Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya.
"Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspresi khawatir masih tampak di wajahnya, seolah ada beban yang menghinggapi raga dan pikirannya. "Perkenalkan, saya Amar. Dan saya adalah orang yang membawa Anda kemari ketika kecelakaan menimpa Anda." "Kecelakaan?" "Iya." Pria itu mengangguk lemah. "Anda pingsan sesaat menabrak pembatas jalan, lalu segera saya bawa kemari." Mita berusaha mengingat atas apa yang terjadi dengannya beberapa waktu ke belakang. Berawal dari mobil yang ia kendarai keluar rumah, yang akan membawanya ke butik untuk bertemu Ranti —sahabat sekaligus manajer butik. Ia yang akan pergi jalan-jalan bersama sahabatnya itu, tiba-tiba harus mengalami kecelakaan ketika bayangan sosok anak kecil berlari menyeberangi jalan di depannya. "Ah! Saya ingat. Ada anak kecil hendak menyeberang jalan tadi," sahut Mita sembari memegang dahinya. Namun, belum sepenuhnya mengetahui perihal kondisi di jalan paska kecelakaan terjadi, Mita dibuat terkejut ketika laki-laki di depannya itu melakukan sesuatu. "Sebelumnya maafkan saya karena Anda harus mengalami kecelakaan tersebut." Laki-laki tampan itu sedikit membungkukkan tubuhnya meminta maaf kepada Mita. Mita terhenyak. Mengapa laki-laki itu harus meminta maaf kepadanya? Memang dia salah apa? "Maaf untuk apa, Tuan?" "Panggil saya Amar saja, Bu Mita." "Kalau begitu panggil juga saya Mita saja!" potong Mita cepat. Laki-laki itu pun tersenyum. Mita melihat itu, sebuah senyum yang sangat manis dan begitu hangat. "Mbak Mita, anak kecil yang tadi membuat konsentrasi Anda terganggu dan mengakibatkan kecelakaan, adalah putri saya. Maaf karena saya yang tidak bisa mengawasi anak saya dengan benar sehingga Anda harus terbaring di bilik rumah sakit ini. Sekali lagi, maafkan saya!" Kembali lelaki bernama Amar itu menunduk. Rupanya beban yang menghinggapi pikiran Amar adalah karena putrinya? Begitu pikiran Mita pada akhirnya. "Di mana putri Anda sekarang? Apakah ia baik-baik saja?" tanya Mita yang malah menanyakan keberadaan sosok anak kecil yang mengakibatkan dirinya terbaring lemah. "Eh, putri saya ada di kantin rumah sakit bersama dengan adik saya. Dia baik-baik saja." Amar menjawab bingung. "Maaf, kalau boleh tahu apakah ada luka atau rasa sakit yang Anda rasakan sekarang, maksudnya apakah ada efek dari kecelakaan yang menimpa Anda tadi?" Mita berpikir sejenak. Lalu berusaha merasakan apakah tubuhnya bereaksi atas kecelakaan tadi. Di depannya, Amar terus mengamati dalam diam. Bisa dipastikan lelaki itu pasti tengah menunggu jawaban atas kondisi yang saat ini ia alami. Belum sempat menjawab pertanyaan yang Amar ajukan, seorang dokter wanita bersama perawat muncul ke bilik ruangan. "Selamat siang, Ibu Mita. Anda sudah siuman rupanya?" sapa sang dokter ramah, yang kemudian memasang stetoskop ke telinganya. "Iya, Dok." Dokter wanita itu pun berjalan ke sisi yang berbeda di mana Amar berdiri. Lalu, mencoba memeriksa kondisi Mita yang masih dalam keadaan terbaring. "Apa yang Anda rasakan saat ini, Bu Mita? Apa ada keluhan mengenai kondisi anggota tubuh Anda yang mungkin saja terkena benturan akibat kecelakaan?" Mita menggeleng, "Tidak ada, Dok. Saya rasa saya baik-baik saja. Hanya rasa pusing di kepala saya yang masih saya rasakan ketika bangun dari pingsan tadi," jawab Mita sembari memegang kepalanya. "Begitu. Apakah ada yang lain?" Mita menggeleng, "Enggak ada, Dok!" "Baiklah, kalau begitu kita lebih baik melakukan rontgen di kepala Anda. Jika ada hal yang sekiranya tidak baik, sepertinya Anda harus dirawat untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tapi, seandainya rasa pusing yang Anda alami bukan karena sesuatu di kepala, maka Anda sudah diperbolehkan untuk pulang dan istirahat di rumah. "Baik, Dok. Terima kasih!" "Sama-sama," jawab sang dokter, kemudian memandang perawat di sebelahnya. "Suster bisa tolong siapkan semuanya, agar Bu Mita bisa melakukan tindakan rontgen secepatnya!" "Baik, Dok." Suster itu pun mengangguk, mengerti. Kemudian ikut pergi ketika dokter hendak meninggalkan bilik. "Anda keluarganya?" tanya sang dokter pada Amar sebelum melangkah keluar. "Bukan, Dokter. Saya yang membawa Bu Mita dari tempat kejadian tadi." "Oh begitu." "Suster, apakah keluarga Bu Mita sudah ada yang datang atau ada yang bisa dihubungi?" tanya dokter lagi menatap suster. Mita yang dari tadi hanya mendengar dan mengamati, langsung menginterupsi drama di depannya saat ini. "Maaf, Dok. Saya rasa enggak ada yang harus dihubungi." "Kenapa?" tanya dokter heran. "I-itu karena ... karena keluarga saya semua ada di luar kota. Saya hanya sendirian di sini." Tak ingin ada yang tahu mengenai kondisi dirinya saat ini yang terbaring lemah di rumah sakit, Mita berusaha agar pihak rumah sakit tidak menghubungi siapa pun, termasuk kedua orang tuanya apalagi Danu —suaminya. "Begitu? Tapi bagaimana dengan pihak penanggung jawab? Maksud saya, kami membutuhkan tanda tangan untuk melakukan tindakan medis apapun." "Saya yang —!" Jawaban Mita menggantung. "Biar saya yang bertanggung jawab, Dok!" seru Amar menjawab cepat. Mita sontak menengok laki-laki yang bertindak gentle dengan sikap dan perkataanya. "Saya yang akan mengurus semuanya," lanjut Amar menambahkan. Dokter melirik ke arah Mita, kemudian balik menatap Amar dan mengangguk. "Baik. Kalau begitu Anda bisa ikut bersama kami untuk melakukan pendaftaran dan segala macamnya," ujar dokter wanita itu tersenyum. "Baik, Dok!" jawab Amar. Kali ini dokter dan perawat benar-benar pergi meninggalkan bilik. Amar yang juga akan menyusul dua perempuan itu, menatap sejenak ke arah Mita. "Anda tidak perlu melakukan itu. Saya bisa bertanggung jawab untuk diri saya sendiri." Mita berkata canggung. Meski Amar bertanggung jawab atas perbuatan putrinya, tetap saja Mita merasa tak enak hati. "Ini sudah menjadi tanggung jawab saya." Tak peduli dengan kalimat penolakan yang Mita katakan, Amar bicara penuh yakin terhadap wanita itu. "T-tapi —?" "Saya tinggal sebentar, Mbak Mita. Nanti saya akan kembali kalau pendaftarannya sudah selesai." Amar pun pamit dan meninggalkan Mita. Ketika gorden akan lelaki itu buka, sosok Ranti muncul dari luar dengan wajah cemas dan panik. "Mit! Mita!" seru wanita itu, tetapi segera terdiam ketika bersitatap dengan Amar yang hendak keluar dari bilik. "Eh, Anda siapa, yah?" Amar pun mengulurkan tangan dan tersenyum. "Saya Amar. Seseorang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Mbak Mita. Anda pasti Mbak Ranti bukan, yang tadi saya hubungi?" "E-eh, iya. Oh, jadi yang tadi menghubungi saya itu, Anda?" "Iya, benar." "Oh!" Ranti diam sejenak seolah terkejut akan pesona yang Amar miliki. "Maaf, saya harus pergi ke bagian pendaftaran. Saya akan kembali dan berbincang dengan Anda kalau sudah selesai nanti." Amar pamit undur diri. Lelaki itu melangkah cepat meninggalkan dua wanita yang masih saling terdiam. ***"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama
Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda