Benar saja, sepanjang perjalanan pulang, Ranti terus meledek dan menggoda Mita atas situasi tak mengenakan yang terjadi di rumah sakit tadi. Kekhawatiran Amar sebab rasa sakit kepala yang terkadang Mita alami, membuat Ranti semakin yakin ingin menjodohkan sang sahabat dengan lelaki itu. "Mau sampai kapan kamu menggodaku?" tanya Mita yang mulai jengah sebab tak henti-hentinya Ranti berkicau. "Entahlah. Aku sendiri seperti mendapat jackpot untuk terus membahas situasi tadi," ucap Ranti terkekeh. Mita hanya menggeleng. Ia sungguh tak percaya sahabatnya itu masih mempunyai stok bahan untuk ditertawakan. Meski ia sendiri tahu, apa yang Ranti lakukan hanya sebuah penghiburan demi melupakan masalah yang Mita tengah alami. Sepulangnya nanti Mita harus dihadapkan pada situasi paling menguras emosi di mana ia akan melihat kemesraan yang terjadi antara suaminya —Danu, dan istri barunya. "Andai skenario Tuhan seindah itu, Mit. Mungkin kehidupan di dunia akan tenang dan damai." Tiba-tiba Ranti
Ingin sekali Mita membalas ucapan Selena. Tapi, ia berusaha menahan untuk tidak terpancing dengan omongan istri baru suaminya itu. "Kalau tidak ada yang mau Mas Danu katakan, aku permisi masuk duluan. Masih banyak barang milikku yang belum aku bereskan dan masih ada di kamar kita.""Kamar kami! Bukan lagi kamar kamu!" Selena memotong cepat. Kedua matanya tajam menatap Mita, begitu penuh kebencian. Namun, Mita sama sekali tidak menghiraukan protes yang Selena suarakan. Ia memilih menatap Danu yang malah tersenyum menanggapi perkataan istri keduanya itu. "Aku mau kamu siapkan makan malam untuk aku dan Selena."Mita menatap Selena, mengejek. 'Demi apa? Tugas memasak harus aku yang melakukannya?'"Kenapa dengan ekspresi kamu itu? Apa kamu tidak mendengar perintah Mas Danu?" Lagi-lagi Selena ikut bicara. "Maaf, Mas. Kenapa tidak istri Mas sendiri yang memasak untuk makan malam kalian?""Kamu juga 'kan istriku.""Iya, aku tahu itu. Tapi, aku baru makan barusan sebelum pulang. Jadi, per
Kamar berukuran empat kali tiga yang saat ini Mita tempati, akan menjadi tempatnya melewati malam dalam kesendirian. Mulai malam ini, secara sah dan resmi ia benar-benar ditinggalkan oleh Danu. Lelaki yang dua hari lalu menikahi mantan kekasihnya dan kini menempati kamar yang lebih dari dua tahun menjadi kamar tidur keduanya. Perempuan itu tampak berbaring di atas kasur berukuran sedang sembari memandangi langit-langit kamar. Setelah selesai melayani pasangan pengantin baru dengan menyiapkan makan malam, Mita memilih pergi sebab tidak sedang berselera makan. Alasannya tadi pada Danu bahwa dirinya telah makan dengan Ranti, adalah kebohongan yang sengaja ia ciptakan sebab enggan bersama dengan suami dan istri barunya itu. Cemburu sudah pasti, tapi yang Mita alami lebih dari itu. Paska aksi tak senonoh yang Danu dan Selena pertontonkan di ruang TV, sejak saat itu Mita merasa muak atas hubungan dan aksi mereka. Membuatnya jengah dan tak siap jika harus berada dalam satu meja bersama. Di
Aksi menyebalkan yang Danu lakukan kembali terjadi. Tidak hanya sekali Mita diminta menyiapkan makanan untuk ia dan istri barunya santap, tetapi di waktu pagi keesokan harinya, lelaki itu kembali meminta Mita menyiapkan sarapan pagi sebelum pergi bekerja. "Mas, masa cuma bikin roti panggang aja enggak bisa?"Mita yang baru selesai mandi, dan belum sempat berdandan, dibuat kaget dengan gedoran di pintu kamarnya. Kemunculan Danu jelas membuat Mita ingin tertawa juga nelangsa. "Siapa yang enggak bisa?" sahut Danu dengan nada suara yang selalu tinggi bila sedang bicara dengan istri pertamanya itu. "Ya, istri baru kamu. Siapa lagi memangnya?""Jangan meledek, yah? Selena bisa melakukannya. Bahkan, ia bisa melakukan apa yang kamu enggak bisa.""Ya kalo bisa, kenapa Mas tidak minta dia saja untuk membuatkannya untuk kamu.""Jangan kurang ajar, yah, kamu Mita. Fungsinya kamu di rumah ini apa? Bukankah sebagai istri kamu memiliki kewajiban untuk melayani suami kamu dengan baik!"Bukannya ma
Tak sanggup lagi air mata Mita tahan untuk meluncur bebas melewati kedua pipinya. Setelah melewati gerbang pagar kediamannya, ia tumpahkan semua sesak yang dadanya rasakan. Danu memang jahat, itu yang Mita rasakan. Tapi, ia sama sekali tidak menyangka sikap suaminya itu begitu cepat berubah. 'Sungguh aku masih kuat untuk menghadapi kalian, tetapi jangan usik diriku dengan semua keinginan konyol kalian.'Di sepanjang perjalanan menuju butik, Mita terus memikirkan tingkah suaminya yang dengan sengaja memerintah tanpa memikirkan perasaannya. Semua hanya demi Selena. 'Tuhan! Sejauh mana aku harus bertahan menghadapi mereka?'Semua sebetulnya tidak akan rumit kalau saja Mita mau mendengar saran dari Ranti. Seperti yang sahabatnya itu katakan ketika ia sampai dalam keadaan mata sembab. "Aku sudah bilang, Mita. Ajukan perceraian ke pengadilan. Pernikahan kamu dan Danu tidak akan bisa diselamatkan karena suami kamu sudah pindah ke lain hati.""Aku masih belum siap, Ranti.""Please, Mit. A
"Omah?" tanya Mita dalam hati yang mendadak canggung ketika calon mertua Ranti menatapnya. Yola yang menyadari ada sesuatu yang terjadi, berinisiatif untuk menjelaskan. "Tante Erni adalah tante dari ibunya Nina.""Oh." Mita dan Ranti saling menatap. Kemudian tersenyum seolah lega sebab pertanyaan di kepala mereka yang akhirnya terjawab. "Iya, Tante ini adik dari mamanya Sekar, ibunya Nina." Wanita itu menjelaskan sembari menatap Mita dan calon menantunya, Ranti. "Oh iya, mungkin Yola belum tahu, Ranti adalah calonnya Yuda, anak bungsu Tante. Kamu kenal 'kan?" lanjutnya kali ini menatap Yola. "Ah, Yuda. Iya Yola masih ingat. Oh, calon istrinya Yuda," ucap Yola tersenyum menatap Ranti, membuat sahabat Mita itu canggung dan malu. "Kapan diresmikannya, Tante?""Bulan depan. Tungguin aja undangannya. Jangan lupa Amar juga suruh datang, yah?" Wanita bernama Erni itu terlihat mengancam, meski hanya becanda. "Hehe, iya, Tante. Ditunggu undangannya."Meski tidak tahu harus berbicara apa
"Jadi mereka sudah bercerai? Pertanyaan Mbak Mita cukup aneh, hehe." Yola menyahut seraya tersenyum. "Apakah Mbak Mita akan diam saja kalau berada di posisi Mas Amar? Apakah akan tetap melanjutkan rumah tangga meski tahu suami Mbak Mita kedapatan berselingkuh dengan menjalin cinta bersama perempuan lain. Terlebih lelaki itu adalah sahabatnya sendiri. Bukan satu orang pengkhianat pada kasus Mas Amar, dua orang yang sama-sama ia percaya justru menikamnya dari belakang.""Eh, maaf. Apakah Mbak Mita sudah berumah tangga?" Yola buru-buru bertanya tentang status Mita. Mita terlihat tersenyum meski hatinya masih terusik sebab cerita yang Yola sampaikan padanya. "Saya sudah menikah.""Ah, ya. Berarti pertanyaan saya tidak salah kalau begitu. Sebab saya mendadak tak enak hati kalau ternyata Mbak Mita belum mempunyai suami.""Justru kondisi kakak kamu sama persis dengan keadaan saya sekarang." Tiba-tiba Mita ikut terbawa cerita. Apa yang Yola ceritakan secara tidak langsung menggelitik hatin
Rombongan Amar sudah berada di parkir mobil, persis di depan butik milik Ranti. Mereka terlihat hendak pamit pulang sebab merasa sudah terlalu lama berada di butik. "Sekali lagi terima kasih atas jamuannya hari ini. Maaf juga sebab sudah mengganggu waktu kalian," ujar Amar sebelum masuk ke mobil. "Berapa kali saya harus bilang, kedatangan Nina dan Yola sama sekali enggak mengganggu waktu kerja saya. Jadi, tolong jangan terus meminta maaf. Saya jadi enggak enak." Mita terlihat canggung. Di depannya, Amar, begitu tulus meminta maaf. 'Bagaimana bisa lelaki baik sepertinya dikhianati oleh istri dan sahabatnya sendiri?' batin Mita dalam hati. "Kalau begitu, lain kali biar saya yang traktir kalian berdua sebagai balasan atas jamuan yang sudah kalian berikan kepada kami.""Apakah boleh kami yang memilih tempat atau makanannya?" Mita menyahut dengan candaan. Mereka semua tertawa sebab tahu jika Mita tidak serius dengan ucapannya. Meski Amar akan menjawab iya, sebab itu bukan sesuatu yang
"Aku tidak peduli kamu mau percaya aku atau tidak. Tapi yang pasti, kamu itu bukan seleraku.""Ap-apa?" Nisa menatap Danu emosi. "Kamu bilang aku bukan seleramu? Lantas, perempuan seperti apa yang jadi seleramu? Apakah lebih cantik, lebih kaya, atau lebih pintar dari aku?"Danu tertawa mendengar pertanyaan Nisa. "Kenapa kamu marah? Selera seseorang enggak melulu tentang cantik, kaya, atau pintar bukan?""Y-Ya. Tapi, apa yang para lelaki lihat kalau bukan tiga poin yang aku sebutkan tadi?"Sekali lagi Danu tertawa sembari meminum kopinya yang tinggal setengah. "Aku sudah pernah mendapatkan perempuan dengan tiga poin yang kamu sebutkan tadi. Jadi, bukan itu yang membuatku berselera ketika ingin kembali menikahi seorang perempuan untuk aku jadikan istri."Nisa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bagaimana mungkin ada perempuan yang memiliki poin istimewa seperti yang ia sebutkan tadi selain dirinya. "Apa ayahmu sudah memberitahu padamu tentang kehidupanku sebelumnya?""Tentang kamu
Sepekan yang lalu saat Danu baru pulang dari kantor, ia sudah dibuat kesal oleh ayahnya. Hal itu karena ucapan lelaki yang ia sayangi itu mengenai perjodohan yang tetap harus dilaksanakan. "Ibumu sakit. Dokter bilang waktunya tidak lama lagi.""Jangan bercanda, Yah. Ini bukan waktunya main-main." Danu mulai emosi ketika sang ayah membawa-bawa penyakit ibunya. "Bu, apa betul dokter bilang begitu? Memang Ibu itu sakit apa, kok tiba-tiba jadi parah? Kalian ke luar negeri 'kan cuma cek rutin, bukan mau konsultasi penyakit serius." Danu menatap ibunya bertanya. Perasaannya mendadak tak enak. "Enggak, dokter enggak bilang gitu.""Nah, terus? Barusan ayah ngomong gitu!" seru Danu kesal menatap ayahnya. Namun, lelaki di depannya itu terlihat cuek dan santai. Membuat Danu kembali menatap ibunya. "Kenapa Ibu mau aja diajak kongkalikong sama ayah meminta aku buat nikah sama perempuan itu? Sampai bawa-bawa penyakit segala.""Enggak ada yang salah kok, Nu. Apa yang ayahmu katakan itu ada bena
Terdengar suara gedebuk orang jatuh dari ketinggian. Danu yang masih kebingungan menjawab pertanyaannya sang ayah, seketika membuka mata dan menyadari jika ia baru saja bermimpi. "Ah, sial! Ternyata cuma mimpi," gerutunya kesal. Danu kemudian kembali ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya kembali yang terasa sakit sebab terjatuh tadi. "Kenapa aku jadi bermimpi seperti itu? Jelas-jelas aku ingin melupakannya. Tapi, kenapa sosoknya malah muncul. Lalu, kenapa juga ayah enggan membatalkan perjodohan ini?" ucapnya semakin kesal. Danu melihat jam di atas nakas. Jam digital di sana menunjukkan angka dua dini hari. "Aku baru tidur satu jam dan sudah bermimpi? Ini benar-benar gila!" gerutu Danu lagi. Ia mencoba untuk kembali tertidur, tapi mengalami kesulitan. Kantuknya seketika hilang setelah insiden terjatuh tadi. Ia pun kemudian memutuskan untuk ke toilet untuk membuang hajat. Setelahnya ia mencuci muka, menatap wajahnya di depan cermin wastafel. 'Hei! Apa kamu masih belum puas membu
"Nisa Naura Setiawan. Dia adalah putri tinggal alias putri semata wayang dari Rendy Setiawan, seorang pengusaha, pebisnis yang lumayan disegani." Danu mendengarkan cerita Amar tentang sosok Nisa, gadis yang dijodohkan dengannya. "Nisa adalah gadis baik-baik. Aku kenal dengannya sejak kami kuliah di fakultas yang sama.""Mas Amar satu angkatan sama Nisa? Kok bisa?" Mita bertanya bingung. Ia berpikir jika usia keduanya jauh berbeda. "Oh, enggak. Nisa di bawahku. Aku kenal dia karena orang tua kami yang adalah rekan bisnis," jelas Amar. Baik Mita atau pun Danu sama-sama menyimak dengan serius. Entah apa yang terjadi, keduanya seperti menemukan sebuah kisah seru yang ingin mereka dengarkan sampai tuntas. "Kalian enggak dijodohkan?" tanya Mita iseng. "Enggak. Aku sudah punya pacar waktu Nisa masuk kuliah. Selain itu usia kami juga lumayan jauh." Amar mencoba membayangkan hal yang membuat kedua orang tua mereka tidak menjodohkannya dengan Nisa. "Lagian, orang tua kamu cuma rekan bisni
"Apa? Jadi, ibu sama ayah mau jodohin Mas Danu lagi?" Mita tampak terkejut saat mendengar cerita Danu mengenai perjodohannya dengan Nisa. "Ehm, menurut sahabat ayah begitu." Danu menjawab sambil mengangguk. "Tapi, sebelumnya ayah dan ibu enggak bilang. Aku baru tahu pas hubungi mereka tadi."Mita melempar pandangannya pada Amar. Amar hanya diam dengan senyum tipis. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu. Pertemuan malam itu antara Danu, Mita, dan Amar, membuat Danu bercerita tentang rencana perjodohan yang kedua orang tuanya lakukan. Ia yang saat ini sedang menenangkan hati, hanya bisa bercerita pada sosok yang sekiranya bisa dipercaya. "Eh, maafkan aku. Aku enggak bermaksud mengganggu kehidupan baru kalian dengan menceritakan kisahku. Aku cuma butuh tempat bercerita," ucap Danu sembari menyesap kopi panas yang ia pesan. "Setidaknya hal tersebut membuatku lega. Tak perlu ada saran atau pendapat." Danu menatap Mita, terlebih Amar dengan raut muka tak enak hati. "Enggak apa-apa kok
Danu berjalan pelan menuju meja, tempat di mana keluarga Setiawan alias Nisa berada. Makanan sudah terhidang, dan mau tak mau Danu harus melanjutkan makan malamnya dengan keluarga Setiawan. Ia tak mau membuat dua orang tua di depannya kecewa atau pun tak nyaman. "Maafkan saya, Pak Rendy. Maaf karena sudah membuat Anda dan keluarga menunggu," ucap Danu sembari duduk. Di dekatnya Nisa seolah enggan menatapnya. Ekspresinya masih sama, jutek dan kesal. "Tidak apa-apa, Nak Danu. Kami maklum. Kami juga minta maaf karena kecerobohan Nisa membuat kamu terkejut.""Kok aku, Yah?" Nisa menyela, tapi cubitan sang ibu seketika membuatnya bungkam. "Kalau saja Nisa tidak bicara tadi, mungkin suasananya tidak akan se-canggung ini. Kita masih bisa makan dengan santai dan akrab.""Oh, tidak, Pak Rendy. Dengan Nisa bicara tadi, bukankah saya jadi tahu mengenai rencana perjodohan kalian terhadap kami berdua. Saya jadi bisa bertanya pada ayah dan ibu mengenai kebenaran berita tersebut.""Ya, tapi mung
"Mau ngapain kamu di sini?" Nisa bertanya kaget saat melihat Danu berdiri di depannya. "Nisa! Tolong yang sopan sama tamu Ayah."Nisa menengok kepada ayahnya. "Ja-jadi, ini tamu ... eh, maksudnya anak sahabat Ayah yang mau dijodohin sama aku?"Ayah Nisa mengangguk yakin. Tapi, di depannya Danu tercengang. "Maaf, Pak Rendy. Ini maksudnya apa, ya? Siapa yang dijodohkan dan dengan siapa?" Danu merasakan kengerian sebab perkataan Nisa tadi. "Kamu dan Nisa, anak saya.""Kok bisa? Ma-maksud saya, siapa yang bilang begitu?""Loh, apakah orang tua kamu enggak bilang apa-apa tentang perjodohan ini?" Rendy menatap Danu bingung. Danu menggeleng. Ia terlihat lemas dan tak bertenaga. 'Jadi, apakah ini yang ayah dan ibu sembunyikan sejak kemarin?' batin Danu mengingat ucapan-ucapan kedua orang tuanya di telepon beberapa hari belakangan. "Danu, apa udah ada kabar dari Pak Rendy?""Danu, kamu jadi 'kan datang ke undangannya teman Ayah?""Danu! Awas loh kalau kamu sampai enggak datang. Jangan bik
Danu baru akan pulang dari kantor ketika ibunya menelepon. "Iya, Bu?" tanya Danu setelah menerima panggilan dari ibunya tersebut. "Sudah pulang, Nu?""Baru aja mau pulang. Kenapa?""Enggak kenapa-kenapa. Ibu cuma mau tanya, tadi siang apa Pak Rendy jadi datang?""Jadi, Bu. Kenapa memang?""Enggak, Ibu cuma mau mastiin aja.""Mastiin? Emang beliau siapa sih, Bu?""Loh, memangnya Pak Rendy enggak ngenalin dirinya ke kamu?"Danu sudah sampai parkiran. Ia masuk ke mobil, lalu menyalakan mesin mobil. "Ngenalin namanya sama hubungan beliau sama kalian. Itu aja.""Oh, gitu.""Memang kenapa sih, Bu?" tanya Danu penasaran. "Tapi, ngomong-ngomong kok tumben banget, ya, Ibu sama ayah bisa ketemuan sama teman lama. Di sana kalian enggak jadi pulang besok karena mau reunian sama teman juga. Sekarang, tiba-tiba aja muncul Pak Rendy yang katanya teman ayah.""Eh, memangnya enggak boleh?""Siapa yang bilang enggak boleh? Tapi, kok tumben-tumbenan banget. Bisa dua orang begini.""Enggak kenapa-kena
Nisa berjalan gontai menuju parkiran. Ia yang memarkir mobilnya di basement terlihat kesal sekaligus malu. Beberapa saat lalu, Danu menjawab semua kekhawatirannya. Bahkan, lelaki itu mampu membuatnya diam membisu setelah semua pertanyaan dijawab dengan keseriusan yang tampak nyata. Nisa mungkin malu sebab tuduhannya tidak terbukti. Tapi, demi mendengar alasan dirinya tidak diterima bekerja, membuatnya kesal bukan main. "Apakah kamu pikir saya akan menerima seorang perempuan pemabuk untuk jadi sekretaris saya?""Saya bukan seorang pemabuk. Ada masalah yang sedang saya hadapi, yang membuat saya melakukan itu." Nisa mencoba memberikan pembelaan. Tapi, melawan Danu adalah hal yang sia-sia. Lelaki itu mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya. "Saya tidak mau mempunyai sekretaris kekanak-kanakan. Seseorang yang rapuh hanya karena satu masalah. Bagaimana ia akan bekerja nanti di tengah masalah pribadi yang sedang dihadapi? Bisa-bisa semua pekerjaan yang sudah dirancang malah hancur beran