Saat Qiara membuka pintu, pertama-tama pusat perhatiannya adalah Alista. Ia ingin menengok pada bayi perempuannya.Ternyata Alista masih tidur dengan nyenyak. Qiara senang melihatnya.Namun, saat menoleh pada Richard, senyumnya memudar, bergantikan dengan rasa gugup, meski pria yang sudah menyandang status suami itu sudah tertidur dengan lelap.“Mungkin kelelahan,” gumam Qiara cukup keras. Ia meletakkan handuknya di keranjang, berjalan mendekati Richard, dan menutupi tubuh suaminya itu menggunakan selimut.Qiara mengambil bantal dan guling, lantas tidur di sofa, tak berani tidur di sebelah Richard.“Selamat tidur.” Qiara memejamkan mata, kali ini ia benar-benar sangat lelah. Ia hanya ingin beristirahat dengan cukup, setelah beberapa jam berdiri. Meski siang sempat istirahat, tetapi malam saat resepsi ia justru bertambah lelah.Richard terbangun dari tidurnya. Ia mengedarkan pandangannya, suasana kamar sudah terlihat remang-remang, hanya cahaya lampu meja yang masih menyala.“Kenapa di
Richard tidak menyangka, jika ia bisa melihat kesempatan ini. Melihat Alista meminum susunya dengan tergesa. Bayi itu bahkan selalu nyaman dalam pangkuan Qiara.Bahkan mata beningnya selalu menatap Qiara. Hati Richard bergetar.“Dia terlihat nyaman sama kamu.”Qiara mengulas senyuman, ia mengecup pipi gembil Alista. “Iya. Dia juga sangat imut.”Richard memalingkan wajahnya, terlalu menatap Alista, ia akan kembali teringat pada Yasmin. Richard tidak ingin itu terjadi.Saat melihat Alista kembali terlelap, Qiara menidurkan bayi itu ke dalam boxnya. Menepuk pelan paha Alista, supaya tidak terusik saat ia menarik tangannya menjauh.“Apa dia sudah tidur?” tanya Richard dengan suara pelan.Qiara mendekat, lalu duduk di sebelah suaminya itu.“Saya minta maaf sama kamu.”Qiara mengerutkan dahi saat mendengar ungkapan maaf dari Richard. Ini sangat tiba-tiba sekali.“Maaf kenapa?”“Harusnya kamu tidak akan selelah ini.”Qiara terdiam. Ia fokus menatap wajah tampan suaminya itu.“Apa kamu butuh
Qiara meraup wajahnya kasar, ah, baru kali ini kesiangan. Richard sudah tidak ada di ranjang.Apa karena percakapan semalam? Qiara seakan ingin menjedotkan kepalanya ke tembok saat ini juga.Qiara memilih turun dari atas ranjang, melihat putri sambungnya yang masih tertidur dengan lelap.“Pagi princess. Kamu masih bobok cantik ternyata. Mama mau buatin susu buat kamu deh ya, kalau bangun langsung tinggal mimik, kan?” Ingin rasanya Qiara mencubit gemas pipii gembil Alista, hanya saja takut jika bocah itu terbangun. “Papamu ke mana?”Qiara melenggang keluar kamar, berniat untuk ke dapur, membuatkan susu untuk Alista.“Selamat pagi, Nona,’’ sapa Vera dengan ramah.“Kamu sudah datang, Ve?” Qiara melebarkan senyuman, lantas berjalan menuju dapur.“Dari dua jam lalu, Nona. Emm, sepertinya saya harus mengubah panggilan saya menjadi nyonya.” Vera menggaruk belakang punggungnya yang tidak gatal.“Ah, jangan, Ve. Panggil Qiara saja gak apa-apa.”“Jangan! Saya bisa dipecat sama Pak Richard kalau
Melihat pakaian kerja yang sudah siap di atas ranjang, membuat senyum Richard mengembang. Pria tampan yang memiliki lesung pipi di sebelah kiri itu lantas mengedarkan pandangannya pada ruangan.“Di mana Qiara?” gumamnya lantas meraih pakaiannya yang sudah rapi disetrika, lantas memakainya sau persatu.Richard menatap pantulan dirinya di cermin. Menyisir rambut dengan rapi.“Mas, kamu sudah siap?” Qiara membuka pintu kamar, ia tersenyum manis pada Richard.“Sudah. Ini lagi mau masang dasi.”Qiara masuk ke kamar, menidurkan Alista di ranjang mereka. “Kamu tunggu di sini dulu ya, Sayang. Mama mau urus papa kamu dulu.”Richard tertegun. Ada rasa yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini ia tidak pernah mendengar Qiara menyebut dirinya sebagai mamanya Alista. Meski kenyataannya, Qiara memang ibu sambung Alista.“Mas, kamu kok malah bengong?”Richard menggeleng pelan, ia mencoba tersenyum,, dan saat ini Qiara sedang berjinjit untuk meraih dasinya.“Sebentar,” kata Qiara berbalik badan, lantas
“Mas.”Pada Akhirnya Qiara muncul juga. Ia tahu suaminya itu hendak bekerja. Wanita berbibir tipis itu menghampiri Richard yang sedang memangku Qiara. Suaminya itu tampak sedang menyeka jejak air matanya.Pria kalau menangis ternyata lucu juga.“Sayang, sini sama mama! Papamu mau kerja, Sayang,” ucap Qiara dengan berjongkok, ia bahkan memamerkan botol susunya pada Alista.Alista meringis, tampak imut karena matanya ikut menyipit.“Em, sayang. Sini. Atu tu tu, cantinya.” Qiara yang berhasi menggendong Alista, ia langsung menyerbu pipi gembil anak itu dengan kecupan. “Udah enggak nangis lagi?”Qiara menimang Alista, lalu memberikan botol susunya.“Mas, lihat! Dia minum dipegangi sendiri, Mas!” pekik Qiara yang hebih karena sangking senangnya.Ricahrd berdiri, ia juga tampak senang melihat Alista yang semakin pintar.“Kalau pulang, nanti mau minta apa?” tanya ruchard saat membungkukkan badannya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Alista.Hati Qiara menghangat mendengarnya.Mungkin denga
Ting NongQiara yang baru saja menggendong Alista, kembali menoleh ke pintu.“Apa itu papamu, Nak? Apa ada yang lupa?” Alista mengecup sekilas pipi Alista, lalu berjalan menuju pintu.Tanpa memeriksa lewat lubang intip, Qiara langsugg membuka pintu, senyum semringahnya memudar saat melihat sosok wanita seksi yag sedang bersedekap dada.“Lama amat!” omel Hana, menyelonong masuk.“Buatkan saya jus!”“Maaf, Nona, Anda ini datang-datang langsung minta dibuatin jus. Anda mau cari siapa?”Hana menoleh dengan sinis pada Qiara. “Jangan mentang-mentang Richard sudah nikahi kamu, kamu berani sama saya. Ingat, kamu dinikahi hanya supaya bisa jadi baby sitter gratis seumur hidup!”Qiara membutar bola mata, mencoba tidak peduli.“Dan satu lagi. Cinta Richard begitu besar dengan Yasmin. Kamu bakalan makan hati tahu gak?” Hana menyeringai, wanita yang menggerai rambutnya itu lantas duduk bersila di sofa. “Dan asal kamu tahu saja, Richard itu cinta mati sama Yasmin. Tahu kan kenapa dia bahkan enggan m
Apa yang dikatakan oleh Hana ternyata mempengaruhi pikiran Qiara. Sejak tadi ia hanya diam, saat sendirian.Melamun tidak jelas. Meski saat bersama Alista, ia akan tampak ceria seperti biasanya.“Bu Qiara,” panggil Vera dengan pelan.Namun, Qiara berjengit kaget karena tadi melamun, hal itu membuar Vera merasa bersalah.“Ada apa, Ve?” tanya Qiara mencoba tersenyum, meski raut sedih terlihat dengan jelas.“Apa Anda sakit?”Qiara menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja kok. Memangnya kenapa?”“Saya melihat sejak tadi Anda terus murung dan diam, Bu. Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan. Maaf, jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa bilang sama saya.”Qiara menimbang ucapan Vera. Ia butuh teman bicara, hanya saja ia tidak enak. Mengingat Vera adalah anak buah suaminya.“Kamu bekerja untuk siapa Ve?” Pada akhirnya pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Qiara.Hal itu membuat Vera mengerutkan dahi. Tentu karena bingung.“Maksudnya gimana, Bu? Saya bekerja untuk Pak Richard, untuk menjaga Anda
Hoam“Loh, Mas, kamu sudah pulang?” Qiara bangun begitu melihat suaminya sedang menemani Alista.Qiara mendelik saat melihat penampilannya. Dua kancing bahunya terbuka, ditambah dirinya yang sudah ada di ranjang.Apa yang terjadi baru saja?Qiara mendadakk pucat. Memikirkan yang tida-tidak dengan Richard.“Belum lama saya pulangnya. Lihat kamu tertidur di sofa dengan buku, lalu saya pindahin kamu ke ranjang supaya enakan tidurnya.”Qiara mendelik, lantas menelan ludahnya perlahan.Apa itu artinya Richard kembali menyentuhnya? Tetapi kenapa Qiara tidak merasakan apapun?Qiara menggelengkan kepalanya, membuang pikiran kotor di kepala.Terlebih, bukannya itu sah? Richard adalah suaminya, kan?“Kamu kenapa?” tanya Ricjard yang bingung melihat tingkah aneh Qiara yang sejak tadi geleng-geleng kepala.“En-enggak, kok. Aku lagi ngumpulin nyawa,” dusta Qiara sambil meringis.“Memangnya kamu punya nyawa berapa? Seperti kucing ssaja,” kekeh Richard menanggapi.Rona merah terlihat di kedua pipi Q
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.