Lampu temaram yang lembut menyapa. Lilin-lilin kecil berkerlap-kerlip di atas meja kayu. Hidangan yang menggugah selera tersaji di sana. Ruangan gampak kosong, hanya seorang pianis yang memainkan pianonya. Dengan lagu cinta yang mengalun. “M-mas ....” Bahkan Qiara sampai tak sanggup berkata-kata. Ini terlalu indah. Richard memegang kedua bahu Qiara. Dari raut wajahnya, tampak terllihat tulus. “Tempat yang cantik, untuk seseorang yang spesial.” Qiara terperanjat. Benarkah yang diucapkan oleh Richard? Rasanya Qiara ingin terbang saat ini juga. Dengan gerakan lembut Richard mengajak Qiara duduk di bangku. Deritannya cukup keras, mampu menyadarkan Qiara yang sedang terperangkap dalam imajinasi, membuatnya kembali pada kenyataan. Ini bukan mimpi, ini nyata! Semua yang hanya bisa ia tonton di film-film, terlihat nyata. “Ha-hanya ada kita?” Pertanyaan konyol itu kembali Qiara lontarkan, suaminya terkekeh sebentar. “Saya sudah menyewanya. Tak ada yang bisa mengganggu kit
Tubuh Qiara seakan bergetar, ia bahkan tak sanggup berkata apa-apa. Harusnya ia yang marah, akan tetapi tatapan Richard bak menghunusnya. Pria itu justru yang lebih mengdominasi.Qiara hanya diam, saat Richard menariknya masuk ke sebuah kamar hotel.Untuk apa Richard membawanya ke sini? Mungkinkah Richard tidak ingin kalau Oma Hesty tahu mengenai pertengkaran mereka?Qiara mengusap pergelangan tangannya yang merah karena cengkeraman tangan Richard.“Maafkan saya,” ucap Richard terlihat menyesal, sementara Qiara memalingkan wajahnya.Qiara tak sanggup lagi jika harus menatap wajah Richard. Ia takut akan goyah dan memaafkan. Ia hanya ingin menenangkan diri. Membuat suaminya itu lebih intropeksi diri.“Qiara, katakan. Apa kamu cemburu?”Qiara mengangkat wajahnya tanpa ekspresi. “Tidak.”Dada Richard bergemuruh. “Ya. Hanya Denis yang mampu membuatnya begitu.”Tatapan nyalang Qiara begitu menusuk. Wanita itu lntas menggelengkan kepalanya.“Playing victim,” lirih Qiara lantas masuk ke kama
Qiara pantang menceritakan masalah pribadinya. Terlebih ia sudah merasa, jika Denis bukanlah apa-apanya lagi.“Qiara, aku mau minta maaf soal waktu itu,” ucap Denis saat mereka masuk ke mobil milik Denis.Mobil ini begitu sangat asing. Dulu, Denis hanya mengajaknya memakai motor, tidak mobil seperti saat ini.“Sudahlah, Den. Semua sudah lewat juga. yang lalu biarlah berlalu.”Jelas Qiara merasa risi jika harus membahas mengenai masa lalu. Mengingat, mereka bukanlah seorang pasangan lagi.“Tapi, Ra. Kalau kamu tidak bahagia, aku tidak bisa membiarkannya,” ucap Denis dengan serius.Hati Qiara bergemuruh. Bukan terharu akan pernyataan Denis, namun ia merasa benar-benar tidak nyaman.“Aku turun saja kalau—““Ra, kali ini jangan! Ini sudah malam.” Denis menahan tangan Qiara, wanita itu menyentalkannya begitu saja.“Untuk kali ini, bisakah tidak membahas hal itu?” Qiara menatap Dens dengan tatapan memohon. Sementara mantan kekasihnya itu memberikan sebuah anggukan.Sampai di rumah kontrakan
Semalaman Qiara menangis. Kali ini ia tertidur pulas, bahkan sangat pulas, meringkuk di atas ranjang sempitnya yang hanya muat untuknya seorang.Tok tok tokKetukan pintu membuat Qiara berjengit, matanya terbuka perlahan, dengan mengoreksi pendengarannya.Sekali lagi ketukan pintu kembali ia dengar. Qiara mengucek mata dan beringsut bangun.“Ya!”Dengan terpaksa, Qiara menggeret kaki. Sekarang ini ia mengenakan kaos oblong kebesaran dengan celana training. Rambutnya sangat acak-acakan dengan mata bengkak karena semalaman menangis.KlekQiara masih mengucek matanya dan bertanya, “ada apa, Yah?”“Kamu tidur di sini?”Qiara membuka lebar matanya. Terkejut melihat sosok Richard yang sedang menggendong Alista.“Mama!” seru Alista yang kemudian menangis melihat Qiara. Tangannya terulur, tanda meminta untuk digendong.Richard tersenyum miris melihat penampilan Qiara.“Sayang, kamu ….” Qiara mengambil alih gendongan Alista. Menghujani ciuman pada wajah bocah berusia lima bulan lebih itu. “Mam
Sejak tadi Qiara diam. Waktunya untuk mengajak main Alista, meski hanya menggunakan boneka.Ia bahkan enggan berbicara dengan pria yang duduk di sebelahnya itu.Vera merasakan ketenggang di dalam mobil. Memilih untuk diam, dari pada menambah masalah.“Maafkan saya,” ucap Richard pada akhirnya.Qiara tak menggubris. Ia memilih untuk mengusap kepala Alista dengan gerakan perlahan, hingga bocah berusia lima bulan lebih itu tampak memejamkan mata. Tertidur dalam dekapannya.Pun dengan Qiara yang mulai memejamkan mata. Tak ingin nmendengar apapun lagi, sementara Richard bergegrak resah.Sampai di penthouse, Qiara tampak ceria. Ia tidak mau menunjukkan kesedihannya. Ia yakin, Oma Hesty masih belum kembali.Meski dalam hatinya ia begitu sangat gugup.“Baru dari mana kamu? Pakai pakaian sepertii itu keluar rumah, tidak mencerminkan sisi wibawa sedikitpun. Ingat ya, sekarang kamu ini jadi bagian dari keluarga ini, jangan mempermalukan—““Oma,” potong Richard memperingati, meski tidak kasar, t
“Bu, haid Anda bagaimana? Lancar?”Wajah Qiara berubahh pucat. Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia menstruasi. Wanita cantik itu menelan ludah perlahan.“Bu?”“Em, a-aku, biasa telat, sih Ve. Semoga tidak apa-apa.”Vera menganggukkan kepala. “Hari ini Via tidak datang, orang tuanya sakit. Jadi, Ibu mau makan apa? Biar saya buatkan.”“Em, roti sama selai kacang saja kalau begitu. Sama tolong buatin teh hangat ya, Ve.”Vera mengangguk patuh, ia meyerahkan Alista pada ibunya. Lantas, bergegas membuatkan roti selai kacang.Sementara itu, Qiara mendudukkan Alista pada stoller. Sesekali ia merapikan rambut Alista karena berantakan.“Sayang, kamu lucu banget, deh.”Alista sibuk memainkan mainan yang ada di stoller, seraya mengocehm hal itu bisa membuat Qiara terhibur.Mood Qiara mudah sekali berubah, dan kali ini ia bisa tertawa lepas.“Ini roti dan teh hangatnya, Bu.” Vera meletakkan nampan tepat di depan Qiara.“Makasih, Ve.”Vera menganggukkan kepala, kini ia yang menggantikan Qiara
Mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi, Qiara buru-buru bngkit, ia mulai mencari sesuatu. Membuka beberapa laci di meja, dan bahkan di lemari.Qiara mulai putus asa, saat tak menemukan sesuatu. Namun, saat ia berbalik ke sudut meja dekat balkon, ia menemukan sebuah laci, dibukanya tempat itu, tangannya bergetar saat menemukan satu botol berisikan pil di sana.“I-ini apa?” Mengingat suara gemericik air di dalam kamar mandi telah usai, Qiara kembali meletakkannya, membaca sekilas nama obat tersebut.“Aku harus cepat-cepat mencari tahu itu obat apa dan kandungannya.” Qiara pergi ke kamar sebelah, tempat di mana ponselnya berada.Bahkan ia mengabaikan tatapan Vera yang sedang bermain dengan Aista di ruang tengah.Dengan tangan gemetaran, Qiara mengetikan sesuatu di laman pencarian. Matanya sipitnya terbuka debar, dengan degub jantung tak karuan.“An-anti depresan?” Qiara hampir tak menyangka. “Ya Tuhan, sekejam inikah aku?”Tubuh Qiara terasa lemas. Tak seharusnya ia menaruh b
“Tapi, jika itu aka memperburuk suasana hati kamu, tidak usah, Mas.”Richard menggelengkan kepala. “Kita akan pergi nanti sore.”Qiara menganggukkan kepala. Sepertinya ia harus mempersiapkan diri untuk bisa menerima segala konsekuensinya. Ini adalah pilihan hidupnya sekarang, perlahan ia akan mencuri hati Richard, dan membebaskan suaminya itu dari beban pikiran yang membelenggunya.“Aku akan mandi.”“Di sini?” tanya Richard mengangkat sebelah alisnya.“Di kamar sebelah.”Richard mengulum senyuman, Qiara bangkit, lantas mengulurkan tangannya. Hal itu disambut baik oleh Richard. Keduanya sama-sama keluar dari kamar itu.“Alista tidur, Ve?” tanya Qiara saat mendapati Vera tengah menggendong Alista.“Iya. Sekitar lima menit lalu.”“Kalau begitu, biar aku bawa ke kamar ya.” Qiara mengambil alih Alista, menepuk pantatnya dengan lembut, supaya tidurnya lebih terjaga.“Ve, bagaimana keadaan keluarga Via?” tanya Richard kemudian.“Sudah membaok, Via bilang, besok akan berangkat, Pak.”“Baiklah