Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali.
"Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi. Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong sudah istrinya siapkan. Semangkuk besar nasi goreng beserta kawan-kawannya, juga tersedia di atas meja. Bahkan secangkir kopi hitam —seperti biasa tersedia lebih dulu, sehingga ketika ia meminumnya sudah tidak lagi hawa panas menyerang lidah. Lelaki itu pun segera mengambil nasi goreng ke dalam piring kosong di depannya. Ia ambil juga ayam goreng beserta telor mata sapi sebagai pelengkap sarapan pagi kali itu. Beruntungnya Danu sebab memiliki istri yang pandai memasak dan melayaninya dengan baik selama ini, meskipun Mita sendiri memiliki kegiatan yang cukup melelahkan sebagai seorang pengusaha butik. Namun sayang, lelaki itu tidak pandai bersyukur dengan semua yang sudah dimiliki, hanya karena sebuah ego akan keinginannya memiliki keturunan, ditambah hadirnya sosok mantan kekasih yang nyatanya belum hilang sempurna dari ingatannya. Seperti yang sudah terjadi sejak setahun terakhir, di mana Danu akan menikmati santapan yang istrinya hidangkan tanpa ada obrolan di antara keduanya. Begitu juga yang terjadi di pagi hari itu. Masakan lezat yang Danu makan, tak membuatnya menjadi sosok suami tahu diri dengan memberikan sebuah penghormatan seperti ucapan terima kasih atau pujian atas makanan enak yang terhidang, yang sudah istrinya siapkan. "Aku berangkat jam sembilan, Mas." Mita memecah keheningan di antara mereka. Danu hanya menengok sebentar, lalu kembali dengan nasi gorengnya. "Apakah kamu tidak bertanya padaku, ke mana aku akan pergi?" Mita seperti sengaja mengetes Danu dengan mengajukan pertanyaan yang sebetulnya tidak penting. Lelaki di depannya itu terlihat menyelesaikan sarapannya dan meminum kopi yang sudah agak mendingin. Lepas itu, ia pun memandang sang istri yang masih menunggunya bicara. "Sudah sejak setahun lalu aku memberikan pilihan padamu mengenai kelangsungan rumah tangga kita. Namun, kamu tetap bertahan di pernikahan kita yang ketiga. Pada akhirnya, aku memberikan kebebasan padamu dalam melakukan kegiatan apapun di luar sana, termasuk dengan siapa saja kamu berhubungan, baik dengan lelaki ataupun perempuan. Aku tidak pernah melarang atau ikut campur. Jadi, sekali lagi aku tekankan untuk terkahir kali —sebelum nanti Selena tinggal bersama kita di rumah ini dan kita masih membicarakan hal enggak penting kaya gini, kamu mau ke mana dan pergi dengan siapa, sejauh kamu masih bisa menjaga nama baik dua keluarga besar kita, aku tidak peduli lagi. Aku menyerahkan semuanya kepadamu. Jalani hidupmu sesuai apa yang kamu mau, aku enggak akan ikut campur. Tapi, tentu saja aku juga mau kamu tidak mencampuri segala urusanku, termasuk urusan rumah tanggaku nanti dengan Selena." Rasa sakit yang masih belum hilang di hati Mita, Danu tambahkan dengan kalimat menyakitkan yang sebenarnya sudah beberapa kali suaminya katakan. Usai bicara panjang, Danu kemudian menenggak sisa kopi di cangkirnya dan memilih beranjak, bersiap untuk pergi. Koper sudah ia gapai, lalu menarik pegangan besinya dan memanjangkan. Tak peduli dengan sikap sang istri yang kini menunduk pilu menahan rasa sakit yang sepertinya tak akan pernah berkesudahan. "Enggak usah bersikap berlebihan. Kita ini sudah sama-sama dewasa, bisa berpikir mana yang baik dan buruk. Jika selepas aku bulan madu, lalu pikiran kamu berubah untuk berpisah, aku enggak akan pikir panjang lagi pasti langsung menyetujui." Tidak menunggu respon yang Mita berikan, Danu segera pergi meninggalkan sang istri yang tertunduk dalam diam. Tak peduli meski air mata akan menetes membanjiri wajahnya. Mita masih diam tidak meneruskan sarapannya. Meski suara mesin mobil Danu sudah tidak lagi terdengar, wanita itu masih bergeming di posisinya. 'Tak kusangka kamu sejahat ini, Mas!' serunya dengan suara tertahan sebab tangisan yang mulai menyertai. *** Mita sudah bersiap dengan penampilannya. Hari itu ia memang berencana pergi dengan Ranti —sahabat sekaligus orang kepercayaan di butik miliknya, menikmati pemandangan laut di pesisir utara pulau. Sengaja menginap selama satu malam demi melupakan perasaan sakit hati ditinggal suami yang akan melakukan ijab kabul hari ini. Selepas Danu pergi selesai sarapan tadi, Mita pun menyusul untuk segera meninggalkan rumah. Barang pribadi sudah ia siapkan setelah suaminya meninggalkan rumah. Ia memang sengaja melakukannya agar lelaki itu tidak mengetahui rencananya untuk pergi berlibur. Toh, semalam dan tadi pagi pun suaminya itu sudah kembali menegaskan jika dirinya bebas untuk melakukan apapun sesuai keinginannya. Jadi, untuk apa Danu tahu mengenai rencananya untuk melupakan penat akibat kabar menyesakkan hati. Mita sudah masuk ke dalam mobilnya ketika suara dering ponsel mengagetkannya. Nama Ranti terpampang di layar saat Mita hendak menerima panggilan tersebut. "Hallo! Iya, Ran?" [Kamu di mana?] "Aku baru mau jalan nih! Kenapa?" [Enggak, aku udah ada di butik, yah!] "Cepet amat!" [Kamu lupa, hari ini ada koleksi pakaian baru yang datang. Sebelum kita pergi, laporannya udah harus aku selesaikan dulu 'kan?] "Oh iya! Sorry, sorry. Aku lupa. Ok deh, kamu lanjut dulu aja. Aku segera sampai!" [Sip. Hati-hati, yah!] "Ok. Bye!" Mita meletakkan kembali ponsel ke dalam tas tangannya. Ia kemudian mulai melajukan kendaraannya keluar gerbang. Pamit pada seorang petugas penjaga rumah, lalu meluncur dengan kecepatan sedang, mengaspal di jalan raya. Di rumah Danu memang hanya mempekerjakan seorang petugas keamanan untuk menjaga rumahnya. Tak ada pembantu lain yang tinggal di kediamannya. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang akan datang di setiap pagi hari setelah Mita pergi ke butik, untuk membersihkan rumah serta melakukan pekerjaan lain. Siangnya perempuan itu akan pulang kalau pekerjaannya sudah selesai. Sedangkan tugas memasak diserahkan kepada Mita, istrinya. Masakan lezat yang mampu wanita itu hidangkan, membuat Danu memutuskan untuk tidak mengizinkan orang lain untuk memasak. Mita menyadari jika rumah tangga mereka hampir saja berjalan lancar dan mulus seandainya Selena tidak kembali hadir. Sebab alasan anak sempat Danu bahas bukanlah satu masalah yang harus diperdebatkan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Namun, semuanya kini hanyalah omong kosong belaka. Perasaan cinta yang ternyata belum hilang sepenuhnya dari hati Danu terhadap wanita itu, kembali terisi ketika tanpa sengaja keduanya bertemu dan akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin cinta di belakang keluarga, tetapi tidak di depan Mita. Mita yang syok ketika mendapat kabar Danu kembali merajut cinta, semakin sakit hati ketika alasan anak dijadikan masalah. Bahkan lelaki itu sampai menuduhnya mandul karena pernikahan mereka yang tak kunjung diberi keturunan. Satu tahun mengetahui hubungan gelap suaminya dengan sang mantan kekasih, harus berakhir menyakitkan di mana keduanya memutuskan untuk menikah. Kini Mita tengah berusaha untuk melupakan itu semua. Mita bertekad untuk bertahan semampunya. Itulah mengapa ia mencoba untuk mencari ketenangan dengan pergi bersama Ranti sebelum masa-masa yang lebih sulit akan ia hadapi dan pastinya akan penuh drama dan air mata. Di tengah pikiran Mita yang masih melanglang buana memikirkan nasib pernikahannya, tanpa sadar fokus menyetirnya terganggu. Pandangan matanya terlihat kacau ketika ia tidak mengetahui ada sosok anak kecil yang tiba-tiba menyebrang jalan di saat lampu hijau bagi pengendara masih menyala. Mita pun segera menginjak rem kuat. Sedikit membanting setir ke kiri jalan justru membuat mobilnya malah menubruk pembatas jalan. Dahi Mita pun sontak membentur setir, menimbulkan suara klakson yang cukup panjang, dan mengakibatkan keriuhan lalu lintas di sekitarnya. Seketika banyak orang yang mengerubungi mobilnya. Wanita itu pun masih sadar ketika ada sosok lelaki yang menghampiri dan mencoba membuka pintu mobil. Namun, beberapa detik kemudian semuanya menjadi gelap. Mita pingsan. ***Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres
"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama
Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
Ranti memang sangat menyayangi Mita, terlebih saat ini sahabatnya itu sedang bersedih sebab rencana pernikahan yang akan suaminya langsungkan. Tapi, memarahi laki-laki lain sebab pelampiasan kekesalannya, bukanlah sebuah ide yang baik dan dibenarkan. "Iya, sorry, Ran."Berkali-kali Mita meminta maaf pada Ranti. "Bukan ke aku, yah, Mit, tapi ke Mas Amar.""Iya, iya. Nanti aku minta maaf sama dia kalau datang."Mita sungguh merasa bodoh sekarang. Bisa-bisanya ia marah pada laki-laki yang tulus dan ikhlas ingin membantu dan bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya. "Maaf sudah membuat kalian menunggu. Puji syukur, dokter tidak memaksa Mbak Mita untuk dirawat di sini. Tapi, dokter meminta Anda untuk rutin kontrol walau tidak ada keluhan apapun."Amar tiba-tiba muncul di saat Mita dan Ranti saling terdiam sebab suasana yang tidak mengenakan setelah protes yang Mita lakukan sebelumnya. "Eh, Mas Amar," ucap Mita ragu. Tapi, di sebelahnya Ranti kembali mencoleknya supaya bicara.
Amar Hadinata, ia adalah seorang pengusaha yang memiliki warisan perusahaan dari keluarganya. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu, sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk menjadi seorang eksekutif muda seperti yang sekarang ia jalani. Cita-citanya dahulu menjadi seorang Chef internasional. Meski keinginan orang tuanya menginginkan salah satu anak mereka meneruskan perusahaan, tetap membuat Amar tenang sebab ada sang kakak yang bisa diandalkan sehingga ia bisa menggapai cita-citanya tersebut.Namun, takdir Tuhan tidak selamanya sejalan dengan rencana manusia. Sang kakak yang waktu itu ikut mengantar kedua orang tua mereka menghadiri salah satu jamuan pesta salah seorang kolega, turut menjadi korban meninggal menyusul kedua orang tuanya yang dinyatakan pergi lebih dulu. Amar kehilangan tiga anggota keluarganya sekaligus. Membuat lelaki itu sempat limbung juga depresi, sehingga mau tak mau ia mengambil alih perusahaan yang waktu itu sama sekali belum menguasai ilmunya. Beruntungnya a
Burung yang bebas terbang di alam sudah sibuk mencari makanan di waktu yang masih sangat pagi. Membangunkan seseorang di salah satu rumah yang pagi itu bangun sedikit kesiangan sebab tidur yang terlampau malam. Mita, semalam ia sibuk mengerjakan beberapa laporan akhir bulan usaha butiknya. Sempat dibantu oleh Ranti sampai jam sembilan malam, tetapi sahabatnya itu harus segera pulang karena urusan mendadak dengan calon suaminya. "Seharusnya kamu enggak harus ngerjain ini sampai malam, Mit."Ranti sempat protes karena kesibukan Mita paska kecelakaan yang sesungguhnya belum membuat tubuhnya pulih sempurna. Tapi, alasan ingin melupakan kesedihannya membuat Ranti tak lagi bisa berkata-kata. "Mungkin dengan begini aku bisa melupakan pernikahan yang Mas Danu jalani sama mantannya."Ah, andai saja Mita mau mendengarkan saran dari Ranti untuk menyudahi pernikahannya dengan Danu, mungkin sahabatnya itu tak akan merasa sedih. Tapi, seperti yang Mita katakan, biar semua keputusan ia yang mena
Mita terpaksa kembali ke rumah setelah Danu memaksanya datang. Ia terpaksa meminta Ranti untuk meng-handle urusan butik setelah sebelumnya ia harus menerima kekesalan sahabatnya itu karena mau-maunya menuruti permintaan Danu. "Mau bagaimana pun juga dia masih suamiku, Ran. Setiap perintahnya adalah kewajiban yang harus aku tunaikan."'Iya, tapi kewajiban yang seperti apa dulu, Mit. Masalah pindah kamar, apa itu bukan hal gila namanya? Perempuan itu bisa pakai kamar tamu, kenapa jadi kamu yang harus pindah. Lagian, kalau mau istirahat mereka 'kan bisa pakai kamar lain untuk sementara waktu sampai kamu kembali nanti. Ini kok malah maksa. Enggak masuk akal tahu enggak!'"Iya, iya, aku tahu. Aku minta tolong banget, yah, Ran. Tapi, kalau kamu ada keperluan juga enggak apa-apa kok. Untuk meeting dan laporan bulanan, bisa ditunda dulu sampai besok."'Bukan gitu, Mita. Ah, sudahlah. Kamu tenang aja, aku bisa handle urusan butik. Kamu urus aja suami kamu sama istri barunya itu. Tapi ingat, y
Air mata sudah sejak tadi ingin tumpah keluar dari dua bola matanya yang bening. Tapi, sebisa mungkin Mita tahan sebab keberadaan Danu —suaminya dengan Selena yang terlihat kesal sebab pergerakan Mita yang dinilainya lamban. Tak tahu saja mereka jika Mita masih dalam masa pemulihan setelah insiden kecelakaan lusa kemarin. Siapa yang bisa tahan melihat suami sendiri berinteraksi mesra dengan perempuan lain di depan matanya tanpa sungkan. Begitu juga Mita yang meskipun keberadaannya sudah tak lagi dianggap oleh sang suami, tetap merasakan nyeri di hatinya sebab kebersamaan Danu dengan mantan kekasih yang kini sudah resmi menjadi istri keduanya tersebut. "Apakah tidak ada pembantu di rumah ini, Mas? Bukankah pekerjaan wanita itu bisa cepat selesai kalau dibantu? Aku udah lelah, pingin buru-buru istirahat." Tiba-tiba Selena nyeletuk. Selena mulai ngomel. Sengaja bicara di depan Mita yang saat itu tengah membawa koper berisi seluruh pakaiannya ke dalam kamar tamu. "Aku 'kan udah cerita
Apa yang dikatakan Amar nyatanya betul-betul lelaki itu lakukan. Sudah sebulan lebih, Mita tidak bertemu dengan pengusaha itu. Setelah panggilan beberapa waktu lalu di mana Amar mengatakan ingin menjaga nama baik Mita sebagai seorang istri yang tengah hamil dan memiliki suami, lelaki itu tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Begitu pun Nina. Bocah kecil itu seperti dibuat menjauh oleh ayahnya.Namun, tidak bagi Yola. Gadis yang tengah kuliah itu, sempat mampir datang ke butik selama beberapa kali. Selain karena urusan bisnis milik Amar yang rupanya diserahkan kepada sang adik, gadis itu juga seperti sengaja ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini disimpan. Seperti sore itu. Ranti yang sudah izin pulang duluan karena ada urusan dengan dijemput sang suami, Mita kedatangan Yola ketika hendak pamit pada para karyawannya. "Yola?""Sore, Mbak. Sudah mau pulang, yah?" tanya gadis itu tak enak hati. Setelah memeluk dan mencium pipi kanan kiri khas sapaan para wanita, Mita kemudian
Perkataan Amar semalam masih terbayang di pikiran Mita sampai ia tak nyenyak tidur. Bahkan, hingga pagi menjelang ketika ia memutuskan untuk pergi bekerja setelah dirasa kondisinya sudah lebih baik, kalimat Amar setelahnya membuat ia terus kepikiran. 'Tidak sepantasnya aku memiliki perasaan ini ke kamu. Perasaan yang hanya pantas dimiliki oleh insan yang bebas. Tidak seperti kamu yang masih terikat pernikahan dengan laki-laki lain. Bahkan, ada janin yang harus kamu pertahankan bersama laki-laki yang memang adalah ayahnya.'Amar telah jatuh cinta pada Mita. Begitu kesimpulan yang bisa perempuan itu ambil setelah mereka berbicara semalam. Kesedihan yang Amar rasakan mengenai berita kehamilan Mita, membuat lelaki itu merasa bersalah hingga memutuskan untuk menjauh dan menjaga jarak dari hubungan pertemanan yang selama ini terjalin. 'Kita tidak berbuat apapun selama ini, lantas kenapa Mas Amar berpikir untuk menjauh?''Karena perasaan aku yang tidak sepantasnya ada, Mita.'Mita jadi sed
Mita menatap Danu dengan tatapan nelangsa. Sungguh ingin ia berteriak dan mengatakan pada semua dunia betapa keras kepala suaminya itu. "Mas, bagaimana bisa kamu menuduhku berzina dengan laki-laki lain sedangkan kamu tahu tak mungkin aku melakukan hal tersebut.""Siapa yang tahu? Itu dulu.""Ya Tuhan, Mas. Apakah kedua mata hati kamu sudah tertutup sampai kamu tega menuduhku telah melakukan hal dosa itu."Danu benar-benar tak peduli dengan perkataan Mita. Baginya, kehamilan yang Mita alami sekarang bukan karena perbuatannya. "Apa yang harus aku katakan lagi supaya kamu mengerti dan mau menerima anak ini?" Mita bertanya pasrah. Namun, Danu seperti sudah tak semangat lagi untuk membahas perihal kabar kehamilan istri pertamanya tersebut. Tak lama ia beranjak bangun dari sofa ruang tamu dan berniat meninggalkan Mita sendirian dengan masalahnya. "Mas ...?" panggil Mita lemah. Danu menghentikan langkahnya, lalu menatap Mita dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Asal kamu tahu
Sosok perempuan itu terlihat lemah dan tak berdaya. Ia tampak melamun ketika sahabatnya mendekat. "Apa ada yang sakit?" tanya Ranti menatap Mita. Perempuan itu mengangguk lemah. "Pusing," jawabnya kemudian. "Apa dokter udah kasih obat?" tanya Ranti lagi sembari melihat ke sekeliling, tetapi tidak ditemukan apapun di dekatnya. "Belum. Dokter cuma kasih infus karena katanya aku terlalu lemas."Tak ada yang bersuara setelah ucapan Mita barusan. Ranti bahkan tak sanggup menatap lebih lama sahabatnya tersebut. Tapi, perlahan kemudian ia duduk di sisi ranjang, tempat Mita terbaring. Memberanikan diri mengulurkan tangan demi menggenggam tangan sang sahabat. "Apakah Tuhan sedang mempermainkan aku, Ran?""Shut! Enggak boleh kamu bicara begitu."Seketika air mata yang sejak tadi Mita tahan mengalir melewati kedua pipi. Memalingkan wajah ke arah lain, Ranti tahu bila perempuan itu sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua memang takdir yang Tuhan berikan untuknya. Ranti tak bicara. Ha
Suasana restoran tempat Mita dan Amar makan siang —bersama Ranti, tampak ramai dengan para pengunjung yang juga tengah makan siang seperti mereka. Setelah membicarakan urusan bisnis atau kerja sama, Amar sengaja mengajak kedua wanita itu untuk makan di salah satu restoran yang letaknya bersebelahan dengan kantornya berada. "Apakah Nina sudah kembali dari jalan-jalannya dengan Yola?" tanya Mita yang baru selesai menghabiskan dessert di tangannya. "Sore ini mereka sampai. Mungkin sedikit mengalami keterlambatan karena weekend.""Ehm, iya." Mita menyahut sembari mengangguk. Namun, ketika ia baru meletakkan sendok setelah suapan terakhir ke mulutnya, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Hal itu disadari oleh Amar yang duduk tepat di depannya, tetapi tidak dengan Ranti yang masih setia dengan es krim vanila di mulutnya. "Ada apa?" tanya Amar yang terdengar khawatir. Seketika Ranti menengok pada Mita yang duduk di sebelahnya. "Kenapa, Mit?" tanya Ranti yang juga melihat perubahan wajah san
Setelah malam di mana Danu kembali menyentuh Mita, lelaki itu nyatanya tidak lagi peduli dengan keberadaan istri pertamanya tersebut. Alih-alih memberikan perhatian seperti dulu, ia kembali mengacuhkan sang istri dengan kembali pada sosok Selena, sang istri kedua.Bagi Mita sendiri itu bukan sesuatu yang aneh. Bukan juga spesial, yang harus ia kenang. Sikap cuek yang Danu tunjukkan memang hakikatnya adalah sifat sebenarnya lelaki itu setelah berhasil menikahi sang mantan kekasih. Mita yang telah kembali ke kamarnya sempat dibuat kaget dengan kemunculan Selena setelah kedua mertuanya kembali pulang. Madunya itu menatapnya penuh amarah. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya, Mita sendiri tidak mengerti. Bahkan sebulan telah berlalu setelah peristiwa 'pemaksaan layanan' yang Danu lakukan terhadapnya, Selena masih menatapnya marah. Namun, Mita tampaknya tak ambil pusing. Kehamilan Selena yang masih muda, ia anggap reaksi dari sikap wanita itu kepadanya. Seperti hari itu, Mita yang sud
"Bukankah aku udah bilang supaya kamu lebih hati-hati? Kamu itu tuli atau memang bodoh sih!" seru Danu sembari mendorong Mita ke dinding kamar. Sesampainya di rumah, aksi bungkam yang terjadi antara Mita dan Danu, nyatanya berlanjut. Danu yang marah karena melihat sosok Amar di pesta pernikahan Ranti, serta merta melampiaskan kemarahannya setelah kedua orang tua tidak bersama mereka. Di kamar Danu tampak membabi buta. Entah apa yang terjadi dengannya, emosi yang ia tengah tunjukkan seolah di luar nalar. Mita sampai diam tak membalas setiap ucapan suaminya tersebut. Ia bahkan hanya bisa bengong ketika hendak bermain fisik padanya. "Sebenarnya kamu itu kenapa sih, Mas? Marah kamu itu berlebihan banget tahu enggak." Mita mencoba bicara pelan, menahan emosi yang sama. "Berlebihan kata kamu?" Danu membalas kebingungan Mita seraya menatap tajam. "Ya ... terus apa kalau bukan berlebihan namanya? Datang-datang ke pesta orang, boro-boro ngucapin selamat kaya tamu undangan lain, ini malah
Hall tempat diadakannya pesta pernikahan Ranti dan Yudha terlihat penuh oleh tamu undangan. Beberapa waktu lalu sahabat Mita itu telah resmi dipersunting oleh sang kekasih hati. Lelaki kaya sederhana yang bisa menaklukan sosok perempuan yang selama ini terkenal sulit didekati.Mita sudah sejak pagi berada di tempat tersebut. Bersama kedua mertuanya, ia hadir bahkan menemani selama proses acara berlangsung hingga sekarang para tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa restu pada pasangan pengantin baru. "Ibu sama ayah duduk aja di sini. Aku mau ke situ dulu sebentar." Mita pamit pada kedua mertuanya yang terlihat duduk santai di area khusus keluarga. Kedua orang itu mengangguk dan membiarkan Mita pergi. Tujuannya tak lain karena sang menantu ingin menghampiri beberapa kawan yang hadir di pesta pernikahan sahabatnya tersebut. "Hai!"Sapaan dan seruan mewarnai suasana hiruk pikuk hall. Mita yang senang karena bisa bertemu dengan banyak teman yang sudah lama jarang bertemu, tak s
Danu telah sukses membuat Mita menangis semalaman di hamparan sajadahnya. Mengadu ke Sang Pencipta setelah lelaki itu mengatainya dengan tuduhan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh laki-laki yang pernah bersama selama dua tahun lamanya. 'Apakah salahku Tuhan jika Engkau belum memberiku keturunan? Apakah tuduhan itu memang pantas aku terima meski medis sendiri sudah membuktikan kalau kondisi rahimku baik-baik saja?'Mita bertanya terus tanpa henti meski Tuhan tidak memberinya jawaban. Tuduhan mandul yang Danu lontarkan, sejatinya sudah membuat rasa sakit di dalam hatinya kembali hadir setelah beberapa waktu kemarin coba ia lupakan. 'Ya, aku memang menyukai bocah itu, tetapi bukan karena aku merindukan sosok anak di kehidupanku. Juga bukan karena aku memiliki niat lain dengan sosok laki-laki itu,' batu Mita kembali bicara. Malam itu ia sama sekali tidak peduli dengan tangisannya yang memenuhi ruang kamar. Setelah mengatakan hal yang menyakitkan hatinya, lelaki itu pergi untuk menem