Share

Menuju Pernikahan

Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali.

"Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.

Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya.

Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan.

"Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia.

Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong sudah istrinya siapkan. Semangkuk besar nasi goreng beserta kawan-kawannya, juga tersedia di atas meja. Bahkan secangkir kopi hitam —seperti biasa tersedia lebih dulu, sehingga ketika ia meminumnya sudah tidak lagi hawa panas menyerang lidah.

Lelaki itu pun segera mengambil nasi goreng ke dalam piring kosong di depannya. Ia ambil juga ayam goreng beserta telor mata sapi sebagai pelengkap sarapan pagi kali itu.

Beruntungnya Danu sebab memiliki istri yang pandai memasak dan melayaninya dengan baik selama ini, meskipun Mita sendiri memiliki kegiatan yang cukup melelahkan sebagai seorang pengusaha butik. Namun sayang, lelaki itu tidak pandai bersyukur dengan semua yang sudah dimiliki, hanya karena sebuah ego akan keinginannya memiliki keturunan, ditambah hadirnya sosok mantan kekasih yang nyatanya belum hilang sempurna dari ingatannya.

Seperti yang sudah terjadi sejak setahun terakhir, di mana Danu akan menikmati santapan yang istrinya hidangkan tanpa ada obrolan di antara keduanya. Begitu juga yang terjadi di pagi hari itu. Masakan lezat yang Danu makan, tak membuatnya menjadi sosok suami tahu diri dengan memberikan sebuah penghormatan seperti ucapan terima kasih atau pujian atas makanan enak yang terhidang, yang sudah istrinya siapkan.

"Aku berangkat jam sembilan, Mas." Mita memecah keheningan di antara mereka.

Danu hanya menengok sebentar, lalu kembali dengan nasi gorengnya.

"Apakah kamu tidak bertanya padaku, ke mana aku akan pergi?" Mita seperti sengaja mengetes Danu dengan mengajukan pertanyaan yang sebetulnya tidak penting.

Lelaki di depannya itu terlihat menyelesaikan sarapannya dan meminum kopi yang sudah agak mendingin. Lepas itu, ia pun memandang sang istri yang masih menunggunya bicara.

"Sudah sejak setahun lalu aku memberikan pilihan padamu mengenai kelangsungan rumah tangga kita. Namun, kamu tetap bertahan di pernikahan kita yang ketiga. Pada akhirnya, aku memberikan kebebasan padamu dalam melakukan kegiatan apapun di luar sana, termasuk dengan siapa saja kamu berhubungan, baik dengan lelaki ataupun perempuan. Aku tidak pernah melarang atau ikut campur. Jadi, sekali lagi aku tekankan untuk terkahir kali —sebelum nanti Selena tinggal bersama kita di rumah ini dan kita masih membicarakan hal enggak penting kaya gini, kamu mau ke mana dan pergi dengan siapa, sejauh kamu masih bisa menjaga nama baik dua keluarga besar kita, aku tidak peduli lagi. Aku menyerahkan semuanya kepadamu. Jalani hidupmu sesuai apa yang kamu mau, aku enggak akan ikut campur. Tapi, tentu saja aku juga mau kamu tidak mencampuri segala urusanku, termasuk urusan rumah tanggaku nanti dengan Selena."

Rasa sakit yang masih belum hilang di hati Mita, Danu tambahkan dengan kalimat menyakitkan yang sebenarnya sudah beberapa kali suaminya katakan.

Usai bicara panjang, Danu kemudian menenggak sisa kopi di cangkirnya dan memilih beranjak, bersiap untuk pergi.

Koper sudah ia gapai, lalu menarik pegangan besinya dan memanjangkan. Tak peduli dengan sikap sang istri yang kini menunduk pilu menahan rasa sakit yang sepertinya tak akan pernah berkesudahan.

"Enggak usah bersikap berlebihan. Kita ini sudah sama-sama dewasa, bisa berpikir mana yang baik dan buruk. Jika selepas aku bulan madu, lalu pikiran kamu berubah untuk berpisah, aku enggak akan pikir panjang lagi pasti langsung menyetujui."

Tidak menunggu respon yang Mita berikan, Danu segera pergi meninggalkan sang istri yang tertunduk dalam diam. Tak peduli meski air mata akan menetes membanjiri wajahnya.

Mita masih diam tidak meneruskan sarapannya. Meski suara mesin mobil Danu sudah tidak lagi terdengar, wanita itu masih bergeming di posisinya.

'Tak kusangka kamu sejahat ini, Mas!' serunya dengan suara tertahan sebab tangisan yang mulai menyertai.

***

Mita sudah bersiap dengan penampilannya. Hari itu ia memang berencana pergi dengan Ranti —sahabat sekaligus orang kepercayaan di butik miliknya, menikmati pemandangan laut di pesisir utara pulau. Sengaja menginap selama satu malam demi melupakan perasaan sakit hati ditinggal suami yang akan melakukan ijab kabul hari ini.

Selepas Danu pergi selesai sarapan tadi, Mita pun menyusul untuk segera meninggalkan rumah. Barang pribadi sudah ia siapkan setelah suaminya meninggalkan rumah.

Ia memang sengaja melakukannya agar lelaki itu tidak mengetahui rencananya untuk pergi berlibur. Toh, semalam dan tadi pagi pun suaminya itu sudah kembali menegaskan jika dirinya bebas untuk melakukan apapun sesuai keinginannya. Jadi, untuk apa Danu tahu mengenai rencananya untuk melupakan penat akibat kabar menyesakkan hati.

Mita sudah masuk ke dalam mobilnya ketika suara dering ponsel mengagetkannya. Nama Ranti terpampang di layar saat Mita hendak menerima panggilan tersebut.

"Hallo! Iya, Ran?"

[Kamu di mana?]

"Aku baru mau jalan nih! Kenapa?"

[Enggak, aku udah ada di butik, yah!]

"Cepet amat!"

[Kamu lupa, hari ini ada koleksi pakaian baru yang datang. Sebelum kita pergi, laporannya udah harus aku selesaikan dulu 'kan?]

"Oh iya! Sorry, sorry. Aku lupa. Ok deh, kamu lanjut dulu aja. Aku segera sampai!"

[Sip. Hati-hati, yah!]

"Ok. Bye!"

Mita meletakkan kembali ponsel ke dalam tas tangannya. Ia kemudian mulai melajukan kendaraannya keluar gerbang. Pamit pada seorang petugas penjaga rumah, lalu meluncur dengan kecepatan sedang, mengaspal di jalan raya.

Di rumah Danu memang hanya mempekerjakan seorang petugas keamanan untuk menjaga rumahnya. Tak ada pembantu lain yang tinggal di kediamannya. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang akan datang di setiap pagi hari setelah Mita pergi ke butik, untuk membersihkan rumah serta melakukan pekerjaan lain. Siangnya perempuan itu akan pulang kalau pekerjaannya sudah selesai.

Sedangkan tugas memasak diserahkan kepada Mita, istrinya. Masakan lezat yang mampu wanita itu hidangkan, membuat Danu memutuskan untuk tidak mengizinkan orang lain untuk memasak.

Mita menyadari jika rumah tangga mereka hampir saja berjalan lancar dan mulus seandainya Selena tidak kembali hadir. Sebab alasan anak sempat Danu bahas bukanlah satu masalah yang harus diperdebatkan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Namun, semuanya kini hanyalah omong kosong belaka. Perasaan cinta yang ternyata belum hilang sepenuhnya dari hati Danu terhadap wanita itu, kembali terisi ketika tanpa sengaja keduanya bertemu dan akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin cinta di belakang keluarga, tetapi tidak di depan Mita.

Mita yang syok ketika mendapat kabar Danu kembali merajut cinta, semakin sakit hati ketika alasan anak dijadikan masalah. Bahkan lelaki itu sampai menuduhnya mandul karena pernikahan mereka yang tak kunjung diberi keturunan.

Satu tahun mengetahui hubungan gelap suaminya dengan sang mantan kekasih, harus berakhir menyakitkan di mana keduanya memutuskan untuk menikah. Kini Mita tengah berusaha untuk melupakan itu semua. Mita bertekad untuk bertahan semampunya. Itulah mengapa ia mencoba untuk mencari ketenangan dengan pergi bersama Ranti sebelum masa-masa yang lebih sulit akan ia hadapi dan pastinya akan penuh drama dan air mata.

Di tengah pikiran Mita yang masih melanglang buana memikirkan nasib pernikahannya, tanpa sadar fokus menyetirnya terganggu. Pandangan matanya terlihat kacau ketika ia tidak mengetahui ada sosok anak kecil yang tiba-tiba menyebrang jalan di saat lampu hijau bagi pengendara masih menyala.

Mita pun segera menginjak rem kuat. Sedikit membanting setir ke kiri jalan justru membuat mobilnya malah menubruk pembatas jalan. Dahi Mita pun sontak membentur setir, menimbulkan suara klakson yang cukup panjang, dan mengakibatkan keriuhan lalu lintas di sekitarnya.

Seketika banyak orang yang mengerubungi mobilnya. Wanita itu pun masih sadar ketika ada sosok lelaki yang menghampiri dan mencoba membuka pintu mobil. Namun, beberapa detik kemudian semuanya menjadi gelap.

Mita pingsan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status