"Lusa aku akan menikahi Selena!"
Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?" "Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" "Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi." Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mita tahu sejak kembalinya mantan kekasih Danu dari menenangkan diri di luar kota —setelah diputuskan secara sepihak oleh sang suami karena harus menikah dengannya, sejak itulah badai yang memang sudah tercipta di awal pernikahan mereka, terjadi. "Sial sekali orang tuaku meminta aku menikah dengan perempuan mandul sepertimu!" Kalimat itulah yang pertama kali Danu ucapkan paska pertemuan pertamanya dengan Selena setelah hampir dua tahun tidak bertemu. Sakit, tentu saja. Tapi, Mita diam saja hanya bisa menangis dalam hati. Kini kalimat itu kembali Danu lontarkan diiringi kalimat pendukung lainnya, di mana ia akan kembali merajut tali kasihnya bersama sang mantan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan. "Kamu tidak bisa melakukan ini, Mas. Bagaimana dengan aku?" "Agama kita memperbolehkan lelaki memiliki istri lebih dari satu seandainya kamu tidak mau bercerai denganku!" "Tapi jika lelaki itu bisa bertindak adil, Mas. Lantas, apakah sikap itu akan kamu lakukan terhadapku nanti?" Danu melengos, enggan menatap apalagi menjawab. Sebenarnya bukan Mita tidak mau berpisah dari Danu, lelaki yang sudah tiga tahun hidup bersamanya itu. Tapi, berpisah dengannya bukankah artinya ia harus menghadapi dua keluarga besar yang pastinya akan menyerang dengan berbagai pertanyaan. Belum lagi beban mental yang harus Mita alami jika keputusan Danu didukung oleh keluarganya meski hal itu mungkin saja tidak terjadi. Selain itu, benih cinta yang awalnya tidak ada di hati Mita sekarang mulai muncul dan berkembang seiring kebersamaan keduanya. Kini ia dipaksa untuk hidup bersama dalam satu atap dengan wanita lainnya jika tidak ingin bercerai dari sang suami. Apakah itu sebuah keadilan namanya? hanya karena ia masih belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki keturunan? Sepertinya itu tak adil. "Aku tidak membutuhkan izin darimu untuk bisa menikah dengan Selena. Jadi, ucapanku kali ini hanya sekedar info yang aku ingin sampaikan padamu supaya kamu tidak terkejut nantinya jika aku membawa Selena ke rumah ini." Setelah bicara demikian, Danu pun beranjak ke kamarnya. Kamar utama yang sudah ia tempati bersama Mita sejak keduanya menikah. Nanti setelah ia menikah dengan Selena, mungkin tidak akan setiap hari ia bersama dengan suaminya itu. Pikiran dan bayangan akan kemesraan serta keintiman Danu bersama Selena sudah tergambar jelas di pelupuk mata Mita. Itu semua membuat hatinya menjerit sakit. Wanita itu pun seketika jatuh lunglai ke lantai ruang makan setelah sosok sang suami menghilang di balik tangga. Ia menutup wajahnya dan kembali menangis. 'Kenapa begini, Mas. Apakah ini semua kesalahanku bila Tuhan belum memberikan kita anak? Bukankah aku normal dan baik-baik saja,' gumam Mita dalam kesendiriannya. Ia sangat yakin jika dirinya baik-baik saja karena itu yang dokter katakan ketika ia memeriksakan kondisinya. Menurut Mita ini hanyalah masalah waktu di mana keduanya belum juga Tuhan berikan keturunan. Wanita itu menangis dalam duka tak berkesudahan. Ia tak menduga hari itu akan tiba. Mita berpikir jika suaminya hanya sedang jenuh saja. Tak berpikir sama sekali jika pertemuannya kembali dengan wanita cantik itu ternyata tidak mampu melupakan perasaan cinta yang berusaha Danu kubur selama dua tahun lamanya. 'Kebersamaan kita selama ini ternyata tidak cukup bagimu untuk melupakan wanita itu, Mas,' lirih Mita bersuara seiring isak tangis yang memenuhi ruang makan tersebut. Lama Mita dalam kesendiriannya, hingga kemudian ia memutuskan untuk menyusul suaminya ke kamar. Namun, wanita itu tidak langsung tertidur seperti sosok lelaki yang saat ini sudah terlelap dalam tidurnya di atas ranjang. Tidur yang begitu damai, seolah tak ada masalah apapun yang tengah terjadi di dalam biduk rumah tangganya. Mita berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia mencoba menghapus jejak air mata yang masih terlihat di area wajah terutama kedua matanya yang sembab dan memerah. Kemudian ia pun mengambil air wudhu. Satu-satunya tempat di mana masih ada harapan demi hati dan jiwanya, adalah tempat yang akan wanita itu tuju saat ini. Dengkuran halus terdengar masuk ke lubang telinga Mita. Pendengarannya masih sangat jelas saat suara kenyamanan akan aktifitas tidur yang suaminya alami, wanita itu dengar saat keluar dari kamar mandi. Mita mencoba tidak peduli. Ia memilih bersegera, menghamparkan sajadah di atas karpet berbulu tebal di ujung tempat tidur. Mukena sudah ia kenakan ketika akhirnya ia mulai dengan mengangkat kedua tangan di kedua sisi wajahnya. Salat dua rakaat pun ia lakukan demi menghilangkan resah dan kegelisahan hati dan jiwanya. Seiring ucapan yang terlontar lirih, air mata yang sudah ia coba hentikan tadi kembali terjatuh. Ia pun berdoa dan menangis dalam sujud panjangnya malam itu. "Ya Allah, jika ini memang takdir hidup yang Engkau berikan pada kehidupan rumah tangga hamba, berikanlah kesabaran hati dan ketenangan jiwa hamba dalam mengarunginya. Tapi, seandainya berpisah adalah jalan lain yang harus hamba jalani, tuntunlah hamba dan mudahkanlah." Doa itu adalah doa yang Mita pinta kepada Tuhan-nya sembari mengangkat kedua tangan ke atas. Menatap udara kosong yang seolah tengah berbicara pada Sang Maha Pemberi, Mita bicara bersamaan dengan lelehan air mata yang sudah membasahi mukenanya. *** Waktu subuh menjelang, Mita sudah terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Semalam ia habiskan dalam munajat kepada Sang Pencipta hingga tanpa sadar tertidur di atas hamparan sajadah. Wanita itu pun melepaskan mukena dan pergi menuju kamar mandi. Meski masih pagi sekali, kebiasaan mandi pagi ia lakukan seraya mengambil wudhu kembali. Tampak di cermin wastafel bayangan wajahnya sembab dengan mata membengkak sisa tangisan semalam. Mita pun mencoba untuk melupakan semua yang terjadi dan memilih untuk bersegera. Pukul lima lewat lima menit, Mita menjalankan kewajibannya sebagai hamba yang menyembah Tuhan-nya. Selesai dengan ritual ibadah yang ia jalani, sosok sang suami masih terlihat tidur di atas ranjang dengan kasurnya yang empuk. Mita pun beranjak dan mencoba untuk membangunkan suaminya itu. "Mas, bangun, Mas. Sudah pagi!" seru Mita membangunkan Danu. Wanita itu menggoyangkan tubuh sang suami supaya terbangun. Terlihat sedikit pergerakan terjadi ketika Mita membangunkan laki-laki itu dalam usahanya yang ketiga. "Bangun, Mas. Ini sudah pagi. Mumpung masih ada waktu untuk salat subuh." Mita melihat ekspresi wajah Danu yang tampak sekali kesal. "Aku masih ngantuk. Lagipula ini 'kan hari sabtu, kantor libur." Seolah tak peduli dengan apa yang istrinya ucapkan, Danu kembali menarik selimut dan berbalik. Lelaki itu pun melanjutkan tidurnya. Melihat itu Mita tak ingin memaksa supaya suaminya bangun dan melakukan ritual ibadah wajib sepertinya. Sudah cukup baginya mengingatkan. Tidak wajib bagi Mita sebagai seorang istri untuk memerintah. Akhirnya, ia pun beranjak keluar kamar dan pergi menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Rasa tertekan di dalam hatinya masih jelas terasa. Tapi, sebelum ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan atas doa yang dipanjatkannya, Mita memilih untuk menjalani semuanya dalam keikhlasan yang mungkin saja sulit untuk dirinya lakukan. ***Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
Ruangan agak sempit yang tertutup rapat, menjadi pemandangan Mita pertama kali ketika membuka mata. Sebuah bilik berukuran satu setengah kali dua setengah meter dengan gorden berwarna biru muda tampak menutupi bilik. Bau karbol bercampur aroma desinfektan, mendominasi penciumannya saat ini. Ketika ia mencoba untuk bergerak mengangkat kepala, rasa sakit mendera dan menimbulkan efek sengatan listrik di keningnya. "Aw!" pekik Mita, yang urung bergerak bangun. Sedetik kemudian sosok laki-laki tampan dengan pakaian jas melekat di badannya yang sempurna, muncul dari balik bilik ruangan. "Anda sudah siuman?" tanya lelaki itu dengan wajah nyata khawatir. "Anda siapa? Dan kenapa saya ada di sini?" tanya Mita sembari menatap wajah tampan itu sedikit canggung. Berada di dalam sebuah bilik kecil —yang Mita yakini adalah sebuah rumah sakit, bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal, pastinya membuat wanita itu bersikap serbasalah. Laki-laki itu pun melangkah maju dan mendekati Mita. Ekspres
"Terima kasih!" Amar baru selesai mendaftarkan nama Mita ke bagian informasi dan pendaftaran untuk selanjutnya mengikuti pemeriksaan yang dokter sudah sarankan. Lelaki itu, sebelum kembali menuju bilik ruangan Mita, menyempatkan diri untuk menemui putrinya yang tengah bersama sang adik di kantin rumah sakit. Gadis kecil berusia lima tahun yang beberapa waktu lalu telah membuatnya panik dan khawatir, tampak duduk terdiam sembari menikmati makanan di depannya yang sepertinya tidak membuatnya tertarik. "Kenapa tidak dihabiskan?"Amar sudah berdiri di belakang sang putri ketika kemudian sikap terkejut bocah itu perlihatkan. "Ayah!" Bocah dengan rambut dikuncir kuda itu seketika beranjak, lalu memeluk Amar. "Ayah udah selesai? Apa Nina sudah boleh ketemu sama tante tadi?"Di tengah nada suara bocah perempuan itu yang terdengar sedikit bergetar, Amar sigap berjongkok demi menyejajarkan tinggi badannya dengan sang putri. "Nina sudah siap ketemu tante tadi? Enggak takut?"Bocah bernama
Tidak sampai berjam-jam, Nina harus pamit dan pergi dari rumah sakit. Tempat yang memang tidak diperuntukan bagi anak kecil seusianya untuk berada di tempat tersebut, membuat bocah tersebut terpaksa menuruti perintah sang ayah. "Nina pamit dulu, Tante."Mita menatap tersenyum bocah perempuan itu. Keinginannya yang sudah lama ingin memiliki buah hati dengan pernikahannya bersama Danu, membuatnya secara cepat langsung jatuh hati pada sosok Nina. Baik dari sikap dan sifatnya yang menurut wanita itu baik dan menyenangkan. "Terima kasih, Nina, karena sudah menjenguk Tante. Pesan Tante, selalu ingat apa kata ayah, yah. Jangan marah-marah lagi supaya enggak bikin orang lain celaka."Mita bisa melihat Nina mengangguk di sisi ayahnya berdiri. Tampak ceria, lain dari sikap bocah itu datang pertama kali ke biliknya. "Iya, Tante. Nina akan denger apa kata ayah. Tapi Tante, boleh enggak kalau Nina jenguk Tante lagi nanti?" Bocah itu menatap Mita penuh harap, membuat Amar sedikit canggung mendap
Ranti memang sangat menyayangi Mita, terlebih saat ini sahabatnya itu sedang bersedih sebab rencana pernikahan yang akan suaminya langsungkan. Tapi, memarahi laki-laki lain sebab pelampiasan kekesalannya, bukanlah sebuah ide yang baik dan dibenarkan. "Iya, sorry, Ran."Berkali-kali Mita meminta maaf pada Ranti. "Bukan ke aku, yah, Mit, tapi ke Mas Amar.""Iya, iya. Nanti aku minta maaf sama dia kalau datang."Mita sungguh merasa bodoh sekarang. Bisa-bisanya ia marah pada laki-laki yang tulus dan ikhlas ingin membantu dan bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya. "Maaf sudah membuat kalian menunggu. Puji syukur, dokter tidak memaksa Mbak Mita untuk dirawat di sini. Tapi, dokter meminta Anda untuk rutin kontrol walau tidak ada keluhan apapun."Amar tiba-tiba muncul di saat Mita dan Ranti saling terdiam sebab suasana yang tidak mengenakan setelah protes yang Mita lakukan sebelumnya. "Eh, Mas Amar," ucap Mita ragu. Tapi, di sebelahnya Ranti kembali mencoleknya supaya bicara.
Amar Hadinata, ia adalah seorang pengusaha yang memiliki warisan perusahaan dari keluarganya. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu, sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk menjadi seorang eksekutif muda seperti yang sekarang ia jalani. Cita-citanya dahulu menjadi seorang Chef internasional. Meski keinginan orang tuanya menginginkan salah satu anak mereka meneruskan perusahaan, tetap membuat Amar tenang sebab ada sang kakak yang bisa diandalkan sehingga ia bisa menggapai cita-citanya tersebut.Namun, takdir Tuhan tidak selamanya sejalan dengan rencana manusia. Sang kakak yang waktu itu ikut mengantar kedua orang tua mereka menghadiri salah satu jamuan pesta salah seorang kolega, turut menjadi korban meninggal menyusul kedua orang tuanya yang dinyatakan pergi lebih dulu. Amar kehilangan tiga anggota keluarganya sekaligus. Membuat lelaki itu sempat limbung juga depresi, sehingga mau tak mau ia mengambil alih perusahaan yang waktu itu sama sekali belum menguasai ilmunya. Beruntungnya a
Apa yang dikatakan Amar nyatanya betul-betul lelaki itu lakukan. Sudah sebulan lebih, Mita tidak bertemu dengan pengusaha itu. Setelah panggilan beberapa waktu lalu di mana Amar mengatakan ingin menjaga nama baik Mita sebagai seorang istri yang tengah hamil dan memiliki suami, lelaki itu tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Begitu pun Nina. Bocah kecil itu seperti dibuat menjauh oleh ayahnya.Namun, tidak bagi Yola. Gadis yang tengah kuliah itu, sempat mampir datang ke butik selama beberapa kali. Selain karena urusan bisnis milik Amar yang rupanya diserahkan kepada sang adik, gadis itu juga seperti sengaja ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini disimpan. Seperti sore itu. Ranti yang sudah izin pulang duluan karena ada urusan dengan dijemput sang suami, Mita kedatangan Yola ketika hendak pamit pada para karyawannya. "Yola?""Sore, Mbak. Sudah mau pulang, yah?" tanya gadis itu tak enak hati. Setelah memeluk dan mencium pipi kanan kiri khas sapaan para wanita, Mita kemudian
Perkataan Amar semalam masih terbayang di pikiran Mita sampai ia tak nyenyak tidur. Bahkan, hingga pagi menjelang ketika ia memutuskan untuk pergi bekerja setelah dirasa kondisinya sudah lebih baik, kalimat Amar setelahnya membuat ia terus kepikiran. 'Tidak sepantasnya aku memiliki perasaan ini ke kamu. Perasaan yang hanya pantas dimiliki oleh insan yang bebas. Tidak seperti kamu yang masih terikat pernikahan dengan laki-laki lain. Bahkan, ada janin yang harus kamu pertahankan bersama laki-laki yang memang adalah ayahnya.'Amar telah jatuh cinta pada Mita. Begitu kesimpulan yang bisa perempuan itu ambil setelah mereka berbicara semalam. Kesedihan yang Amar rasakan mengenai berita kehamilan Mita, membuat lelaki itu merasa bersalah hingga memutuskan untuk menjauh dan menjaga jarak dari hubungan pertemanan yang selama ini terjalin. 'Kita tidak berbuat apapun selama ini, lantas kenapa Mas Amar berpikir untuk menjauh?''Karena perasaan aku yang tidak sepantasnya ada, Mita.'Mita jadi sed
Mita menatap Danu dengan tatapan nelangsa. Sungguh ingin ia berteriak dan mengatakan pada semua dunia betapa keras kepala suaminya itu. "Mas, bagaimana bisa kamu menuduhku berzina dengan laki-laki lain sedangkan kamu tahu tak mungkin aku melakukan hal tersebut.""Siapa yang tahu? Itu dulu.""Ya Tuhan, Mas. Apakah kedua mata hati kamu sudah tertutup sampai kamu tega menuduhku telah melakukan hal dosa itu."Danu benar-benar tak peduli dengan perkataan Mita. Baginya, kehamilan yang Mita alami sekarang bukan karena perbuatannya. "Apa yang harus aku katakan lagi supaya kamu mengerti dan mau menerima anak ini?" Mita bertanya pasrah. Namun, Danu seperti sudah tak semangat lagi untuk membahas perihal kabar kehamilan istri pertamanya tersebut. Tak lama ia beranjak bangun dari sofa ruang tamu dan berniat meninggalkan Mita sendirian dengan masalahnya. "Mas ...?" panggil Mita lemah. Danu menghentikan langkahnya, lalu menatap Mita dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Asal kamu tahu
Sosok perempuan itu terlihat lemah dan tak berdaya. Ia tampak melamun ketika sahabatnya mendekat. "Apa ada yang sakit?" tanya Ranti menatap Mita. Perempuan itu mengangguk lemah. "Pusing," jawabnya kemudian. "Apa dokter udah kasih obat?" tanya Ranti lagi sembari melihat ke sekeliling, tetapi tidak ditemukan apapun di dekatnya. "Belum. Dokter cuma kasih infus karena katanya aku terlalu lemas."Tak ada yang bersuara setelah ucapan Mita barusan. Ranti bahkan tak sanggup menatap lebih lama sahabatnya tersebut. Tapi, perlahan kemudian ia duduk di sisi ranjang, tempat Mita terbaring. Memberanikan diri mengulurkan tangan demi menggenggam tangan sang sahabat. "Apakah Tuhan sedang mempermainkan aku, Ran?""Shut! Enggak boleh kamu bicara begitu."Seketika air mata yang sejak tadi Mita tahan mengalir melewati kedua pipi. Memalingkan wajah ke arah lain, Ranti tahu bila perempuan itu sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua memang takdir yang Tuhan berikan untuknya. Ranti tak bicara. Ha
Suasana restoran tempat Mita dan Amar makan siang —bersama Ranti, tampak ramai dengan para pengunjung yang juga tengah makan siang seperti mereka. Setelah membicarakan urusan bisnis atau kerja sama, Amar sengaja mengajak kedua wanita itu untuk makan di salah satu restoran yang letaknya bersebelahan dengan kantornya berada. "Apakah Nina sudah kembali dari jalan-jalannya dengan Yola?" tanya Mita yang baru selesai menghabiskan dessert di tangannya. "Sore ini mereka sampai. Mungkin sedikit mengalami keterlambatan karena weekend.""Ehm, iya." Mita menyahut sembari mengangguk. Namun, ketika ia baru meletakkan sendok setelah suapan terakhir ke mulutnya, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Hal itu disadari oleh Amar yang duduk tepat di depannya, tetapi tidak dengan Ranti yang masih setia dengan es krim vanila di mulutnya. "Ada apa?" tanya Amar yang terdengar khawatir. Seketika Ranti menengok pada Mita yang duduk di sebelahnya. "Kenapa, Mit?" tanya Ranti yang juga melihat perubahan wajah san
Setelah malam di mana Danu kembali menyentuh Mita, lelaki itu nyatanya tidak lagi peduli dengan keberadaan istri pertamanya tersebut. Alih-alih memberikan perhatian seperti dulu, ia kembali mengacuhkan sang istri dengan kembali pada sosok Selena, sang istri kedua.Bagi Mita sendiri itu bukan sesuatu yang aneh. Bukan juga spesial, yang harus ia kenang. Sikap cuek yang Danu tunjukkan memang hakikatnya adalah sifat sebenarnya lelaki itu setelah berhasil menikahi sang mantan kekasih. Mita yang telah kembali ke kamarnya sempat dibuat kaget dengan kemunculan Selena setelah kedua mertuanya kembali pulang. Madunya itu menatapnya penuh amarah. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya, Mita sendiri tidak mengerti. Bahkan sebulan telah berlalu setelah peristiwa 'pemaksaan layanan' yang Danu lakukan terhadapnya, Selena masih menatapnya marah. Namun, Mita tampaknya tak ambil pusing. Kehamilan Selena yang masih muda, ia anggap reaksi dari sikap wanita itu kepadanya. Seperti hari itu, Mita yang sud
"Bukankah aku udah bilang supaya kamu lebih hati-hati? Kamu itu tuli atau memang bodoh sih!" seru Danu sembari mendorong Mita ke dinding kamar. Sesampainya di rumah, aksi bungkam yang terjadi antara Mita dan Danu, nyatanya berlanjut. Danu yang marah karena melihat sosok Amar di pesta pernikahan Ranti, serta merta melampiaskan kemarahannya setelah kedua orang tua tidak bersama mereka. Di kamar Danu tampak membabi buta. Entah apa yang terjadi dengannya, emosi yang ia tengah tunjukkan seolah di luar nalar. Mita sampai diam tak membalas setiap ucapan suaminya tersebut. Ia bahkan hanya bisa bengong ketika hendak bermain fisik padanya. "Sebenarnya kamu itu kenapa sih, Mas? Marah kamu itu berlebihan banget tahu enggak." Mita mencoba bicara pelan, menahan emosi yang sama. "Berlebihan kata kamu?" Danu membalas kebingungan Mita seraya menatap tajam. "Ya ... terus apa kalau bukan berlebihan namanya? Datang-datang ke pesta orang, boro-boro ngucapin selamat kaya tamu undangan lain, ini malah
Hall tempat diadakannya pesta pernikahan Ranti dan Yudha terlihat penuh oleh tamu undangan. Beberapa waktu lalu sahabat Mita itu telah resmi dipersunting oleh sang kekasih hati. Lelaki kaya sederhana yang bisa menaklukan sosok perempuan yang selama ini terkenal sulit didekati.Mita sudah sejak pagi berada di tempat tersebut. Bersama kedua mertuanya, ia hadir bahkan menemani selama proses acara berlangsung hingga sekarang para tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa restu pada pasangan pengantin baru. "Ibu sama ayah duduk aja di sini. Aku mau ke situ dulu sebentar." Mita pamit pada kedua mertuanya yang terlihat duduk santai di area khusus keluarga. Kedua orang itu mengangguk dan membiarkan Mita pergi. Tujuannya tak lain karena sang menantu ingin menghampiri beberapa kawan yang hadir di pesta pernikahan sahabatnya tersebut. "Hai!"Sapaan dan seruan mewarnai suasana hiruk pikuk hall. Mita yang senang karena bisa bertemu dengan banyak teman yang sudah lama jarang bertemu, tak s
Danu telah sukses membuat Mita menangis semalaman di hamparan sajadahnya. Mengadu ke Sang Pencipta setelah lelaki itu mengatainya dengan tuduhan yang tidak sepantasnya diucapkan oleh laki-laki yang pernah bersama selama dua tahun lamanya. 'Apakah salahku Tuhan jika Engkau belum memberiku keturunan? Apakah tuduhan itu memang pantas aku terima meski medis sendiri sudah membuktikan kalau kondisi rahimku baik-baik saja?'Mita bertanya terus tanpa henti meski Tuhan tidak memberinya jawaban. Tuduhan mandul yang Danu lontarkan, sejatinya sudah membuat rasa sakit di dalam hatinya kembali hadir setelah beberapa waktu kemarin coba ia lupakan. 'Ya, aku memang menyukai bocah itu, tetapi bukan karena aku merindukan sosok anak di kehidupanku. Juga bukan karena aku memiliki niat lain dengan sosok laki-laki itu,' batu Mita kembali bicara. Malam itu ia sama sekali tidak peduli dengan tangisannya yang memenuhi ruang kamar. Setelah mengatakan hal yang menyakitkan hatinya, lelaki itu pergi untuk menem