Mendengar suara berisik di ruang makan, Oma Hesty langsung bertandang ke sana. Wanita tua itu tampak terkejut saat melihat sosok cucunya di rumah.“Richard? Tumben jam segini sudah pulang?”Richard menoleh dengan mulut penuh akan makanan. Ia menganggukkan kepala. “Lapar.”“Sejak kapan kamu makan siang di rumah? Jam segini lagi.” Oma Hesty melongok pada isi piring Qiara dan Richard. “Sejak kapan kamu makan makanan tidak sehat seperti itu? Berminyak pula.”Qiara diam. Ia merasa bersalah karena telah mempengaruhi suaminya untuk makan makanan berlemak. Menurutnya, rendang daging dan sayur berkuah santan serta sambal hijau adalah makanan terenak. Namun, bagi Oma Hesty, justru sebaliknya.“Enak, Oma! Oma coba cicipi,” ajak Richard dengan menunjuk isi piringnya.“Gak! Tadi oma sudah makan salad sayur dan ayam hainan, order dari resto langganan oma.” Oma Hesty melengos, tangannya bergerak mengipasi wajahnya yang terlihat angkuh itu.“Oma, padahal makanan Nusantara itu enak loh! Sekali-kali c
“Ha? Ke mana?”Hanya senyuman sebagai jawaban yang Richard berikan. Hal itu membuat Qiara mengerucutkan bibirnya.Berondongan notifikasi terdengar terus berdenting. Qiara yang penasaran mulai melirik ponsel Richard yang tergeletak di atas meja. Bahkan suaminya itu tampak acuh tak acuh. Lebih memilih untuk menikmati masakannya.“Mas, ponsel kamu sejak tadi berisik banget. Kamu enggak cek?”“Gak. Nanti saja,” jawab Richard asal. Ia sedang terpesona dengan rendang. Meski sejujurnya ia penasaran dengan cumi bunting, namun ia tak bisa menyicipinya, mengingat ia memiliki alergi dengan makanan laut.“Woaaah, saya kenyang sekali.” Richard sampai geleng-geleng kepala, mengelus perutnya menggunakan tangan kiri.Melihat Richard puas dengan makanan yang ia masak, Qiara merasa senang dan bangga akan hasil kerja kerasnya.“Aku beres-beres dulu,” ucap Qiara kemudian.Qiara tidak mau merepotkan Vera. Hanya untuk mencuci piring, itu bukanlah hal yang sulit baginya. Tentu Richard sering mengeluh, mengi
Alista dan Vera berada di tempat bermain. Sementara itu Qiara tampak mengikuti suaminya masuk ke sebuah salah satu toko pakaian dengan nama brand terkenal.Qiara ternganga melihat deretan pakaian yang begitu cantik dan bagus.“Kamu bisa pilih apapun yang kamu mau,” bisik Richard dengan lembut.“M-mas ta-tapi.”Richard memegang dua bahu Qiara dan tatapan mereka bertemu. Mata teduh Richard mampu menenangkam Qiata.“Anggap saja kalau ini sebagai nafkah.”Qiara mengangguk pada akhirnya. Perempuan mana yang tidak suka kalau diajak berbelanja? Qiara juga senang, hanya saja ia memang tidak enak hati, mengingat ada Oma Hesty di rumah. Bisa jadi mertuanya itu semakin menjadi-jadi kepadanya.Richard duduk di sofa, sambil memeriksa laporan pekerjaan di kantor.Sementara itu Qiara sibuk memilih pakaian.“Astaga! Harganya gila!” Qiara melotot. Harga pakaiannya hampir ssja sebulan gajinya. “Duh pilih mana ya?”“Bisa dibantu, Nyonya?” tawar pramuniaga dengan ramah. Mengingat Qiara datang bersama Ric
Mata Richard hampir tak berkedip melihat penampilan Qiara. Mini dress dengan lengan di atas siku, dengan bahu terbuka. Tampak ramping di bagian perut dan sedikit mekar di bagian bawah. Richard menelan ludahnya perlahan. Begini saja sudah terlihat cantik, bagaimana jika sudah memakai make up?“Mas?”Lamunan Richard buyar seketika. Pria dengan suara berat itu berdeham demi untuk menetralisir kegugupannya.“Ya. Cocok.”Qiara mengembusakn napas, lega. Tentu sambil mengurut dada. Ia senang karena sudah merasa sangat lelah yang luar biasa.Richard bangkit dari duduknya. Melenggang mendekati Qiara. Senyumnya tampak menawan, membuat Qiara hampir gagal fokus.“Pas,” puji Richard membuat Qiara mengangguk karena grogi.“Ini.” Richard menyodorkan kartu hitam kepada kasir. “Semua barang belanjaannya, biar diambil sama orang-orang saya.”“Baik, Tuan,” jawab kasir dengan label Gisella, lantas mengembalikan kartu sakti milik Richard. Sementara bill-nya dimasukkan ke sslah satu tas karton tempat baj
Lampu temaram yang lembut menyapa. Lilin-lilin kecil berkerlap-kerlip di atas meja kayu. Hidangan yang menggugah selera tersaji di sana. Ruangan gampak kosong, hanya seorang pianis yang memainkan pianonya. Dengan lagu cinta yang mengalun. “M-mas ....” Bahkan Qiara sampai tak sanggup berkata-kata. Ini terlalu indah. Richard memegang kedua bahu Qiara. Dari raut wajahnya, tampak terllihat tulus. “Tempat yang cantik, untuk seseorang yang spesial.” Qiara terperanjat. Benarkah yang diucapkan oleh Richard? Rasanya Qiara ingin terbang saat ini juga. Dengan gerakan lembut Richard mengajak Qiara duduk di bangku. Deritannya cukup keras, mampu menyadarkan Qiara yang sedang terperangkap dalam imajinasi, membuatnya kembali pada kenyataan. Ini bukan mimpi, ini nyata! Semua yang hanya bisa ia tonton di film-film, terlihat nyata. “Ha-hanya ada kita?” Pertanyaan konyol itu kembali Qiara lontarkan, suaminya terkekeh sebentar. “Saya sudah menyewanya. Tak ada yang bisa mengganggu kit
Tubuh Qiara seakan bergetar, ia bahkan tak sanggup berkata apa-apa. Harusnya ia yang marah, akan tetapi tatapan Richard bak menghunusnya. Pria itu justru yang lebih mengdominasi.Qiara hanya diam, saat Richard menariknya masuk ke sebuah kamar hotel.Untuk apa Richard membawanya ke sini? Mungkinkah Richard tidak ingin kalau Oma Hesty tahu mengenai pertengkaran mereka?Qiara mengusap pergelangan tangannya yang merah karena cengkeraman tangan Richard.“Maafkan saya,” ucap Richard terlihat menyesal, sementara Qiara memalingkan wajahnya.Qiara tak sanggup lagi jika harus menatap wajah Richard. Ia takut akan goyah dan memaafkan. Ia hanya ingin menenangkan diri. Membuat suaminya itu lebih intropeksi diri.“Qiara, katakan. Apa kamu cemburu?”Qiara mengangkat wajahnya tanpa ekspresi. “Tidak.”Dada Richard bergemuruh. “Ya. Hanya Denis yang mampu membuatnya begitu.”Tatapan nyalang Qiara begitu menusuk. Wanita itu lntas menggelengkan kepalanya.“Playing victim,” lirih Qiara lantas masuk ke kama
Qiara pantang menceritakan masalah pribadinya. Terlebih ia sudah merasa, jika Denis bukanlah apa-apanya lagi.“Qiara, aku mau minta maaf soal waktu itu,” ucap Denis saat mereka masuk ke mobil milik Denis.Mobil ini begitu sangat asing. Dulu, Denis hanya mengajaknya memakai motor, tidak mobil seperti saat ini.“Sudahlah, Den. Semua sudah lewat juga. yang lalu biarlah berlalu.”Jelas Qiara merasa risi jika harus membahas mengenai masa lalu. Mengingat, mereka bukanlah seorang pasangan lagi.“Tapi, Ra. Kalau kamu tidak bahagia, aku tidak bisa membiarkannya,” ucap Denis dengan serius.Hati Qiara bergemuruh. Bukan terharu akan pernyataan Denis, namun ia merasa benar-benar tidak nyaman.“Aku turun saja kalau—““Ra, kali ini jangan! Ini sudah malam.” Denis menahan tangan Qiara, wanita itu menyentalkannya begitu saja.“Untuk kali ini, bisakah tidak membahas hal itu?” Qiara menatap Dens dengan tatapan memohon. Sementara mantan kekasihnya itu memberikan sebuah anggukan.Sampai di rumah kontrakan
Semalaman Qiara menangis. Kali ini ia tertidur pulas, bahkan sangat pulas, meringkuk di atas ranjang sempitnya yang hanya muat untuknya seorang.Tok tok tokKetukan pintu membuat Qiara berjengit, matanya terbuka perlahan, dengan mengoreksi pendengarannya.Sekali lagi ketukan pintu kembali ia dengar. Qiara mengucek mata dan beringsut bangun.“Ya!”Dengan terpaksa, Qiara menggeret kaki. Sekarang ini ia mengenakan kaos oblong kebesaran dengan celana training. Rambutnya sangat acak-acakan dengan mata bengkak karena semalaman menangis.KlekQiara masih mengucek matanya dan bertanya, “ada apa, Yah?”“Kamu tidur di sini?”Qiara membuka lebar matanya. Terkejut melihat sosok Richard yang sedang menggendong Alista.“Mama!” seru Alista yang kemudian menangis melihat Qiara. Tangannya terulur, tanda meminta untuk digendong.Richard tersenyum miris melihat penampilan Qiara.“Sayang, kamu ….” Qiara mengambil alih gendongan Alista. Menghujani ciuman pada wajah bocah berusia lima bulan lebih itu. “Mam
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.