Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi.
"Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan. Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?" Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita sendiri. Danu tampak menghabiskan secangkir kopi hitam miliknya sebelum kemudian ia beranjak dari tempat duduk dan segera pergi meninggalkan ruangan itu tanpa kata. Mita hanya memandang tubuh sang suami dalam wajah pilu dan tatapan menyedihkan. 'Jika ini membuatmu bahagia, aku rela, Mas. Aku hanya berharap akan pertolongan Tuhan dalam setiap langkah dan keputusan yang aku ambil,' gumam Mita yang kemudian merapikan kembali piring dan cangkir sisa kegiatan sarapan mereka barusan. Seperti biasanya, Mita yang memiliki sebuah butik pakaian dan aksesoris perhiasan lainnya, juga harus pergi. Tidak biasa sebenarnya karena ketika Selena belum hadir kembali di dalam kehidupan Danu, setiap weekend atau setiap suaminya libur bekerja, Mita akan menemani lelaki itu bersantai di rumah. Namun, sejak setahun terakhir baik hari biasa ataupun hari libur, pasangan suami istri itu sudah jarang bersama. Hanya pagi dan malam hari saja waktu di mana akhirnya keduanya bisa bertemu. Sekarang setelah berita penting di mana Danu memutuskan untuk menikah dengan mantan kekasihnya itu, Mita sudah meyakinkan hatinya untuk bersiap dan tidak mudah terpancing emosi ketika pada akhirnya hanya sosok Selena-lah yang akan selalu ada menemani Danu di setiap waktu. *** Kondisi butik terlihat cukup ramai ketika Mita sampai. Ranti —sahabat sekaligus orang yang ia percaya untuk menjabat sebagai manajer butik, terlihat menyambutnya dengan senyum hangat di wajah. "Pagi, Bos!" sapa Ranti begitu melihat Mita masuk ke dalam butik lalu berjalan menuju ruangannya. "Jangan macam-macam deh, Ran. Udah berapa kali aku bilang, jangan iseng memanggilku dengan panggilan itu." Bukannya meminta maaf, Ranti malah terkekeh sembari menyusul langkah kaki Mita yang sudah masuk ke ruangan kerjanya. "Sensi banget sih, pagi-pagi gini. Ada apa? Suami kamu bikin kamu cemburu lagi?" tanya Ranti dalam mode becanda. Terlihat Mita mendelikkan sebelah matanya ketika menatap sang sahabat. "Apa? Apa pertanyaanku salah?" tanya Ranti cuek. "Tidak," jawab Mita kemudian seraya mengalihkan pandangannya dari tatapan santai sahabatnya itu. Ranti merasa ada yang salah dengan Mita pagi itu. Suasana hatinya mirip bila ia tengah ada masalah dan curhat panjang lebar padanya, dan topik masalahnya tidak jauh dari pengkhianatan Danu yang kembali menjalin cinta dengan mantan kekasihnya, Selena. Ranti mengambil posisi duduk di bangku depan Mita yang terhalang meja kaca persegi. Wanita itu menatap serius sang sahabat kali ini, tidak seperti tadi yang terlihat cuek dan tak peduli. "Ada apa? Apakah benar Danu bikin ulah lagi? Apalagi yang laki-laki itu perbuat sekarang?" Pertanyaan datang bertubi terlontar dari mulut Ranti pada akhirnya. Namun, bukan jawaban yang ia terima malah isak tangis yang telinganya tangkap saat mata kepalanya sendiri melihat tetesan air bening jatuh berderai di wajah sang sahabat secara tiba-tiba. "Ya Tuhan, Mita. Ada apa ini?" Seketika Ranti beranjak dan berjalan menuju Mita. Ranti memeluk tubuh sahabatnya itu dalam diam. Membiarkan isak tangis terus terdengar meski pada kenyataannya ia sama sekali tak suka jika wanita yang ada dalam pelukannya itu menangis karena masalah yang sama. Danu, lagi-lagi Danu. Beberapa saat kemudian Mita berhenti dalam tangisnya. Menyusut hidung yang basah oleh lelehan air yang keluar dan kedua mata yang berubah sembab setelah menumpahkan banyak air. "Are you okay?" tanya Ranti setelah melepas pelukannya dari Mita. Mita tampak mengangguk dengan lembar tisu di tangan bekas mengelap area hidung dan mata. "Ada apa?" Ranti bertanya sembari mengambil posisi semula. Mengatur napas dan nada suaranya, Mita terlihat menarik napas dan mengembuskannya pelan. "Mas Danu akan menikahi Selena besok." "Apa?" pekik Ranti tak percaya. Mita terlihat menunduk sambil masih sesekali menyusut hidung. "Apakah suamimu sudah gila!" seru Ranti masih syok. Sedikit mengangkat wajah dan menatap nanar ke depan, Mita hanya menggeleng lemah. "Aku tak tahu, Ran. Semalam Mas Danu menyampaikan hal itu padaku." "Lalu, bagaimana sikap kamu?" Mita beranjak dari kursi kerjanya. Melangkah pelan kemudian duduk di sofa yang ada di sudut ruangan. "Aku tidak tahu. Aku hanya bisa bertahan sementara ini." "Apakah aku tidak salah dengar? Mit, jangan ikutan gila dong!" Ranti bersikap heboh seraya beranjak dari posisinya dan bergerak cepat mendekati sang sahabat. "Aku tidak gila. Aku masih waras, Ran!" sahut Mita tak terima. "Tapi dengan bertahan menerima keputusan Mas Danu, apakah itu sebuah sikap waras namanya?" "Lantas, menurutmu aku harus bagaimana?" Mita menatap wajah sahabatnya serius. Ranti yang ditatap seperti itu oleh Mita mencoba berpikir cepat demi memberikan solusi bagi sahabatnya tersebut. "Cerai. Minta Mas Danu untuk menceraikan kamu." Solusi yang Ranti berikan memang sempat hadir di pikiran Mita. Tapi, ada beberapa hal yang membuat Mita tak mungkin mengambil tindakan itu. "Aku tidak bisa, Ran. Ada dua keluarga besar yang aku pertahankan di sini." "Keluarga itu tidak tahu jika setahun ini kamu sudah menderita, Mit!" protes Ranti kesal. "Karena mereka tidak tahu, Ran." "Bukan karena mereka tidak tahu, tetapi karena kamu tidak memberi tahu." Ranti menatap Mita tak mau kalah. Semua yang Mita katakan bisa Ranti patahkan dengan segala hal yang ia tahu. "Papa Mas Danu punya penyakit jantung, Ran. Aku tidak mungkin menceritakan kelakukan Mas Danu jika pada akhirnya membuat kami kehilangan sosok pria bijaksana itu. Bagaimana mukaku nanti di depan mama Mas Danu jika sampai kenyataan ini aku sampaikan pada mereka. Bukankah mereka akan malu nantinya. Selain itu, keluarga aku pun akan menanggung rasa yang sama jika alasan Mas Danu bertingkah demikian karena aku yang tak kunjung memberi keturunan. Orang di luar sana akan percaya kalau aku mandul sebab Mas Danu pasti akan membela semua tindakannya tersebut." "Ck, jangan bersikap seperti lilin, Mita. Rela terbakar demi menerangi kegelapan." "Aku sudah terbakar sejak setahun belakangan. Jadi, sudah kepalang tanggung jika aku akan habis karena kenyataan menyakitkan ini." Ranti tahu keputusan yang Mita ambil sudah wanita itu pikirkan baik-baik demi kehidupannya. Namun, meski demikian sebagai sahabat dirinya merasa jika hal itu bukanlah sesuatu yang baik. Dari segi kesehatan atau mental yang akan Mita tanggung pasti akan terasa menyakitkan seandainya hal itu berlangsung di depan mata. "Kalau begitu, sebagai sahabat apa sekiranya yang bisa aku bantu untukmu, Mit?" Hanya itu pertanyaan yang mampu Ranti ajukan di tengah sikap tegas Mita yang sepertinya tetap pada pendiriannya. Wanita cantik yang selalu berpenampilan sederhana dengan jilbab berwarna abu-abu menutupi kepalanya, memandang wajah sang sahabat dengan raut pilu. "Selalu dukung apapun keputusan aku. Bantu aku setiap aku membutuhkan dirimu, dan tak lupa doakan aku selalu di setiap salatmu supaya aku bisa menjalani ini semua dengan kekuatan hati yang selalu terisi." Kedua mata Mita juga Ranti tampak berkaca-kaca. Entah siapa yang mendahului, keduanya kini saling berpelukan dalam isak tangis yang terdengar menyayat hati. ***Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres
"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama
Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi