan dan masih ada di kamar kita.""Kamar kami! Bukan lagi kamar kamu!" Selena memotong cepat. Kedua matanya tajam menatap Mita, begitu penuh kebencian. Namun, Mita sama sekali tidak menghiraukan protes yang Selena suarakan. Ia memilih menatap Danu yang malah tersenyum menanggapi perkataan istri keduanya itu. "Aku mau kamu siapkan makan malam untuk aku dan Selena."Mita menatap Selena, mengejek. 'Demi apa? Tugas memasak harus aku yang melakukannya?'"Kenapa dengan ekspresi kamu itu? Apa kamu tidak mendengar perintah Mas Danu?" Lagi-lagi Selena ikut bicara. "Maaf, Mas. Kenapa tidak istri Mas sendiri yang memasak untuk makan malam kalian?""Kamu juga 'kan istriku.""Iya, aku tahu itu. Tapi, aku baru makan barusan sebelum pulang. Jadi, per
Kamar berukuran empat kali tiga yang saat ini Mita tempati, akan menjadi tempatnya melewati malam dalam kesendirian. Mulai malam ini, secara sah dan resmi ia benar-benar ditinggalkan oleh Danu. Lelaki yang dua hari lalu menikahi mantan kekasihnya dan kini menempati kamar yang lebih dari dua tahun menjadi kamar tidur keduanya. Perempuan itu tampak berbaring di atas kasur berukuran sedang sembari memandangi langit-langit kamar. Setelah selesai melayani pasangan pengantin baru dengan menyiapkan makan malam, Mita memilih pergi sebab tidak sedang berselera makan. Alasannya tadi pada Danu bahwa dirinya telah makan dengan Ranti, adalah kebohongan yang sengaja ia ciptakan sebab enggan bersama dengan suami dan istri barunya itu. Cemburu sudah pasti, tapi yang Mita alami lebih dari itu. Paska aksi tak senonoh yang Danu dan Selena pertontonkan di ruang TV, sejak saat itu Mita merasa muak atas hubungan dan aksi mereka. Membuatnya jengah dan tak siap jika harus berada dalam satu meja bersama. Di
Apa yang dikatakan Amar nyatanya betul-betul lelaki itu lakukan. Sudah sebulan lebih, Mita tidak bertemu dengan pengusaha itu. Setelah panggilan beberapa waktu lalu di mana Amar mengatakan ingin menjaga nama baik Mita sebagai seorang istri yang tengah hamil dan memiliki suami, lelaki itu tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Begitu pun Nina. Bocah kecil itu seperti dibuat menjauh oleh ayahnya.Namun, tidak bagi Yola. Gadis yang tengah kuliah itu, sempat mampir datang ke butik selama beberapa kali. Selain karena urusan bisnis milik Amar yang rupanya diserahkan kepada sang adik, gadis itu juga seperti sengaja ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini disimpan. Seperti sore itu. Ranti yang sudah izin pulang duluan karena ada urusan dengan dijemput sang suami, Mita kedatangan Yola ketika hendak pamit pada para karyawannya. "Yola?""Sore, Mbak. Sudah mau pulang, yah?" tanya gadis itu tak enak hati. Setelah memeluk dan mencium pipi kanan kiri khas sapaan para wanita, Mita kemudian
Perkataan Amar semalam masih terbayang di pikiran Mita sampai ia tak nyenyak tidur. Bahkan, hingga pagi menjelang ketika ia memutuskan untuk pergi bekerja setelah dirasa kondisinya sudah lebih baik, kalimat Amar setelahnya membuat ia terus kepikiran. 'Tidak sepantasnya aku memiliki perasaan ini ke kamu. Perasaan yang hanya pantas dimiliki oleh insan yang bebas. Tidak seperti kamu yang masih terikat pernikahan dengan laki-laki lain. Bahkan, ada janin yang harus kamu pertahankan bersama laki-laki yang memang adalah ayahnya.'Amar telah jatuh cinta pada Mita. Begitu kesimpulan yang bisa perempuan itu ambil setelah mereka berbicara semalam. Kesedihan yang Amar rasakan mengenai berita kehamilan Mita, membuat lelaki itu merasa bersalah hingga memutuskan untuk menjauh dan menjaga jarak dari hubungan pertemanan yang selama ini terjalin. 'Kita tidak berbuat apapun selama ini, lantas kenapa Mas Amar berpikir untuk menjauh?''Karena perasaan aku yang tidak sepantasnya ada, Mita.'Mita jadi sed
Mita menatap Danu dengan tatapan nelangsa. Sungguh ingin ia berteriak dan mengatakan pada semua dunia betapa keras kepala suaminya itu. "Mas, bagaimana bisa kamu menuduhku berzina dengan laki-laki lain sedangkan kamu tahu tak mungkin aku melakukan hal tersebut.""Siapa yang tahu? Itu dulu.""Ya Tuhan, Mas. Apakah kedua mata hati kamu sudah tertutup sampai kamu tega menuduhku telah melakukan hal dosa itu."Danu benar-benar tak peduli dengan perkataan Mita. Baginya, kehamilan yang Mita alami sekarang bukan karena perbuatannya. "Apa yang harus aku katakan lagi supaya kamu mengerti dan mau menerima anak ini?" Mita bertanya pasrah. Namun, Danu seperti sudah tak semangat lagi untuk membahas perihal kabar kehamilan istri pertamanya tersebut. Tak lama ia beranjak bangun dari sofa ruang tamu dan berniat meninggalkan Mita sendirian dengan masalahnya. "Mas ...?" panggil Mita lemah. Danu menghentikan langkahnya, lalu menatap Mita dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Asal kamu tahu
Sosok perempuan itu terlihat lemah dan tak berdaya. Ia tampak melamun ketika sahabatnya mendekat. "Apa ada yang sakit?" tanya Ranti menatap Mita. Perempuan itu mengangguk lemah. "Pusing," jawabnya kemudian. "Apa dokter udah kasih obat?" tanya Ranti lagi sembari melihat ke sekeliling, tetapi tidak ditemukan apapun di dekatnya. "Belum. Dokter cuma kasih infus karena katanya aku terlalu lemas."Tak ada yang bersuara setelah ucapan Mita barusan. Ranti bahkan tak sanggup menatap lebih lama sahabatnya tersebut. Tapi, perlahan kemudian ia duduk di sisi ranjang, tempat Mita terbaring. Memberanikan diri mengulurkan tangan demi menggenggam tangan sang sahabat. "Apakah Tuhan sedang mempermainkan aku, Ran?""Shut! Enggak boleh kamu bicara begitu."Seketika air mata yang sejak tadi Mita tahan mengalir melewati kedua pipi. Memalingkan wajah ke arah lain, Ranti tahu bila perempuan itu sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua memang takdir yang Tuhan berikan untuknya. Ranti tak bicara. Ha
Suasana restoran tempat Mita dan Amar makan siang —bersama Ranti, tampak ramai dengan para pengunjung yang juga tengah makan siang seperti mereka. Setelah membicarakan urusan bisnis atau kerja sama, Amar sengaja mengajak kedua wanita itu untuk makan di salah satu restoran yang letaknya bersebelahan dengan kantornya berada. "Apakah Nina sudah kembali dari jalan-jalannya dengan Yola?" tanya Mita yang baru selesai menghabiskan dessert di tangannya. "Sore ini mereka sampai. Mungkin sedikit mengalami keterlambatan karena weekend.""Ehm, iya." Mita menyahut sembari mengangguk. Namun, ketika ia baru meletakkan sendok setelah suapan terakhir ke mulutnya, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Hal itu disadari oleh Amar yang duduk tepat di depannya, tetapi tidak dengan Ranti yang masih setia dengan es krim vanila di mulutnya. "Ada apa?" tanya Amar yang terdengar khawatir. Seketika Ranti menengok pada Mita yang duduk di sebelahnya. "Kenapa, Mit?" tanya Ranti yang juga melihat perubahan wajah san
Setelah malam di mana Danu kembali menyentuh Mita, lelaki itu nyatanya tidak lagi peduli dengan keberadaan istri pertamanya tersebut. Alih-alih memberikan perhatian seperti dulu, ia kembali mengacuhkan sang istri dengan kembali pada sosok Selena, sang istri kedua.Bagi Mita sendiri itu bukan sesuatu yang aneh. Bukan juga spesial, yang harus ia kenang. Sikap cuek yang Danu tunjukkan memang hakikatnya adalah sifat sebenarnya lelaki itu setelah berhasil menikahi sang mantan kekasih. Mita yang telah kembali ke kamarnya sempat dibuat kaget dengan kemunculan Selena setelah kedua mertuanya kembali pulang. Madunya itu menatapnya penuh amarah. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya, Mita sendiri tidak mengerti. Bahkan sebulan telah berlalu setelah peristiwa 'pemaksaan layanan' yang Danu lakukan terhadapnya, Selena masih menatapnya marah. Namun, Mita tampaknya tak ambil pusing. Kehamilan Selena yang masih muda, ia anggap reaksi dari sikap wanita itu kepadanya. Seperti hari itu, Mita yang sud
"Bukankah aku udah bilang supaya kamu lebih hati-hati? Kamu itu tuli atau memang bodoh sih!" seru Danu sembari mendorong Mita ke dinding kamar. Sesampainya di rumah, aksi bungkam yang terjadi antara Mita dan Danu, nyatanya berlanjut. Danu yang marah karena melihat sosok Amar di pesta pernikahan Ranti, serta merta melampiaskan kemarahannya setelah kedua orang tua tidak bersama mereka. Di kamar Danu tampak membabi buta. Entah apa yang terjadi dengannya, emosi yang ia tengah tunjukkan seolah di luar nalar. Mita sampai diam tak membalas setiap ucapan suaminya tersebut. Ia bahkan hanya bisa bengong ketika hendak bermain fisik padanya. "Sebenarnya kamu itu kenapa sih, Mas? Marah kamu itu berlebihan banget tahu enggak." Mita mencoba bicara pelan, menahan emosi yang sama. "Berlebihan kata kamu?" Danu membalas kebingungan Mita seraya menatap tajam. "Ya ... terus apa kalau bukan berlebihan namanya? Datang-datang ke pesta orang, boro-boro ngucapin selamat kaya tamu undangan lain, ini malah
Hall tempat diadakannya pesta pernikahan Ranti dan Yudha terlihat penuh oleh tamu undangan. Beberapa waktu lalu sahabat Mita itu telah resmi dipersunting oleh sang kekasih hati. Lelaki kaya sederhana yang bisa menaklukan sosok perempuan yang selama ini terkenal sulit didekati.Mita sudah sejak pagi berada di tempat tersebut. Bersama kedua mertuanya, ia hadir bahkan menemani selama proses acara berlangsung hingga sekarang para tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa restu pada pasangan pengantin baru. "Ibu sama ayah duduk aja di sini. Aku mau ke situ dulu sebentar." Mita pamit pada kedua mertuanya yang terlihat duduk santai di area khusus keluarga. Kedua orang itu mengangguk dan membiarkan Mita pergi. Tujuannya tak lain karena sang menantu ingin menghampiri beberapa kawan yang hadir di pesta pernikahan sahabatnya tersebut. "Hai!"Sapaan dan seruan mewarnai suasana hiruk pikuk hall. Mita yang senang karena bisa bertemu dengan banyak teman yang sudah lama jarang bertemu, tak s
Danu telah sukses membuat Mita menangis semalaman di hamparan sajadahnya. Mengadu ke Sang Pencipta setelah lelaki itu mengatainya dengan tuduhan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh laki-laki yang pernah bersama selama dua tahun lamanya. 'Apakah salahku Tuhan jika Engkau belum memberiku keturunan? Apakah tuduhan itu memang pantas aku terima meski medis sendiri sudah membuktikan kalau kondisi rahimku baik-baik saja?'Mita bertanya terus tanpa henti meski Tuhan tidak memberinya jawaban. Tuduhan mandul yang Danu lontarkan, sejatinya sudah membuat rasa sakit di dalam hatinya kembali hadir setelah beberapa waktu kemarin coba ia lupakan. 'Ya, aku memang menyukai bocah itu, tetapi bukan karena aku merindukan sosok anak di kehidupanku. Juga bukan karena aku memiliki niat lain dengan sosok laki-laki itu,' batu Mita kembali bicara. Malam itu ia sama sekali tidak peduli dengan tangisannya yang memenuhi ruang kamar. Setelah mengatakan hal yang menyakitkan hatinya, lelaki itu pergi untuk menem