“Ha? Ke mana?”Hanya senyuman sebagai jawaban yang Richard berikan. Hal itu membuat Qiara mengerucutkan bibirnya.Berondongan notifikasi terdengar terus berdenting. Qiara yang penasaran mulai melirik ponsel Richard yang tergeletak di atas meja. Bahkan suaminya itu tampak acuh tak acuh. Lebih memilih untuk menikmati masakannya.“Mas, ponsel kamu sejak tadi berisik banget. Kamu enggak cek?”“Gak. Nanti saja,” jawab Richard asal. Ia sedang terpesona dengan rendang. Meski sejujurnya ia penasaran dengan cumi bunting, namun ia tak bisa menyicipinya, mengingat ia memiliki alergi dengan makanan laut.“Woaaah, saya kenyang sekali.” Richard sampai geleng-geleng kepala, mengelus perutnya menggunakan tangan kiri.Melihat Richard puas dengan makanan yang ia masak, Qiara merasa senang dan bangga akan hasil kerja kerasnya.“Aku beres-beres dulu,” ucap Qiara kemudian.Qiara tidak mau merepotkan Vera. Hanya untuk mencuci piring, itu bukanlah hal yang sulit baginya. Tentu Richard sering mengeluh, mengi
Alista dan Vera berada di tempat bermain. Sementara itu Qiara tampak mengikuti suaminya masuk ke sebuah salah satu toko pakaian dengan nama brand terkenal.Qiara ternganga melihat deretan pakaian yang begitu cantik dan bagus.“Kamu bisa pilih apapun yang kamu mau,” bisik Richard dengan lembut.“M-mas ta-tapi.”Richard memegang dua bahu Qiara dan tatapan mereka bertemu. Mata teduh Richard mampu menenangkam Qiata.“Anggap saja kalau ini sebagai nafkah.”Qiara mengangguk pada akhirnya. Perempuan mana yang tidak suka kalau diajak berbelanja? Qiara juga senang, hanya saja ia memang tidak enak hati, mengingat ada Oma Hesty di rumah. Bisa jadi mertuanya itu semakin menjadi-jadi kepadanya.Richard duduk di sofa, sambil memeriksa laporan pekerjaan di kantor.Sementara itu Qiara sibuk memilih pakaian.“Astaga! Harganya gila!” Qiara melotot. Harga pakaiannya hampir ssja sebulan gajinya. “Duh pilih mana ya?”“Bisa dibantu, Nyonya?” tawar pramuniaga dengan ramah. Mengingat Qiara datang bersama Ric
Mata Richard hampir tak berkedip melihat penampilan Qiara. Mini dress dengan lengan di atas siku, dengan bahu terbuka. Tampak ramping di bagian perut dan sedikit mekar di bagian bawah. Richard menelan ludahnya perlahan. Begini saja sudah terlihat cantik, bagaimana jika sudah memakai make up?“Mas?”Lamunan Richard buyar seketika. Pria dengan suara berat itu berdeham demi untuk menetralisir kegugupannya.“Ya. Cocok.”Qiara mengembusakn napas, lega. Tentu sambil mengurut dada. Ia senang karena sudah merasa sangat lelah yang luar biasa.Richard bangkit dari duduknya. Melenggang mendekati Qiara. Senyumnya tampak menawan, membuat Qiara hampir gagal fokus.“Pas,” puji Richard membuat Qiara mengangguk karena grogi.“Ini.” Richard menyodorkan kartu hitam kepada kasir. “Semua barang belanjaannya, biar diambil sama orang-orang saya.”“Baik, Tuan,” jawab kasir dengan label Gisella, lantas mengembalikan kartu sakti milik Richard. Sementara bill-nya dimasukkan ke sslah satu tas karton tempat baj
Lampu temaram yang lembut menyapa. Lilin-lilin kecil berkerlap-kerlip di atas meja kayu. Hidangan yang menggugah selera tersaji di sana. Ruangan gampak kosong, hanya seorang pianis yang memainkan pianonya. Dengan lagu cinta yang mengalun. “M-mas ....” Bahkan Qiara sampai tak sanggup berkata-kata. Ini terlalu indah. Richard memegang kedua bahu Qiara. Dari raut wajahnya, tampak terllihat tulus. “Tempat yang cantik, untuk seseorang yang spesial.” Qiara terperanjat. Benarkah yang diucapkan oleh Richard? Rasanya Qiara ingin terbang saat ini juga. Dengan gerakan lembut Richard mengajak Qiara duduk di bangku. Deritannya cukup keras, mampu menyadarkan Qiara yang sedang terperangkap dalam imajinasi, membuatnya kembali pada kenyataan. Ini bukan mimpi, ini nyata! Semua yang hanya bisa ia tonton di film-film, terlihat nyata. “Ha-hanya ada kita?” Pertanyaan konyol itu kembali Qiara lontarkan, suaminya terkekeh sebentar. “Saya sudah menyewanya. Tak ada yang bisa mengganggu kit
Tubuh Qiara seakan bergetar, ia bahkan tak sanggup berkata apa-apa. Harusnya ia yang marah, akan tetapi tatapan Richard bak menghunusnya. Pria itu justru yang lebih mengdominasi.Qiara hanya diam, saat Richard menariknya masuk ke sebuah kamar hotel.Untuk apa Richard membawanya ke sini? Mungkinkah Richard tidak ingin kalau Oma Hesty tahu mengenai pertengkaran mereka?Qiara mengusap pergelangan tangannya yang merah karena cengkeraman tangan Richard.“Maafkan saya,” ucap Richard terlihat menyesal, sementara Qiara memalingkan wajahnya.Qiara tak sanggup lagi jika harus menatap wajah Richard. Ia takut akan goyah dan memaafkan. Ia hanya ingin menenangkan diri. Membuat suaminya itu lebih intropeksi diri.“Qiara, katakan. Apa kamu cemburu?”Qiara mengangkat wajahnya tanpa ekspresi. “Tidak.”Dada Richard bergemuruh. “Ya. Hanya Denis yang mampu membuatnya begitu.”Tatapan nyalang Qiara begitu menusuk. Wanita itu lntas menggelengkan kepalanya.“Playing victim,” lirih Qiara lantas masuk ke kama
Qiara pantang menceritakan masalah pribadinya. Terlebih ia sudah merasa, jika Denis bukanlah apa-apanya lagi.“Qiara, aku mau minta maaf soal waktu itu,” ucap Denis saat mereka masuk ke mobil milik Denis.Mobil ini begitu sangat asing. Dulu, Denis hanya mengajaknya memakai motor, tidak mobil seperti saat ini.“Sudahlah, Den. Semua sudah lewat juga. yang lalu biarlah berlalu.”Jelas Qiara merasa risi jika harus membahas mengenai masa lalu. Mengingat, mereka bukanlah seorang pasangan lagi.“Tapi, Ra. Kalau kamu tidak bahagia, aku tidak bisa membiarkannya,” ucap Denis dengan serius.Hati Qiara bergemuruh. Bukan terharu akan pernyataan Denis, namun ia merasa benar-benar tidak nyaman.“Aku turun saja kalau—““Ra, kali ini jangan! Ini sudah malam.” Denis menahan tangan Qiara, wanita itu menyentalkannya begitu saja.“Untuk kali ini, bisakah tidak membahas hal itu?” Qiara menatap Dens dengan tatapan memohon. Sementara mantan kekasihnya itu memberikan sebuah anggukan.Sampai di rumah kontrakan
Semalaman Qiara menangis. Kali ini ia tertidur pulas, bahkan sangat pulas, meringkuk di atas ranjang sempitnya yang hanya muat untuknya seorang.Tok tok tokKetukan pintu membuat Qiara berjengit, matanya terbuka perlahan, dengan mengoreksi pendengarannya.Sekali lagi ketukan pintu kembali ia dengar. Qiara mengucek mata dan beringsut bangun.“Ya!”Dengan terpaksa, Qiara menggeret kaki. Sekarang ini ia mengenakan kaos oblong kebesaran dengan celana training. Rambutnya sangat acak-acakan dengan mata bengkak karena semalaman menangis.KlekQiara masih mengucek matanya dan bertanya, “ada apa, Yah?”“Kamu tidur di sini?”Qiara membuka lebar matanya. Terkejut melihat sosok Richard yang sedang menggendong Alista.“Mama!” seru Alista yang kemudian menangis melihat Qiara. Tangannya terulur, tanda meminta untuk digendong.Richard tersenyum miris melihat penampilan Qiara.“Sayang, kamu ….” Qiara mengambil alih gendongan Alista. Menghujani ciuman pada wajah bocah berusia lima bulan lebih itu. “Mam
Sejak tadi Qiara diam. Waktunya untuk mengajak main Alista, meski hanya menggunakan boneka.Ia bahkan enggan berbicara dengan pria yang duduk di sebelahnya itu.Vera merasakan ketenggang di dalam mobil. Memilih untuk diam, dari pada menambah masalah.“Maafkan saya,” ucap Richard pada akhirnya.Qiara tak menggubris. Ia memilih untuk mengusap kepala Alista dengan gerakan perlahan, hingga bocah berusia lima bulan lebih itu tampak memejamkan mata. Tertidur dalam dekapannya.Pun dengan Qiara yang mulai memejamkan mata. Tak ingin nmendengar apapun lagi, sementara Richard bergegrak resah.Sampai di penthouse, Qiara tampak ceria. Ia tidak mau menunjukkan kesedihannya. Ia yakin, Oma Hesty masih belum kembali.Meski dalam hatinya ia begitu sangat gugup.“Baru dari mana kamu? Pakai pakaian sepertii itu keluar rumah, tidak mencerminkan sisi wibawa sedikitpun. Ingat ya, sekarang kamu ini jadi bagian dari keluarga ini, jangan mempermalukan—““Oma,” potong Richard memperingati, meski tidak kasar, t