Rombongan Amar sudah berada di parkir mobil, persis di depan butik milik Ranti. Mereka terlihat hendak pamit pulang sebab merasa sudah terlalu lama berada di butik. "Sekali lagi terima kasih atas jamuannya hari ini. Maaf juga sebab sudah mengganggu waktu kalian," ujar Amar sebelum masuk ke mobil. "Berapa kali saya harus bilang, kedatangan Nina dan Yola sama sekali enggak mengganggu waktu kerja saya. Jadi, tolong jangan terus meminta maaf. Saya jadi enggak enak." Mita terlihat canggung. Di depannya, Amar, begitu tulus meminta maaf. 'Bagaimana bisa lelaki baik sepertinya dikhianati oleh istri dan sahabatnya sendiri?' batin Mita dalam hati. "Kalau begitu, lain kali biar saya yang traktir kalian berdua sebagai balasan atas jamuan yang sudah kalian berikan kepada kami.""Apakah boleh kami yang memilih tempat atau makanannya?" Mita menyahut dengan candaan. Mereka semua tertawa sebab tahu jika Mita tidak serius dengan ucapannya. Meski Amar akan menjawab iya, sebab itu bukan sesuatu yang
Keadaan rumah tampak kosong ketika Mita tiba di jam enam menjelang maghrib. Pikirnya ia tidak akan melihat pasangan suami istri baru itu jika ia kembali di sore hari. Dugaannya yang tepat membuatnya lega. Tapi sayang, saat langkah kakinya hendak masuk kamar, sosok dua orang itu tiba-tiba muncul sembari tertawa bahagia. Tak ada sapaan atau kalimat apapun ketika Mita dan Danu saling berpandangan. Malahan tatapan jijik bisa Mita lihat dari ekspresi Selena. Perempuan cantik yang seharusnya bisa ia sukai jika bersikap baik dan tidak angkuh. "Mas, kita langsung masuk kamar aja yuk!" Tiba-tiba Selena bergelayut manja di lengan Danu. Pemandangan menyakitkan yang akan selalu Mita lihat di rumah itu entah sampai kapan. "Yuk! Aku juga udah capek. Lagian besok aku 'kan udah masuk kerja. Butuh istirahat setelah kita nikmatin bulan madu kita." Danu menyahut dengan suara yang seperti sengaja dikencangkan.Padahal tanpa lelaki itu bicara seperti itu, Mita bisa dengan jelas mendengar semua percakap
Di dalam kamar, Mita terlihat tak nafsu makan. Makanan yang ia pesan lewat aplikasi online kini tergeletak tak berdaya setelah ia membuka penutup wadahnya. Bayangan pertemuannya dengan Danu tadi masih membekas di benaknya. Lelaki itu ternyata memang sengaja mau mengerjainya. Menganggap keberadaannya di rumah itu sebagai pembantu yang harus mau melakukan setiap perintahnya. Mita memang sudah menyadari hal itu sejak kedatangan Selena dengan sikapnya yang angkuh, yang seolah ingin menunjukkan jika wanita itu adalah satu-satunya orang yang Danu cintai. Yang akan mendapatkan apa saja keinginannya, termasuk menjadikan dirinya sebagai ratu di rumah itu.'Aku harus segera mengambil keputusan. Apakah akan tetap bersama dengan Mas Danu atau merelakannya bersama dengan wanita itu selamanya?' tanya Mita dalam hati. Perempuan itu tahu dirinya sudah tak ada lagi di hati sang suami. Bahkan mungkin tak pernah ada sejak keduanya menikah sampai wanita itu muncul kembali di kehidupan pernikahan merek
Mita akan membuat kopi dan sarapan paginya ketika tiba-tiba muncul Selena dari anak tangga. Wanita yang kini menjadi madunya itu terlihat angkuh berjalan dan sinis menatap padanya. "Aku mau buat sarapan buat Mas Danu. Apa kamu sudah selesai?" tanyanya dengan gaya congkak. Mita yang sudah menuang air panas ke dalam cangkir berisi bubuk kopi, hanya diam tak menanggapi. Ia lebih memilih untuk segera pergi meninggalkan meja dapur setelah mengaduk seduhan kopinya itu. "Hei! Apa kau tuli?" hardik Selena kesal."Kalau mau pakai dapur, pakai saja. Kenapa kamu harus bertanya apakah aku sudah selesai atau belum. Kaya yang baru tinggal satu dua hari saja." Mita membalas dengan santai. "Kau! Apakah sekarang kau sudah berani bicara ketus padaku seperti itu?""Siapa yang ketus? Bukankah kamu yang sejak muncul di tempat ini berdiri dan menatapku angkuh?" Mita menatap Selena yang terkejut dengan balasannya. Ya, Mita memang tidak membalas sikap Selena dengan sikap yang sama. Ia justru terlihat s
Ruang makan di mana Danu dan Selena menikmati sarapan pagi terlihat sepi sebab keduanya yang sama-sama saling berdiam diri. Baik Danu atau Selena, tak ada dari mereka yang mulai berbicara. Hingga sosok Mita muncul dari kamar tamu, menyempatkan diri menengok ke arah ruang makan. Namun, sudah sejak beberapa hari yang lalu Mita tak pernah lagi bicara pada Danu semenjak suaminya itu selalu bersikap ketus padanya. Kecuali kalau lelaki itu yang bertanya lebih dulu, Mita akan menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan, dan sepertinya saat ini terlihat bahwa Danu hendak bicara padanya. "Kamu mau ke mana?" tanya Danu sedikit berteriak. Mita menatap heran, bahkan Selena juga menengok suaminya tak percaya. Tumben sekali lelaki itu bertanya padahal tahu jika jam pagi seperti saat ini adalah waktunya bagi Mita pergi ke butik. "Seperti biasa, Mas, ke butik.""Kamu tidak makan?""Sudah. Maaf karena aku sarapan duluan."Di tengah percakapan yang terjadi antara Mita dan Danu, tiba-tiba Selena tertaw
Bocah kecil itu terlihat lemah ketika Mita sampai di kediaman rumah Amar. Rumah yang sangat besar yang sempat membuatnya menatap takjub dan terpana. 'Mereka keluarga kaya raya, tetapi tidak memperlihatkan jati diri mereka yang sebenarnya. Terlihat dari sikap dan penampilan mereka yang begitu sederhana. Tapi, siapa yang menduga jika di balik kesederhanaan itu ternyata ada pundi-pundi kekayaan yang tidak mereka pamerkan,' batin Mita ketika dirinya memasuki pagar rumah mewah tersebut. Kini dirinya sudah berdiri di ambang pintu salah satu kamar. Kamar yang ditempati oleh seorang anak kecil yang terbaring lemah di atas ranjangnya yang lucu dengan nuansa pink mendominasi. "Tante Mita," gumam Nina dengan suara lemah. Tapi, keceriaan segera tampak ketika ia melihat sosok wanita yang rupanya sudah ia tunggu kehadirannya. "Hai, Nina."Mita segera mendekat. Ia berjalan menghampiri tempat tidur bersama Amar. Di sana, di sebelah Nina ada sosok Yola yang begitu setia menemani sang keponakan. G
Usia kandungan Selena sudah berjalan enam minggu. Hasil yang dokter sampaikan dan sekarang Danu ceritakan pada Mita, membuat wanita di depannya itu diam dan murung. Bukan hanya Selena yang melihat perubahan muka istri tua suaminya, tetapi ada Amar dan Yola yang sudah memeriksakan kondisi Nina, bisa melihat dengan jelas ekspresi yang tampak di wajah Mita. "Itu semua sudah cukup untuk membuat kamu menjauh dari kehidupan kami bukan?" ucap Selena pada Mita, pelan dan sinis. Mita tak bisa membalas ucapan sang madu, ia masih terlalu syok mendapat kabar yang sama sekali tidak ia harapkan. 'Aku yang ingin memiliki anak, tetapi wanita ini yang malah Tuhan berikan anugerah istimewa itu. Rasanya sangat tidak adil buatku,' batin Mita antara kesal dan sedih. Danu tidak mendengar ucapan Selena, tetapi Yola dan Amar bisa sebab posisi mereka yang berada tepat di sebelah Mita. "Mbak Mita, ayo kita pulang! Kita hanya tinggal menunggu obat Nina. Bisa kita ambil ke ruang obat di depan!" ajak Yola s
"Bagaimana pun itu tidak wajar!" seru Ranti. Wanita itu meminta bertemu dengan Mita di sore hari setelah pulang dari butik. Setelah mengantar Nina, Mita mohon pamit untuk kembali ke butik. Dalam keadaan Nina yang sedang tertidur, memudahkannya untuk pergi tanpa harus mendengar rewelan bocah itu. Sekarang sudah berada di dalam kafe yang tak jauh dari butik tempat Ranti fitting baju akad, dua sahabat itu terlihat serius membahas kehamilan Selena setelah sebelumnya Ranti selesai bercerita tentang kebayanya yang tiba-tiba longgar, yang Mita duga karena sang sahabat mengalami stress akibat pernikahan yang semakin dekat. "Enam minggu dan kita tahu baru dua pekan kemarin suami kamu pergi ke Bali yang katanya bulan madu, tetapi anehnya cuma dua hari."Mita tampak diam sambil menyesap kopi latte yang ia pesan dalam keadaan panas. Di depannya Ranti begitu semangat berbicara. Sungguh aneh, saat pertama kali ia mendengar berita kehamilan Selena, dirinya merasa begitu marah dan kesal. Jangan
Mita membuka pintu kamar. Tampak sang ibu mertua dengan cardigan menyelimuti tubuhnya, menatap Mita cemas. "Ada apa? Ibu dengar suara teriak dari bawah."Mita berusaha mengontrol suaranya ketika akan menjawab pertanyaan ibu mertuanya itu. Sesaat ia akan bersuara, tiba-tiba muncul Danu dari belakang tubuhnya. "Tadi ada kecoa, Bu. Mita takut dan menjerit ketakutan."Seketika Mita menoleh pada suaminya, yang justru memalingkan wajahnya tak peduli. "Benarkah begitu, Mita? Cuma karena kecoa kamu teriak malam-malam begini?" Ibu mertuanya menatap sambil tersenyum. "I-iya, Bu. Maaf kalau sudah bikin Ibu dan ayah terganggu. Udah tidur, yah?" tanya Mita seraya terkekeh. "Belum. Baru aja mau," jawab perempuan paruh baya itu. "Terus, gimana kecoanya? Apa udah pergi?" lanjutnya bertanya. "Udah. Tadi aku matiin, terus dibuang." Danu menjawab cepat. "Oh, ya udah. Syukurlah kalau begitu. Besok biar bibi yang bersihin rumah periksa kamar kalian, khawatir ada kecoa atau binatang lainnya. Kamu 'k
Berita tentang kehamilan Mita yang akhirnya diketahui oleh kedua mertuanya, kini juga sampai ke telinga kedua orang tuanya. Mereka mengucapkan selamat dan meminta Mita untuk lebih berhati-hati atas kondisi dirinya sekarang. "Jangan terlalu capek kerja!""Kehamilan muda itu rawan. Jangan seenaknya sampai lupa kalau lagi hamil.""Jangan mentang-mentang ngerasa sehat dan kuat sampai enggak peduli sama jabang bayi yang ada di dalam perut."Pesan dan nasehat bertubi-tubi datang. Mita mendapatkan semua itu ketika kedua orang tuanya menghubungi. Bahkan, beberapa saudara juga memberinya selamat atas dua tahun lebih pernikahan ia dan Danu yang akhirnya diberi juga momongan. "Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Mita. Jadi, jaga baik-baik."Mita sampai tidak tahu bagaimana respon yang harus ia berikan. Hanya kata terima kasih yang bisa ia ucapkan kepada mereka semua. Di luar perasaan bahagia sebab perhatian yang mereka berikan kepadanya.Andai saja mereka semua tahu kalau suaminya sendiri eng
Apa yang dikatakan Amar nyatanya betul-betul lelaki itu lakukan. Sudah sebulan lebih, Mita tidak bertemu dengan pengusaha itu. Setelah panggilan beberapa waktu lalu di mana Amar mengatakan ingin menjaga nama baik Mita sebagai seorang istri yang tengah hamil dan memiliki suami, lelaki itu tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Begitu pun Nina. Bocah kecil itu seperti dibuat menjauh oleh ayahnya.Namun, tidak bagi Yola. Gadis yang tengah kuliah itu, sempat mampir datang ke butik selama beberapa kali. Selain karena urusan bisnis milik Amar yang rupanya diserahkan kepada sang adik, gadis itu juga seperti sengaja ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini disimpan. Seperti sore itu. Ranti yang sudah izin pulang duluan karena ada urusan dengan dijemput sang suami, Mita kedatangan Yola ketika hendak pamit pada para karyawannya. "Yola?""Sore, Mbak. Sudah mau pulang, yah?" tanya gadis itu tak enak hati. Setelah memeluk dan mencium pipi kanan kiri khas sapaan para wanita, Mita kemudian
Perkataan Amar semalam masih terbayang di pikiran Mita sampai ia tak nyenyak tidur. Bahkan, hingga pagi menjelang ketika ia memutuskan untuk pergi bekerja setelah dirasa kondisinya sudah lebih baik, kalimat Amar setelahnya membuat ia terus kepikiran. 'Tidak sepantasnya aku memiliki perasaan ini ke kamu. Perasaan yang hanya pantas dimiliki oleh insan yang bebas. Tidak seperti kamu yang masih terikat pernikahan dengan laki-laki lain. Bahkan, ada janin yang harus kamu pertahankan bersama laki-laki yang memang adalah ayahnya.'Amar telah jatuh cinta pada Mita. Begitu kesimpulan yang bisa perempuan itu ambil setelah mereka berbicara semalam. Kesedihan yang Amar rasakan mengenai berita kehamilan Mita, membuat lelaki itu merasa bersalah hingga memutuskan untuk menjauh dan menjaga jarak dari hubungan pertemanan yang selama ini terjalin. 'Kita tidak berbuat apapun selama ini, lantas kenapa Mas Amar berpikir untuk menjauh?''Karena perasaan aku yang tidak sepantasnya ada, Mita.'Mita jadi sed
Mita menatap Danu dengan tatapan nelangsa. Sungguh ingin ia berteriak dan mengatakan pada semua dunia betapa keras kepala suaminya itu. "Mas, bagaimana bisa kamu menuduhku berzina dengan laki-laki lain sedangkan kamu tahu tak mungkin aku melakukan hal tersebut.""Siapa yang tahu? Itu dulu.""Ya Tuhan, Mas. Apakah kedua mata hati kamu sudah tertutup sampai kamu tega menuduhku telah melakukan hal dosa itu."Danu benar-benar tak peduli dengan perkataan Mita. Baginya, kehamilan yang Mita alami sekarang bukan karena perbuatannya. "Apa yang harus aku katakan lagi supaya kamu mengerti dan mau menerima anak ini?" Mita bertanya pasrah. Namun, Danu seperti sudah tak semangat lagi untuk membahas perihal kabar kehamilan istri pertamanya tersebut. Tak lama ia beranjak bangun dari sofa ruang tamu dan berniat meninggalkan Mita sendirian dengan masalahnya. "Mas ...?" panggil Mita lemah. Danu menghentikan langkahnya, lalu menatap Mita dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Asal kamu tahu
Sosok perempuan itu terlihat lemah dan tak berdaya. Ia tampak melamun ketika sahabatnya mendekat. "Apa ada yang sakit?" tanya Ranti menatap Mita. Perempuan itu mengangguk lemah. "Pusing," jawabnya kemudian. "Apa dokter udah kasih obat?" tanya Ranti lagi sembari melihat ke sekeliling, tetapi tidak ditemukan apapun di dekatnya. "Belum. Dokter cuma kasih infus karena katanya aku terlalu lemas."Tak ada yang bersuara setelah ucapan Mita barusan. Ranti bahkan tak sanggup menatap lebih lama sahabatnya tersebut. Tapi, perlahan kemudian ia duduk di sisi ranjang, tempat Mita terbaring. Memberanikan diri mengulurkan tangan demi menggenggam tangan sang sahabat. "Apakah Tuhan sedang mempermainkan aku, Ran?""Shut! Enggak boleh kamu bicara begitu."Seketika air mata yang sejak tadi Mita tahan mengalir melewati kedua pipi. Memalingkan wajah ke arah lain, Ranti tahu bila perempuan itu sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua memang takdir yang Tuhan berikan untuknya. Ranti tak bicara. Ha
Suasana restoran tempat Mita dan Amar makan siang —bersama Ranti, tampak ramai dengan para pengunjung yang juga tengah makan siang seperti mereka. Setelah membicarakan urusan bisnis atau kerja sama, Amar sengaja mengajak kedua wanita itu untuk makan di salah satu restoran yang letaknya bersebelahan dengan kantornya berada. "Apakah Nina sudah kembali dari jalan-jalannya dengan Yola?" tanya Mita yang baru selesai menghabiskan dessert di tangannya. "Sore ini mereka sampai. Mungkin sedikit mengalami keterlambatan karena weekend.""Ehm, iya." Mita menyahut sembari mengangguk. Namun, ketika ia baru meletakkan sendok setelah suapan terakhir ke mulutnya, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Hal itu disadari oleh Amar yang duduk tepat di depannya, tetapi tidak dengan Ranti yang masih setia dengan es krim vanila di mulutnya. "Ada apa?" tanya Amar yang terdengar khawatir. Seketika Ranti menengok pada Mita yang duduk di sebelahnya. "Kenapa, Mit?" tanya Ranti yang juga melihat perubahan wajah san
Setelah malam di mana Danu kembali menyentuh Mita, lelaki itu nyatanya tidak lagi peduli dengan keberadaan istri pertamanya tersebut. Alih-alih memberikan perhatian seperti dulu, ia kembali mengacuhkan sang istri dengan kembali pada sosok Selena, sang istri kedua.Bagi Mita sendiri itu bukan sesuatu yang aneh. Bukan juga spesial, yang harus ia kenang. Sikap cuek yang Danu tunjukkan memang hakikatnya adalah sifat sebenarnya lelaki itu setelah berhasil menikahi sang mantan kekasih. Mita yang telah kembali ke kamarnya sempat dibuat kaget dengan kemunculan Selena setelah kedua mertuanya kembali pulang. Madunya itu menatapnya penuh amarah. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya, Mita sendiri tidak mengerti. Bahkan sebulan telah berlalu setelah peristiwa 'pemaksaan layanan' yang Danu lakukan terhadapnya, Selena masih menatapnya marah. Namun, Mita tampaknya tak ambil pusing. Kehamilan Selena yang masih muda, ia anggap reaksi dari sikap wanita itu kepadanya. Seperti hari itu, Mita yang sud
"Bukankah aku udah bilang supaya kamu lebih hati-hati? Kamu itu tuli atau memang bodoh sih!" seru Danu sembari mendorong Mita ke dinding kamar. Sesampainya di rumah, aksi bungkam yang terjadi antara Mita dan Danu, nyatanya berlanjut. Danu yang marah karena melihat sosok Amar di pesta pernikahan Ranti, serta merta melampiaskan kemarahannya setelah kedua orang tua tidak bersama mereka. Di kamar Danu tampak membabi buta. Entah apa yang terjadi dengannya, emosi yang ia tengah tunjukkan seolah di luar nalar. Mita sampai diam tak membalas setiap ucapan suaminya tersebut. Ia bahkan hanya bisa bengong ketika hendak bermain fisik padanya. "Sebenarnya kamu itu kenapa sih, Mas? Marah kamu itu berlebihan banget tahu enggak." Mita mencoba bicara pelan, menahan emosi yang sama. "Berlebihan kata kamu?" Danu membalas kebingungan Mita seraya menatap tajam. "Ya ... terus apa kalau bukan berlebihan namanya? Datang-datang ke pesta orang, boro-boro ngucapin selamat kaya tamu undangan lain, ini malah