Qiara telah sampai pada sebuah butik besar. Di sana ia dan Vera yang sedang menggendong Alista disambut baik oleh pemilik dan beberapa karyawannya langsung.Tentu, seumur hidup, baru kali ini ia mendapatkan perlakuan seistimewa ini.“Selamat datang, Nona.” Sapa perempuan dengan usia berkisar 45 tahun dengan ramah.Qiara menganggukkan kepalanya, sopan.“Nona, Tuan Richard sudah menunggu di sana. Oh ya, perkenalkan, nama saya Helena, pemilik butik ini.”Qiara menerima jabatan tangan Helena. “Terima kasih, Mbak Helena.”Qiara mengikuti langkah Helena yang kemudian disusul oleh dua orang pegawai Helena dan juga Vera.Di dalam sebuah ruangan yang besar, terlihat Richard sedang melihat-lihat deretan tuxedos yang berjejer rapi.“Tuan Richard, Nona Qiara sudah datang,” ucap Helena membuat Richard menoleh ke arah mereka. Pria tinggi itu menghampiri Qiara. Mengulurkan tangannya.“Ayo!”Dengan tangan bergetar Qiara menerima uluran tangan Richard. Tentu ia tidak ingin membuat pria itu malu. Jantu
“Pak,” panggil Qiara saat Richard hendak masuk ke kamar.Richard menoleh, wajahnya masih terlihat datar. “Apa Alista sudah tidur?”“Sudah. Saya ingin bicara. Apa Bapak berkenan?”Persetan dengan anggapan Richard mengenainya. Bagi Qiara, sebelum mendapatkan maaf dari Richard, ia belum akan menyerah.Pasalnya pria itu hanya bersikap lembut jika di hadapan orang saja, setelah mereka bedua lagi, Richard kembali bersikap dingin.“Soal apa?”“Soal pesta pernikahan.”Richard menghela napas. Sepertinya memang ia harus menghadapi ini. Toh saran Qiara juga penting, mengingat ini dalah hal pertama bagii gadis itu.“Ada usul apa? Huburan atau kamu mau mengundang seseorang?”Qiara menggelengkan kepala sementara Richard mengangkat sebelah alisnya.“Lantas?”“Pak, Bapak melakukan itu apa hanya untuk memberikan kesan yang baik untuk saya? Kalau iya, saya berterima kasih. Saya tidak pernah bermimpi melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali. Ma-maaf, saya tidak bermaksud menyindir atau apa, tapi—
Hari ini Qiara terlihat sangat cantik dengan gaunnya. Perempuan berusia muda itu tak nampak seperti orang kampung sama sekali, bahkan sudah mirip seperti putri di negeri dongeng. Semua mata tertuju padanya.Qiara terlihat gugup, tangannya yang melingkar di lengan sang ayah juga terasa bergetar.Haris dengan bangga menggandengnya menuju ke podium, tempat acara ijab kabul akan dimuai.“Jangan gugup,” bisik Haris dengan lembut pada Qiara.Di podium sana sudah ada Richard yang didampingi oleh Hesty. Penghulu, Vera yang menggendong Alista yang sedang menunggu Qiara.Perempuan cantik berkulit putih itu bahkan semakin gugup melihat Richard yang tampak memperhatikannya.“Ekhem. I-iya, Yah,” jawab Qiara dengan suara bergetar.Bagaimana ini, semua orang membicarakan penampilannya!Qiara tidak mendengarnya dengan jelas. Baru kali ini Qiara menjadi pusat perhatian. Meski tadi MUA yang mendandaninya berkomentar mengenai penampilannya yang luar biasa, hal itu tak menjamin komentar baik dari orang
Acara resepsi berjalan dengan meriah, meski hanya beberapa orang Richard undang. Jujur saja, Ridhard tidak ingin ada masalah dengan acara ini.Mengingat, Hesti mengundang keluarga Hana. Bisa jadi, perempuan itu akan mengacau.Dengan keadaan yang mabuk, Hana menghampiri Richard, sementara sang oma, masih sibuk mengibrol bersama Hesty dan teman yang lainnya,“Kenapa seleramu justru rendah sekali, Chard? Kupikir kamu akan menikahii gadis terhormat mana, enggak tahunya nany-nya Aksita.”Richard menggenggam tangan Qiara. Mencoba menguatkan perempuan itu, tak sepatutnya Qiara mendengar komentar pedas Hana.“Chard, akulah yang sangat pantas untukmu. Bukan cewek sialan ini? Apa baiknya dia? Wanita ini—““Tuan.”Miko terengah-engah saat menghampiri bosnya yang sedang menghadapi Hana. “Maaf, Tuan. Saya baru saja dari toilet.”Richard menganggukan kepala. Ia tidak ingin, masalah semakin ramai. “Urus dia.”“Mari, Nona Hana, Anda sudah kebanyakan minum.” Miko hendak memapahnya, akan tetapi tangan H
Melihat wajah damai di wajah Alista, membuat Qiara sangat senang. Baru saja Vera menidurkan anak sambunya itu di box bayi kamar pengantin Qiara dan Richard.“Kamu pulang saja, Ve. Sudah larut mala juga. Alista biar saya yang urus.Vera mengangguk, ia keluar dari kamar bosnya itu, tentu diantar oleh Qiara sampai pintu.“Nona, sekali lagi selamat atas pernikahannya,” pamit Vera dengan diakhiri oleh membungkukkan sedikit punggungnya.“Terima kasih, Ve. Kamu juga pasti lelah sekali seharian ini mengurus Alista. Tidak nyangka, Alista juga anteng di tangan kamu.”“Iya, Nona. Sama-sama. Kalau begitu saya pamit, permisi.”Qiara kembali menutup pintu penthosenya.Sekali lagi, Qiara menghela napas. Apa yang akan ia lakukan setelah ini? berada dalam satu kamar dengan Richard?Tidak, Qiara tidak pernah bisa membayangkan bagaimana canggungnya dia setelah ini. Ia pikir, ia akan kembali ke kamar lama meski sudah menikah, ia tidak menyangka, Richard memintanya untuk tinggal satu kamar.Qiara kembali
Saat Qiara membuka pintu, pertama-tama pusat perhatiannya adalah Alista. Ia ingin menengok pada bayi perempuannya.Ternyata Alista masih tidur dengan nyenyak. Qiara senang melihatnya.Namun, saat menoleh pada Richard, senyumnya memudar, bergantikan dengan rasa gugup, meski pria yang sudah menyandang status suami itu sudah tertidur dengan lelap.“Mungkin kelelahan,” gumam Qiara cukup keras. Ia meletakkan handuknya di keranjang, berjalan mendekati Richard, dan menutupi tubuh suaminya itu menggunakan selimut.Qiara mengambil bantal dan guling, lantas tidur di sofa, tak berani tidur di sebelah Richard.“Selamat tidur.” Qiara memejamkan mata, kali ini ia benar-benar sangat lelah. Ia hanya ingin beristirahat dengan cukup, setelah beberapa jam berdiri. Meski siang sempat istirahat, tetapi malam saat resepsi ia justru bertambah lelah.Richard terbangun dari tidurnya. Ia mengedarkan pandangannya, suasana kamar sudah terlihat remang-remang, hanya cahaya lampu meja yang masih menyala.“Kenapa di
Richard tidak menyangka, jika ia bisa melihat kesempatan ini. Melihat Alista meminum susunya dengan tergesa. Bayi itu bahkan selalu nyaman dalam pangkuan Qiara.Bahkan mata beningnya selalu menatap Qiara. Hati Richard bergetar.“Dia terlihat nyaman sama kamu.”Qiara mengulas senyuman, ia mengecup pipi gembil Alista. “Iya. Dia juga sangat imut.”Richard memalingkan wajahnya, terlalu menatap Alista, ia akan kembali teringat pada Yasmin. Richard tidak ingin itu terjadi.Saat melihat Alista kembali terlelap, Qiara menidurkan bayi itu ke dalam boxnya. Menepuk pelan paha Alista, supaya tidak terusik saat ia menarik tangannya menjauh.“Apa dia sudah tidur?” tanya Richard dengan suara pelan.Qiara mendekat, lalu duduk di sebelah suaminya itu.“Saya minta maaf sama kamu.”Qiara mengerutkan dahi saat mendengar ungkapan maaf dari Richard. Ini sangat tiba-tiba sekali.“Maaf kenapa?”“Harusnya kamu tidak akan selelah ini.”Qiara terdiam. Ia fokus menatap wajah tampan suaminya itu.“Apa kamu butuh
Qiara meraup wajahnya kasar, ah, baru kali ini kesiangan. Richard sudah tidak ada di ranjang.Apa karena percakapan semalam? Qiara seakan ingin menjedotkan kepalanya ke tembok saat ini juga.Qiara memilih turun dari atas ranjang, melihat putri sambungnya yang masih tertidur dengan lelap.“Pagi princess. Kamu masih bobok cantik ternyata. Mama mau buatin susu buat kamu deh ya, kalau bangun langsung tinggal mimik, kan?” Ingin rasanya Qiara mencubit gemas pipii gembil Alista, hanya saja takut jika bocah itu terbangun. “Papamu ke mana?”Qiara melenggang keluar kamar, berniat untuk ke dapur, membuatkan susu untuk Alista.“Selamat pagi, Nona,’’ sapa Vera dengan ramah.“Kamu sudah datang, Ve?” Qiara melebarkan senyuman, lantas berjalan menuju dapur.“Dari dua jam lalu, Nona. Emm, sepertinya saya harus mengubah panggilan saya menjadi nyonya.” Vera menggaruk belakang punggungnya yang tidak gatal.“Ah, jangan, Ve. Panggil Qiara saja gak apa-apa.”“Jangan! Saya bisa dipecat sama Pak Richard kalau