Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah.
"Nina pamit dulu, Tante." Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka." Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendapat tatapan dan senyum dari Mita. "Kalau itu Nina tanya dulu sama ayah, yah? Kalau ayah Nina kasih izin, Tante tentu senang kalau kita bisa ketemu lagi." Nina kembali mengangguk. Kali ini ia begitu antusias bahwa akan kembali bertemu dengan Mita. "Ya sudah, sekarang Nina pulang dulu, yah, sama Tante Yola. Ayah masih harus di sini sampai urusan Tante Mita selesai." Amar bicara pada putrinya menunduk. "Iya, Yah." "Maaf, Mas. Tunggu!" Mita mencegah Amar yang sudah akan berbalik. "Iya." "Eh, kenapa enggak antar Nina saja? Di sini sudah ada sahabat saya yang akan urus dan bantu semua. Jadi, Anda enggak perlu repot urus masalah di sini. Sebab saya yakin, urusan dan pekerjaan Anda jauh lebih penting dibanding mengurusi hal seperti ini." Mita merasa yakin akan pekerjaan Amar yang pastinya jauh lebih sibuk dilihat dari pakaian yang lelaki itu kenakan. Penampilan khas para eksekutif muda yang memiliki jam kerja luar biasa padat. Amar sontak menengok pada Ranti yang bereaksi mengangguk. Tapi, sedetik kemudian lelaki itu tersenyum begitu hangat. "Tidak apa-apa. Sejak awal saya sudah berjanji untuk bertanggung jawab atas insiden ini. Jadi, tidak perlu merasa sungkan atas keberadaan saya di sini. Kalau pun kalian merasa terganggu, saya tidak akan muncul di hadapan kalian dan hanya akan mengurus semuanya dari belakang layar. Tapi, tolong jangan meminta saya untuk pergi dari masalah ini. Saya bukan seorang laki-laki yang akan lari dari tanggung jawab, terlebih putri saya sendiri yang menjadi penyebab kecelakaan yang menimpa Anda." Setelah berkata demikian, Amar pamit undur diri bersama sang putri untuk menemui Yola yang sudah ia minta datang ke area UGD. Feeling-nya tepat, ketika ia akan menitipkan Nina pada adik perempuannya itu, muncul dua orang perawat yang akan membawa atau memindahkan Mita ke ruangan lain. "Segeralah pulang! Mas masih harus berada di sini." Amar bicara pada Yola saat perempuan muda itu sudah berdiri bersama seorang lelaki lain yang ternyata adalah anak buahnya, Sammy. "Baik, Mas. Kalau gitu kami pulang dulu. Jangan lupa kabarin, yah, kalau udah selesai. Biar Nina enggak rewel tanya-tanya terus." "Iya." Lalu Yola pun menggamit tangan Nina untuk berjalan menuju parkiran rumah sakit, meninggalkan Amar yang kini harus melanjutkan pekerjaan yang anak buahnya bawa. "Tinggal tanda tangan saja, Pak. Selebihnya saya bisa handle untuk pengawasan proyek di lapangan hari ini." "Ehm, ok. Saya percayakan sementara sama kamu, Sam. Saya akan kabari kalau urusan di sini sudah selesai," imbuh Amar seraya membubuhkan tanda tangan di beberapa lembar kertas yang anak buahnya bawa dari kantor. "Baik, Pak." Lelaki itu berdiri setelah selesai dengan urusannya. Ia kemudian pamit undur diri untuk kembali ke kantor. Amar sendiri kini melangkah cepat menuju ruang radiologi untuk melihat rontgen yang Mita harus jalani. 'Ya Tuhan! Semoga perempuan itu baik-baik saja. Bukan karena aku harus membantu atau mengeluarkan uang banyak untuknya. Tapi, sepertinya aku melihat kesedihan yang tampak di wajahnya, yang seharusnya tidak semakin bertambah sebab kecelakaan ini,' gumam Amar berdoa seiring langkah kakinya menuju tempat di mana Mita diperiksa sekarang. Di tempat lain, setelah Mita selesai dengan pemeriksaan CT-scan dan pemeriksaan lain demi mengetahui jelas rasa sakit akibat benturan dari kecelakaan yang menimpanya, perempuan itu kini dibawa ke ruang perawatan. "Kenapa saya masuk ke ruangan ini, Sus?" tanya Mita yang heran sebab ia merasa baik-baik saja dan tidak perlu mendapatkan perawatan. "Ini usulan dari dokter dan sudah disetujui oleh kerabat Anda, Bu Mita." "Kerabat saya?" Mita menengok pada Ranti seolah meminta jawaban. "Aku belum nyetujuin apapun, Mit." Ranti tampak menggeleng, enggan dituduh. Meski perempuan itu sendiri pun akan menyetujui seandainya diminta tanda tangani persetujuan dari dokter. Setidaknya, meski acara liburan mereka gagal sebab kondisi Mita, ia berharap sahabatnya itu tidak pulang ke rumah dulu demi menelan pil pahit sebab pernikahan suaminya yang mungkin sedang atau sudah berlangsung saat ini. "Terus kalau bukan kamu siapa lagi?" "Ya, mana aku tahu. Mungkin si Mas-Mas yang tadi. Siapa namanya?" "Amar! Nama saya Amar." Tiba-tiba ada sebuah suara dari arah pintu kamar. Sosok lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan masuk ke saku celananya, membuat kedua wanita yang tengah berbincang tadi menengok bebarengan. "Perawat benar, saya yang sudah menyetujui saran dokter supaya Anda dirawat di sini sementara hasil pemeriksaan kondisi Anda selesai." "Kenapa Anda tidak meminta izin terlebih dulu ke saya sebelumnya?" Mita terlihat sedikit kesal. "Maaf, tadi Anda sedang didalam ruang radiologi ketika dokter meminta jawaban." "Seharusnya Anda menunggu dan tidak langsung memutuskan secara sepihak. Terlebih Anda bukan apa-apa bagi saya, hanya seseorang yang ingin bertanggung jawab sebab kelalaian adik Anda menjaga putri Anda." Seketika ruangan di mana orang-orang itu sedang berada hening sebab ucapan Mita. Bahkan, Ranti sampai menutup mulut saking kaget dan tak percaya atas apa yang sudah sahabatnya itu katakan. Terlihat Amar terdiam membisu. Kata-kata yang Mita ucapkan membuatnya tersadar jika ia sudah sedikit lancang atas keputusannya. "Maafkan saya karena sudah membuat Anda kecewa dan marah. Kalau begitu biar saya temui dokter dan meminta mereka membatalkan perawatan Anda." "Tidak perlu!" cegah Mita cepat. Tepat saat dilihatnya Amar hendak berbalik keluar ruangan. "Mungkin Anda tidak bisa melakukan hal itu." Mita terlihat meremehkan. Tapi, sejujurnya ia hanya tak mau terlihat malu sebab sudah membuat suasana mencekam karena kata-katanya. "Saya akan coba karena saya tidak mau Anda terbebani dengan keputusan saya yang salah." Amar tetap pada pendiriannya untuk tetap menemui dokter. Sedangkan Mita yang terlihat duduk di atas ranjang tempat tidur seketika menutup wajahnya saat Ranti menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin membunuh. "Apa yang kamu lakuin, Mit?" "Sorry," lirih Mita bersuara di balik tangan yang masih menutupi wajahnya. ***"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres
"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama