“Kamu kenapa ada di sini?”
Richard tampak kesal.
Namun bukannya takut, Hana justru tampak tersenyum. “Kamu sudah bangun?”
“Ck! Di mana Qiara?”
“Qiara?” Hana tampak bingung.
“Nanny-nya Alista.” Untuk kali ini Richard menyebutkan nama putrinya dengan lantang. Tak ada beban sama sekali. Ia mengedarkan pandangannya di penjuru ruangan.
“Di kamar anak kamu, Chard. Dia—“
“Mending kamu pergi!”
Hana menggelengkan kepala, ia lantas maju dan memeluk lengan Richard. Namun pria tinggi itu buru-buru menepisnya. “Aku—“
“Saya ada urusan. Tolong pergi, sebelum saya bertindak tegas sama kamu, Hana.” Richard menuding wajah Hana dengan tegas. Sungguh, ia benar-benar risi dengan gadis itu. “Jangan berdalih sama oma, saya enggak peduli. Sekarang kamu bisa pergi?”
Dengan wajah cemberut, Hana meraih tas tangannya, lalu pergi dari sana.
Seketika, hanya ada suara TV yang terdengar dengan keras.
Richard melirik Qiara sebelum menekan tombol power untuk mematikan TV.
“Kenapa kamu biarin dia di sini?” tanya Richard dengan tegas.
“Saya udah nyuruh mbaknya pergi, tapi dia….” Qiara menghentikan ocehannya karena Richard tengah menatapnya dengan datar, bulu kuduknya seketika berdiri.
Qiara menelan ludahnya perlahan.
Sungguh, ia benar-benar takut. Gadis itu menundukkan kepala. “Maaf.”
“Saya mau bicara sama kamu.” Suara Richard terdengar rendah.
Sejujurnya Qiara ingin pergi dari hadapan bosnya itu.
Lagi-lagi ini perkara kontrak. Ia takut dengan segala dendanya.
Terlebih mengenai perkara semalam. Tidak, Qiara tidak ingin dituduh sebagai penggoda yang memanfaatkan keadaan.
Qiara meremas ujung roknya. Bahkan keringat dingin mulai keluar.
“Apa yang saya lakukan sama kamu semalam?”
Ucapan Ricahrd membuat Qiara mengangkat wajahnya yang tertunduk. Sulit untuk dijelaskan. Matanya berembun, siap untuk menangis.
“Apa saya melakukan hal yang fatal sama kamu Qiara?”
Sorot mata Richard terlihat begitu tajam. Namun, terlihat ada rasa bersalah di sana.
Lidah Qiara terasa kelu. Gadis itu tak mampu berkata-kata lagi. Hanya air mata yang keluar, buru-buru ia menyekanya.
“Maafkan saya.”
Qiara tak menyangka, jika Richard mengatakan hal itu. Namun, ia justru semakin bingung.
Apa dengan meminta maaf semua akan kembali?
Tidak! Qiara sudah kehilangan hal paling berharga di hidupnya.
Melihat keterdiaman Qiara, Richard menghela napas panjang. “Saya akan bertanggung jawab!”
Qiara melebarkan matanya. “P-pak, anggap saja itu sebagai kecelakaan.” Pada akhirnya, kata-kata itu yang keluar.
Sungguh, Qiara tidak mau dianggap untuk memanfaatkan keadaan. Bukankah perbedaan mereka bagaikan bumi dan langit?
Richard mengangkat sebelah alisnya. “Bagaimana kalau kamu hamil? Bahkan saya tidak memakai pengaman’ kan? Jadi, saya akan menikahi kamu.”
“Saya—“ Ucapan Qiara terhenti.
Alista mendadak menangis dengan kencang!
Qiara memilih untuk pergi dan menenangkan bayi itu.
Menggendongnya dengan penuh kasih sayang.
Meski demikian, Qiara diam-diam pusing memikirkan semuanya. Menikah?
Bagaimana bisa? Richard saja terlihat dingin dengan Alista yang berasal dari rahim wanita yang pria itu cintai.
Apa lagi dengan anak Qiara kelak?
Lalu, bagaimana dengan Oma Hesty? Bagaimana Qiara akan menjelaskan semua ini?
Masih belum selesai masalah tadi siang, Richard kembali membuat Qiara tak tenang.Tak seperti biasanya, Richard makan di rumah!Hal ini membuat Qiara menghindar. Ia bahkan memilih untuk membersihkan dapur.“Saya padahal nyuruh kamu buat makan bareng.”Qiara masih enggan menoleh. Perempuan itu masih mencuci wajannya dan menjawab, “Maaf, Pak. Saya tidak lapar. Masih kenyang.”Richard menghabiskan sisa makanannya, lalu meletakkan sendoknya di atas piring. Bersamaan dengan Qiara yang selesai membersihkan dapur.“Bisa kita bicara sebentar?”Qiara masih diam, bahkan tak berani menatap wajah Richard yang terlihat tegas itu.“Tolong duduk.”Qiara menarik kursi yang berada di depan Richard. Ia duduk di sana dengan waswas.Diremasnya ujung kaosnya sendiri. Apa lagi ini?“Mengenai kejadian itu—““Saya putuskan untuk melupakan semuanya, Pak.”Entah keberanian dari mana, Qiara mengatakan hal itu. Ia sudah mempertimbangkannya dengan matang. Alasannya jelas mengenai restu Oma Hesty.“Tapi, bagaimana
“Oma, ada yang ingin Richard katakan.”Semalaman Richard berpikir. Alangkah sebaiknya ia mengatakan hal ini terlebih dahulu kepada Hesty, dari pada membuat Qiara malu setelah ini.“Tumben. Apa itu?” Hesty duduk bersila. Wanita tua itu meminum teh manisnya dengan elegan.Kedua kalinya ia meminta izin ini. Hanya saja, yang pertama Richard tampak terlihat senang dan wajahnya berseri-seri.Ini sebaliknya. Lingkar hitam di matanya bahkan terlihat sangat jelas. Menandakan pria itu kurang tidur dan terlihat stress.“Oma, Richard akan menikah lagi.”“Good! Ini yang oma mau dengar. Akhirnya kamu dan Hana akan menikah.” Hesty terlihat senang bukan main.Sementara Richard tampak melebarkan mata. “Bukan Hana!”Kening Hesty mengkerut. Bukankah selama ini cucunya tak terlihat dekat dengan wanita manapun?“Siapa gadis beruntung itu?”“Qiara, Oma.”“Apa?” Hesty melebarkan matanya karena terkejut. “Apa-apaan ini! Qiara baby sitternya Alista maksud kamu? Atau Qiara yang lain?”Richard menundukkan kepal
Sejak kembali dari rumah Hesty, Richard hanya diam. Ia masuk ke kamar dan terlihat lesu. Melewati Qiara yang sedang mengasuh putrinya.Qiara sama sekali tidak berani menegur majikannya itu, meski sejujurnya ia begitu sangat penasaran dengan jawaban Hesty.Namun, Qiara lebih memilih untuk mengurus Alista. Ia tak banyak berharap.“Kamu pinter sekali, sih. Sudah bangun enggak nangis. Mau mimik ya sayang? Bentar ya, Mbak siapin susunya. Kamu tiduran di stroller saja ya?”Qiara membiarkan bayi mungil itu mengemut ibu jarinya sendiri. Sambil membuatkan susu untuk Alista, Qiara berceloteh, bayi berusia empat bulan itu meresponnya dengan tawanya.“Pinter sekali, sih. Anak manis. Bikin gemes.” Qiara membawa Alista ke ruang tengah. Memberikan susu pada bayi itu, kali ini sambil memangkunya.Alista sering tertawa akhir-akhir ini. Qiara tidak pernah diam saat mengasuhnya.Saat Richard hendak membuat kopi untuk dirinya sendiri, ia memperhatikan Qiara yang tengah memangku Alista. Bahkan tak terliha
“Lantas?”Richard menarik napas dalam-dalam. Qiara benar-benar menguji kesabarannya saat ini.“Kita bisa bilang, kalau saya butuh istri. Anggap saja saya mencintai kamu. Tidakkah kamu bisa berpikir demikian?”Qiara membungkam mulutnya yang ternganga. Meski ini akan menjadi hal terberat baginya nanti, akan tetapi semua demi hutang ayahnya.Qiara pada akhirnya mengangguk, menyetujui.“Kapan Bapak akan menemui orang tua saya?”Sejenak Richard berpikir. Akhir-akhir ini kantornya sedang bermasalah. Besok ia harus menghadiri rapat penting. Namun, mengingat ini adalah keputusan besar dalam hidupnya, Richard tidak ingin menundanya. Toh dengan ini, ia lega jika Qiara menjadi ibu dari Alista, yang jelas mencintai putrinya dengan tulus.“Besok malam.”“Besok malam?”Richard mengangguk. “Ya. Jadi, persiapkan diri kamu. Saya kembali ke kamar.”Qiara memejamkan matanya. Ia bahkan meraup wajahnya dengan kasar. Sekilas ia teringat dengan mantan kekasihnya yang pergi tanpa jejak. Selama ini ia belum b
Semalaman Qiara tidak bisa tidur. Mengingat pertengkaran Richard dan juga Hana. Bahkan majikannya itu dengan kejam mengusir Hana dari rumah.“Oeey!”Tangis Alista menggugah lamunan Qiara. Perempuan cantik itu langsung bangkit dari ranjang, menengok Alista yang menangis di box bayinya.“Hai, sudah bangun, Princess?” Qiara menggendong Aista memakai gendongan.Membawa bayi berusia empat bulan itu ke dapur untuk membuat susu. Tentu karenabotol di kamar kotor, dan harus menggantinya dengan botol yang lain.Ajaibnya, Alista tak pernah lama menangis jika bersama Qiara. Bayi itu anteng dalam gendongan, seolah sabar menunggu susunya selesai dibuat.“Kamu haus ya? Sebentar ya, sayang.” Alista mencium pipi gembil Alista dengan penuh kasih sayang, lalu kembali dengan aktivitasnya membuat susu.“Qiara.”Qiara berjengit karena terkejut. Hampir saja ia terkena air panas.“Maaf mengejutkan kamu,” ucap Richard kemudian. Terlihat penyesalan dari wajahnya.“Bapak mau apa?” Qiara merutuki dirinya sendiri
Satu kata yang Qiara rasakan saat ini, lelah.Pada akhirnya ia mendengar penolakan dari Hesty. Meski Richard terus meyakinkan. Wanita tua itu tetap tidak suka terhadapnya. Namun, semua keputusan berada di tangan Richard. Pria itu tidak ingin dikendalikan.Hesty tidak bisa berbuat apapun. Meski seperti itu, Qiara tetap saja dihantui rasa takut.“Berikan saja Alista pada Oma.”Qiara menoleh pada Alista yang sedang anteng di pangkuannya. “Tapi, Pak. Kalau menangis?”“Sebelum ada kamu dia terbiasa sama Oma. Kita harus ke rumah papa kamu.”Qiara melirik takut-takut Hesty. Perempuan tua itu justru melengos, membuang muka. Seakan tak sudi melihatnya.“Berikan saja.”Qiara menimang Alista sebentar, ia mengusap pipi bayi itu. “Sayang, mbak pergi dulu ya. Nanti kita main lagi. Oke?”Ragu-ragu Qiara menghampiri Hesty, menyerahkan Alista pada perempuan itu.“OH, cicit oma yang paling cantik, kamu baik-baik saja, Nak?”Qiara bergeming. Ia masih memperhatikan Alista. Rasanya begitu sulit berpisah
Tidak hanya martabak manis. Sembako dan salah satu jam tangan mewah sebagai sogokan untuk Haris.Qiara sampai geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Richard.Pria tampan itu ternyata tidak pernah main-main dengan ucapannya.“Pak, apa ini tidak berlebihan?” tanya Qiara saat menoleh ke jok belakang, tempat barang-barang yang sudah Richard beli.“Itu hanya hal receh bagi saya.” Richard menjawabnya dengan santai.“Astaga, begitu receh katanya?” Qiara bergumam, lalu membungkam mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan.“Ini ke mana lagi?” tanya Richard membuat Qiara kembali tersadar.“Lurus saja, Pak. Depan belok kiri.”Richard mengangkat sebelah alisnya. Tidak percaya. “Gang sempit?”“Ya, meski sempit, mobil masuk, kok Pak. Hanya saja Bapak harus pelan-pelan. Bisa-bisa Bapak kena timpuk kalau sampai ngebut. Banyak anak-anak soalnya.”Richard menghela napas, tidak menimpali kejelasan Qiara.Baru kali ini Richard harus masuk ke gang-gang sempit seperti ini. Perumaha
Setelah mengobrol bersama Haris, Qiara dan Richard memutuskan untuk pulang. Tentu alasannya adalah Hesty. Wanita tua itu menghubungi cucu kesayangannya. Ini perkara Alista yang terus saja rewel.Seperti saat ini, Alista diam dalam gendongan Qiara.“Kamu pakai sihir apa, sampai cicit saya sampai menjadi penurut dan lengket gini sama kamu?” cibir Hesty dengan ekspresi tidak sukanya.Qiara tidak menjawab, karena tentu dia tahu, apapun jawabanya tetap salah di mata Hesty.“Oma, tolong,” mohon Richard. “Lagian, Oma sendiri, kan yang setuju awalnya, menjerat dia dengan kontrak? Jadi, kalau Alista nyaman sama dia, apanya yang salah? Toh Qiara akan jadi mamanya Alista juga kan?”Hesty mendengkus. Membuka lebar kipas tangannya dan mengipasi wajahnya sendiri.Nampaknya dinginnya AC masih belum cukup untuk menghilangkan rasa gerahnya. Ya, bagi Hesty Qiara tetap gadis kampung yang tidak memenuhi standard-nya. Andai ia bisa mencuci otak Richard.Entahlah, watak keras kepala mendiang sang suami men