Tidak hanya martabak manis. Sembako dan salah satu jam tangan mewah sebagai sogokan untuk Haris.Qiara sampai geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Richard.Pria tampan itu ternyata tidak pernah main-main dengan ucapannya.“Pak, apa ini tidak berlebihan?” tanya Qiara saat menoleh ke jok belakang, tempat barang-barang yang sudah Richard beli.“Itu hanya hal receh bagi saya.” Richard menjawabnya dengan santai.“Astaga, begitu receh katanya?” Qiara bergumam, lalu membungkam mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan.“Ini ke mana lagi?” tanya Richard membuat Qiara kembali tersadar.“Lurus saja, Pak. Depan belok kiri.”Richard mengangkat sebelah alisnya. Tidak percaya. “Gang sempit?”“Ya, meski sempit, mobil masuk, kok Pak. Hanya saja Bapak harus pelan-pelan. Bisa-bisa Bapak kena timpuk kalau sampai ngebut. Banyak anak-anak soalnya.”Richard menghela napas, tidak menimpali kejelasan Qiara.Baru kali ini Richard harus masuk ke gang-gang sempit seperti ini. Perumaha
Setelah mengobrol bersama Haris, Qiara dan Richard memutuskan untuk pulang. Tentu alasannya adalah Hesty. Wanita tua itu menghubungi cucu kesayangannya. Ini perkara Alista yang terus saja rewel.Seperti saat ini, Alista diam dalam gendongan Qiara.“Kamu pakai sihir apa, sampai cicit saya sampai menjadi penurut dan lengket gini sama kamu?” cibir Hesty dengan ekspresi tidak sukanya.Qiara tidak menjawab, karena tentu dia tahu, apapun jawabanya tetap salah di mata Hesty.“Oma, tolong,” mohon Richard. “Lagian, Oma sendiri, kan yang setuju awalnya, menjerat dia dengan kontrak? Jadi, kalau Alista nyaman sama dia, apanya yang salah? Toh Qiara akan jadi mamanya Alista juga kan?”Hesty mendengkus. Membuka lebar kipas tangannya dan mengipasi wajahnya sendiri.Nampaknya dinginnya AC masih belum cukup untuk menghilangkan rasa gerahnya. Ya, bagi Hesty Qiara tetap gadis kampung yang tidak memenuhi standard-nya. Andai ia bisa mencuci otak Richard.Entahlah, watak keras kepala mendiang sang suami men
Pertahanan Richard runtuh. Air matanya menetes, tangannya bergetar. Ia memejamkan matanya sejenak. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya, pria tampan bermata lebar itu meraih tubuh mungil Alista dan menggendongnya.“A-alista,” ucap Richard dengan suara bergetar.Tangis Alista mereda, merasakan sedikit goncangan dari gendongan Richard. Bayi berusia empt bulan lebih itu membuka mata.Ini kali pertama bayi mungil itu kontak mata dengan sang papa. Dulu, saat dia baru lahir, tentu belum bisa melihat dengan jelas.“Kamu haus?”Terlihat Alista mengerjab beberapa kali. Sorot mata bayi mungil itu seolah menghipnotis Richard.Perasaan apa ini? Hati Richard menghangat hanya karena tatapan Alista. Bahkan mulut Alista mengantup rapat, tak berniat untuk meminum susunya. Bayi dengan pipi tembam itu seolah nyaman berada dalam gendongan Richard.Alista tersenyum, menunjukkan lesung pipitnya di sebelah kiri. Sama seperti milik Richard. Hanya saja, bibir mungilnya seperti milik Yasmin.Richard meletak
Suara tawa Alista membangunkan tidur Qiara.Qiara langsung melongok ke dalam box bayi, benar saja Alista sedang memainkan jarinya. Kedua kakinya bergerak tiada henti.Terlebih saat melihat Qiara, suara tawanya semakin keras. Bayi itu menarik tangannya dari mulut, terlihat benang saliva yang keluar. Justru hal itu membuat Qiaar semakin gemas.Saat hendak mengambil tisu, Alista berbalik badan menjadi tengkurap. Qiara berlonjak girang, Alista bisa melakukannya.“Ya ampun Sayang, kamu sudah bisa tengkurap? Woaaah, senangnya aku!”Qiara sambil melompat-lompat, ia teriak sekerasnya.“Ada apa, Qiara?” Richar terlihat ngos-ngosan di ambang pintu. Seketika Qiara terdiam dan menutup mulutnya sendiri. “Ada apa?”“Em, Alista, Pak.”“Ada apa dengan Alista?”“Di-dia bisa tengkurap.” Qiara menunjuk Alista. Bahkan dengan elegannya bayi itu tengkurap sambil menghisap ibu jarinya. “Saya senang sekali melihat perkembangan Alista. Lihat, Pak, dia manis sekali bukan. Ya ampun, senangnya.”Richard tertegun
Keadaan apartemen sudah sangat bersih, hanya saja Qiara tidak pernah pergi ke lantai dua. Penthouse ini terdapat dua lantai. Di lantai atas terdapat satu kamar utama yang memiliki balkon yang luas dan cantik. Dengan sekali lihat, Qiara langsung jatuh cinta dengan tempatnya.Selama Qiara bekerja, ia tak prnah menaiki lantai dua. Tentu itu larangan bagi Richard. Sebulan dua kali tempat itu dibersihkan, selama tinggal di penthose itu, Qiara sama sekali belum pernah membersihkannya.“Sayang, apa ini kamar orang tuamu?” Qiara memperhatikan satu bingkai besar foto pernikahan Richard dengan Yasmin.Tadi, tempat itu baru dibersihkan. Vera yang mengawasi. Sekarang Qiara penasaran. Kata orang lantai paling atas di penthouse sangat indah.Dan ternyata itu benar.“Kenapa papamu tidak tinggal di kamar ini saja, Sayang?”Alista yang diajak bicara, ia hanya memainkan ibu jarinya. Kelakuannya itu membuat Qiara semakin gemas.Saat hendak keluar dari kamar mewah itu, Qiara tidak sengaja melihat sebuah
Richard menatap nanar jam tangan pemberiannya untuk Yasmin dua tahun lalu. Tepatnya saat hari Valentine.Tangan pria berparas tampan itu mengepal dengan kuat. Lantas, ia menoleh pada bingkai foto yang ia genggam.“Yas, gadis bodoh itu telah merusaknya. Apa yang harus aku lakukan? Aku juga telah melakukan hal fatal terhadapnya. Bukankah itu seimbang? Haruskah aku menikahinya, Yas?”Air mata Richard mengalir begitu saja. Sebelah tangannya meraih botol minuman keras.Rasa panas seakan membakar tenggorokan. Pria bermata lebar itu terengah-engah setelahnya. Matanya mulai memerah.Richard menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya mendadak pening.“Makasih sayang, ini cantik sekali. Aku mencintaimu, Chard.”Kenangan itu kembali memutar di kepala Richard. Lantas, ia memejamkan mata, seolah melihat wajah kecewa Yasmin.“Selamatkan anakku, Chard. Aku tidak akan sudi menemuimu dan melihatmu lagi jika kamu tidak menyelamatkannya.”“AAAA!” Richard berteriak sekerasnya.Nasib botol minuman itu menjadi
Seperti biasanya, bangun pagi Qiara membersihkan kamarnya sendiri. Menilik ke dalam box bayi, yang ternyata princess kecilnya msih terjaga.Usai mencepol rambutnya asal, perempuan berwajah tirus itu lantas menyambar botol susu kosong yang ada di dekat box bayi. Berniat akan mencucinya.Qiara juga akan merebus dua telur untuk sarapan Richard. Seperti biasanya. Sebisa mungkin ia akan bersikap normal seperti bisa, supaya suasana tidak menjadi kaku.“Selamat pagi, Nona,” sapa Vera dengan ramah.“Pagi, Ve. Kamu sudah di sini ternyata. Baru ya?” tanya Qiara dengan ramah, tentu sambil berjalan menuju dapur dan Vera mengikutinya.“Sejak subuh tadi, Nona. Tuan Richard berpesan sebelum pergi tadi, kalau Nona harus bersiap untuk fitting baju siang nanti.”Mata Qiara menyipit, ia menoleh pada Vera. “Pak Richard sudah pergi?”“Ya. Pagi-pagi tadi, Nona. Sarapan Anda sudah siap di meja ya. Sepertinya semalam Anda tidak makan ya?”Qiara yang masih terdiam menoleh pada meja. Di sana sudah ada sandwich
Qiara telah sampai pada sebuah butik besar. Di sana ia dan Vera yang sedang menggendong Alista disambut baik oleh pemilik dan beberapa karyawannya langsung.Tentu, seumur hidup, baru kali ini ia mendapatkan perlakuan seistimewa ini.“Selamat datang, Nona.” Sapa perempuan dengan usia berkisar 45 tahun dengan ramah.Qiara menganggukkan kepalanya, sopan.“Nona, Tuan Richard sudah menunggu di sana. Oh ya, perkenalkan, nama saya Helena, pemilik butik ini.”Qiara menerima jabatan tangan Helena. “Terima kasih, Mbak Helena.”Qiara mengikuti langkah Helena yang kemudian disusul oleh dua orang pegawai Helena dan juga Vera.Di dalam sebuah ruangan yang besar, terlihat Richard sedang melihat-lihat deretan tuxedos yang berjejer rapi.“Tuan Richard, Nona Qiara sudah datang,” ucap Helena membuat Richard menoleh ke arah mereka. Pria tinggi itu menghampiri Qiara. Mengulurkan tangannya.“Ayo!”Dengan tangan bergetar Qiara menerima uluran tangan Richard. Tentu ia tidak ingin membuat pria itu malu. Jantu
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.