Pintu ruangan VVIP dibuka, beberapa orang yang mengawal Oma Hesty turut masuk, namun, dua di antaranya berdiri di luar.Kedatangan wanita tua itu disambut baik oleh Hana.Wanita yang memakai pakaian seksi itu lantas berlari, memeluk Oma Hesty.“Oma, Hana sudah menunggu dari tadi,” ucap Hana dengan gaya centil nan manjanya.“Ya, Oma harus ke salon dulu.” Oma Hesty melerai pelukanya, tampak tersenyum elegan.“Oma, bagaimana? Oma bisa lihat, kan? Nany-nya Alista itu sekarang belagak kaya, apa-apa asistennya yang mengerjakan, dia jadi males ngurus Alista lagi, kan? Waktu itu, aku mergokin sendiri loh, emang wanita itu hanya mau uangnya Richard, Oma.”Ini bukan pertama kalinya Hana mengadu mengenai Qiara. Yang pertama kali, Oma Hesty tampak emosi, dan kemarin ia sudah memastikan sendiri, bagaimana keseharian Alista.Bahkan, Vera juga tidak pernah mengadu menganai Qiara, justru sebaliknya. Ia yakin, Vera adalah wanita yang paling jujur, ia sudah bekerja pada keluarga Alvaro lebih dari del
Richard tampak tertunduk di depan pusara mendiang istrinya. Kali ini, ia tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan embun bening tak sanggup terendung, kacau, dengan gemuruh di dalam hati.“Mbak, perkenalkan, namaku Qiara. Aku istri Mas Richard yang baru,” ucap Qiara terlihat sangat tenang, saat ia menoleh ke belakang, Richard tampak mengangguk, tenggorokannya seakan tercekat.“Aku mencintai suamimu. Aku harap, Mbak Yasmin ikhlas, jika kami bisa melanjutkan hidup dengan saling mencintai.”Butuh effort yang begitu kuat bagi Qiara untuk mengatakan ini. Bagi seorang wanita, tentu tidak mudah mengatakan ini dengan lugas, meski hanya sebatas batu nisan.“Mbak, demi Tuhan, aku sudah mencintai suami Mbak Yasmin. Pun dengan Alista yang menjadi cinta pada pandangan pertamaku.” Qiara menarik napas, mencoba untuk tetap tenang, meski kini dalam hatinya bergemuruh, menahan tangis. “Aku janji, akan menjaga mereka dengan sepenuh hati, memberikan cinta dan kasih sayang sepenuhnya.”Air mata Qiara luruh begi
“Apa, Besok?”“Oma, kasihan Qiara juga sedang tidak en—““Qiara bisa, kok Oma!” sahut Qiara dengan antusias, Richard tampak terbengong menanggapi istrinya itu.Qiara menepuk pelan bahu Richard, lantas memberikan sebuah anggukan. Meyakinkan sang suami, kalau ia sanggup.“Tapi, kamu—““Aku baik-baik, saja.” Qiara kembali mengusap bahu Richard, Oma Hesty bahkan sampai tidak percaya melihat itu.“Tapi, Oma, bahan-bahannya habis, Qiara mau belanja dulu ya.”“Tidak perlu! Oma sudah beli. Bahan-bahannya, sudah disiapkan oleh anak buah oma di dapur.”Lagi-lagi Qiara dan Richard saling tatap, detik berikutnya Richard tertawa kecil dan disusul oleh senyuman oleh Qiara. Bagaimana mungkin, seorang Oma Hesty menyiapkan semuanya?“Oma kayaknya niat bener, sepertinya oma sudah terpesona dengan masakan Qiara ya?” goda Richard.Oma Hesty kembali membuka kipas tangannya, mengipasnya dengan kasar dan berbalik badan. “Enak saja! Tidak, ya! Tidak usah banyak bicara, Oma mau ke kamar dulu, jangan lupa bua
“Di mana Qiara? Kenapa dia tidak ikut makan?” Oma Hesty tampak celingukan, hanya ada Richard di imeja makan yang menemani.Richard membuka piringnya, mulai mengambil nasi. “Qiara sedang sakit, Oma. Tadi pucet sekali. Sekrang lagi dikerokin sama Vera di kamar.”“Huft! Lemah banget, sampai sakit segala,” gerutu Oma Widya, lantas berganti mengambil nasi, beserta lauk-pauknya.“Namanya juga kecapekan.”“Memangnya ngapain? Orang enggak ngapa-ngapain, kan? Apa itu gara-gara kamu?”Uhuk uhuk!Richard meraih gelas, menenggak air minumnya hingga tandas. Lantas, berdeham, mencoba untuk mestabilkan kegugupannya.“Kamu sampai keselek gitu, betul kan, ucapan oma?” Oma Hesty mencebikkan bibir, gaya andalannya menggoda sang cucu.“Oma, jangan bahas begituan.”Oma Hesty mengerutkan dahi, kini ia tampak mengecap makanan yang ada di mulut. “Kenapa rasanya beda kaya yang waktu itu ya? Apa itu efek istrimu yang sedang sakit?”Richard mencoba memakan makanan yang ada di piringnya lagi. Memang berbeda deng
Hana menghentikan langkahnya, saat melihat sosok pria yang memakai suit navy tengah mender-mandir di depan pintu. Saat pintu itu terbuka, terlihat Qiara keluar dengan menenteng dua kantong keresek berisikan barang belanjaannya.Hana ternganga, melihat Qiara berhenti. Diam-diam ia mencuri dengar akan percakapan mereka.“Aku anterin pulang ya?”“Denis, kamu ngerti gak, sih, kalau aku ini sudah bersuami. Tolong, jangan tambah masalah lagi, ya,” mohon Qiara dengan wajah memelas.“Ra, hanya antar, lagian, supir kamu tadi bannya pecah, kan? Dari pada kamu pesan taksi.”Helan napas Qiara terdengar berat, ia meletakkan kantong kereseknya di bawah, lantas merogoh ponsel di tas selempang.Mengotak-atik ponselnya. “Halo, sampai mana, Pak? Oh, baik. Saya tunggu di depan Oke Market ya, Pak. Terima kasih.”Dengan wajah cemberut, Qiara memasukkan lagi ponsel ke dalam tas selempang. Ia tipe wanita yang tidak suka dipaksa.“Qiara, aku—““Denis! Kamu denger gak, sih? Dengan kamu nganter aku, akan jadi
“Cepat ceritakan, apa yang kamu tahu mengenai pernikahan mereka!” desak Denis terlihat dingin, tatapannya begitu sangat dingin.“Sabar dulu, Tuan.” Hana menyeringai. Tampaknya pria di hadapannya ini sungguh tidak sabaran.Dengan ini, Hana merasa menang, dan bisa jadi pria itu mau menjalankan rencananya. Bisa jadi, pria itu akan menjadi patner kerja sama yang menguntungkan.“Saya tidak ada waktu buat terus meladeni ini.” Denis bangit, ingin lekas pergi dari tempat itu karena ada hal yang harus ia lakukan.“Yakin?”“Katakan!” Denis kembali duduk.“Qiara itu baby sitter-nya Alista, putrinya Richard. Mereka menikah karena sebuah kecelakaan.”“Maksudnya?”“Ya, Richard mabuk, ada Qiara, terjadilah kejadian yang tidak diinginkan. Dan, ya terpaksa pernikahan itu terjadi. Mereka menikat tidak atas dasar suka sama-suka. Dan lagi, Qiara itu terikat kontrak oleh Oma Hesty, yang mana jika waktu itu ia menggagalkan kontrak, aka nada penalty yang begitu besar.”Denis tampak mengepalkan tangannya.
Qiara masih merasa kesal. Ini disebabkan oleh pertemuan tak disengaja antaranya dan juga Denis.Entah mengapa, rasa kecewa ditinggalkan itu masih tetap ada.“Kamu kenapa mondar-mandir tidak jelas begitu?” tanya Richard langsung meletakkan tas kerjanya di atas meja.Qiara yang menyadari suaminya pulang, langsung mengubah wajahnya menjadi tersenyum, menghampiri suaminya dengan menyodrkan tangannya. “Kamu sudah pulang, Mas?”Richard mengangguk, ia mengecup singkat kening Qiara. “Aku pulang saja kamu sampai tidak ngeuh, ya?”“Maaf.” Dengan mengerucutkan bibir gaya andalannya, Qiara bergelayut manja di lengan sang suami. “Kamu mau kopi?”Mendapati wajah manis istrinya itu, tangan Richard terulur untu mengacak asal pucuk kepala Qiara. “Maunya kamu, gimana dong?”“Mas, jangan bercanda!”“Oh ya, di mana Alista?” Richard mengedarkan pandangannya di sekitar. Tak nampak putri semata wayangnya itu di dalam kamar.“Sama Vera dan Via di kamar sebelah. Mereka mengajari Alista bernyanyi.”“Nyanyi?” R
Pagi-pagi sekali Qiara menyiapkan bekal untuk makan siang. Tentu dibantu oleh Via dan Vera.Via yang memasak semuanya. Qiara hanya menyimpannya dalam wadah.“Ve, kamu harus ikut, soalnya Alista hanya mau sama kamu. Mbak Via enggak apa-apa, kan kalau ditinggal di rumah sendiri? Takutnya nanti Oma tiba-tiba datang.”Via mengulum senyuman. Tampak terlihat tak sedih sedikitpun. “Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa. Sore nanti Kanjeng Oma juga datang, makanya saya pilih standby di sini saja.”Qiara merasa lega, tidak ada kecemburuan dari keduanya. Toh, semua juga sudah membagi tugas. Qiara memang sering berpikir demikian, mengingat ia dulu berawal dari seorang baby sitter Alista. Sehingga bisa dekat dengan para pekerjanya.“Mas Richard tidak suka pedas ya, Via.”“Saya tahu, Bu. Tidak ada masakan pedas, kecuali sambal.”Qiara mengacungkan ibu jarinya. “Tolong ya, Ve. Aku mau lihatin Alista dulu, apa dia dan papanya sudah bangun.”“Baik, Bu.”Qiara melenggag dengan senang, persiapannya sudah sanga