Richard tampak tertunduk di depan pusara mendiang istrinya. Kali ini, ia tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan embun bening tak sanggup terendung, kacau, dengan gemuruh di dalam hati.“Mbak, perkenalkan, namaku Qiara. Aku istri Mas Richard yang baru,” ucap Qiara terlihat sangat tenang, saat ia menoleh ke belakang, Richard tampak mengangguk, tenggorokannya seakan tercekat.“Aku mencintai suamimu. Aku harap, Mbak Yasmin ikhlas, jika kami bisa melanjutkan hidup dengan saling mencintai.”Butuh effort yang begitu kuat bagi Qiara untuk mengatakan ini. Bagi seorang wanita, tentu tidak mudah mengatakan ini dengan lugas, meski hanya sebatas batu nisan.“Mbak, demi Tuhan, aku sudah mencintai suami Mbak Yasmin. Pun dengan Alista yang menjadi cinta pada pandangan pertamaku.” Qiara menarik napas, mencoba untuk tetap tenang, meski kini dalam hatinya bergemuruh, menahan tangis. “Aku janji, akan menjaga mereka dengan sepenuh hati, memberikan cinta dan kasih sayang sepenuhnya.”Air mata Qiara luruh begi
“Apa, Besok?”“Oma, kasihan Qiara juga sedang tidak en—““Qiara bisa, kok Oma!” sahut Qiara dengan antusias, Richard tampak terbengong menanggapi istrinya itu.Qiara menepuk pelan bahu Richard, lantas memberikan sebuah anggukan. Meyakinkan sang suami, kalau ia sanggup.“Tapi, kamu—““Aku baik-baik, saja.” Qiara kembali mengusap bahu Richard, Oma Hesty bahkan sampai tidak percaya melihat itu.“Tapi, Oma, bahan-bahannya habis, Qiara mau belanja dulu ya.”“Tidak perlu! Oma sudah beli. Bahan-bahannya, sudah disiapkan oleh anak buah oma di dapur.”Lagi-lagi Qiara dan Richard saling tatap, detik berikutnya Richard tertawa kecil dan disusul oleh senyuman oleh Qiara. Bagaimana mungkin, seorang Oma Hesty menyiapkan semuanya?“Oma kayaknya niat bener, sepertinya oma sudah terpesona dengan masakan Qiara ya?” goda Richard.Oma Hesty kembali membuka kipas tangannya, mengipasnya dengan kasar dan berbalik badan. “Enak saja! Tidak, ya! Tidak usah banyak bicara, Oma mau ke kamar dulu, jangan lupa bua
“Di mana Qiara? Kenapa dia tidak ikut makan?” Oma Hesty tampak celingukan, hanya ada Richard di imeja makan yang menemani.Richard membuka piringnya, mulai mengambil nasi. “Qiara sedang sakit, Oma. Tadi pucet sekali. Sekrang lagi dikerokin sama Vera di kamar.”“Huft! Lemah banget, sampai sakit segala,” gerutu Oma Widya, lantas berganti mengambil nasi, beserta lauk-pauknya.“Namanya juga kecapekan.”“Memangnya ngapain? Orang enggak ngapa-ngapain, kan? Apa itu gara-gara kamu?”Uhuk uhuk!Richard meraih gelas, menenggak air minumnya hingga tandas. Lantas, berdeham, mencoba untuk mestabilkan kegugupannya.“Kamu sampai keselek gitu, betul kan, ucapan oma?” Oma Hesty mencebikkan bibir, gaya andalannya menggoda sang cucu.“Oma, jangan bahas begituan.”Oma Hesty mengerutkan dahi, kini ia tampak mengecap makanan yang ada di mulut. “Kenapa rasanya beda kaya yang waktu itu ya? Apa itu efek istrimu yang sedang sakit?”Richard mencoba memakan makanan yang ada di piringnya lagi. Memang berbeda deng
Hana menghentikan langkahnya, saat melihat sosok pria yang memakai suit navy tengah mender-mandir di depan pintu. Saat pintu itu terbuka, terlihat Qiara keluar dengan menenteng dua kantong keresek berisikan barang belanjaannya.Hana ternganga, melihat Qiara berhenti. Diam-diam ia mencuri dengar akan percakapan mereka.“Aku anterin pulang ya?”“Denis, kamu ngerti gak, sih, kalau aku ini sudah bersuami. Tolong, jangan tambah masalah lagi, ya,” mohon Qiara dengan wajah memelas.“Ra, hanya antar, lagian, supir kamu tadi bannya pecah, kan? Dari pada kamu pesan taksi.”Helan napas Qiara terdengar berat, ia meletakkan kantong kereseknya di bawah, lantas merogoh ponsel di tas selempang.Mengotak-atik ponselnya. “Halo, sampai mana, Pak? Oh, baik. Saya tunggu di depan Oke Market ya, Pak. Terima kasih.”Dengan wajah cemberut, Qiara memasukkan lagi ponsel ke dalam tas selempang. Ia tipe wanita yang tidak suka dipaksa.“Qiara, aku—““Denis! Kamu denger gak, sih? Dengan kamu nganter aku, akan jadi
“Cepat ceritakan, apa yang kamu tahu mengenai pernikahan mereka!” desak Denis terlihat dingin, tatapannya begitu sangat dingin.“Sabar dulu, Tuan.” Hana menyeringai. Tampaknya pria di hadapannya ini sungguh tidak sabaran.Dengan ini, Hana merasa menang, dan bisa jadi pria itu mau menjalankan rencananya. Bisa jadi, pria itu akan menjadi patner kerja sama yang menguntungkan.“Saya tidak ada waktu buat terus meladeni ini.” Denis bangit, ingin lekas pergi dari tempat itu karena ada hal yang harus ia lakukan.“Yakin?”“Katakan!” Denis kembali duduk.“Qiara itu baby sitter-nya Alista, putrinya Richard. Mereka menikah karena sebuah kecelakaan.”“Maksudnya?”“Ya, Richard mabuk, ada Qiara, terjadilah kejadian yang tidak diinginkan. Dan, ya terpaksa pernikahan itu terjadi. Mereka menikat tidak atas dasar suka sama-suka. Dan lagi, Qiara itu terikat kontrak oleh Oma Hesty, yang mana jika waktu itu ia menggagalkan kontrak, aka nada penalty yang begitu besar.”Denis tampak mengepalkan tangannya.
Qiara masih merasa kesal. Ini disebabkan oleh pertemuan tak disengaja antaranya dan juga Denis.Entah mengapa, rasa kecewa ditinggalkan itu masih tetap ada.“Kamu kenapa mondar-mandir tidak jelas begitu?” tanya Richard langsung meletakkan tas kerjanya di atas meja.Qiara yang menyadari suaminya pulang, langsung mengubah wajahnya menjadi tersenyum, menghampiri suaminya dengan menyodrkan tangannya. “Kamu sudah pulang, Mas?”Richard mengangguk, ia mengecup singkat kening Qiara. “Aku pulang saja kamu sampai tidak ngeuh, ya?”“Maaf.” Dengan mengerucutkan bibir gaya andalannya, Qiara bergelayut manja di lengan sang suami. “Kamu mau kopi?”Mendapati wajah manis istrinya itu, tangan Richard terulur untu mengacak asal pucuk kepala Qiara. “Maunya kamu, gimana dong?”“Mas, jangan bercanda!”“Oh ya, di mana Alista?” Richard mengedarkan pandangannya di sekitar. Tak nampak putri semata wayangnya itu di dalam kamar.“Sama Vera dan Via di kamar sebelah. Mereka mengajari Alista bernyanyi.”“Nyanyi?” R
Pagi-pagi sekali Qiara menyiapkan bekal untuk makan siang. Tentu dibantu oleh Via dan Vera.Via yang memasak semuanya. Qiara hanya menyimpannya dalam wadah.“Ve, kamu harus ikut, soalnya Alista hanya mau sama kamu. Mbak Via enggak apa-apa, kan kalau ditinggal di rumah sendiri? Takutnya nanti Oma tiba-tiba datang.”Via mengulum senyuman. Tampak terlihat tak sedih sedikitpun. “Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa. Sore nanti Kanjeng Oma juga datang, makanya saya pilih standby di sini saja.”Qiara merasa lega, tidak ada kecemburuan dari keduanya. Toh, semua juga sudah membagi tugas. Qiara memang sering berpikir demikian, mengingat ia dulu berawal dari seorang baby sitter Alista. Sehingga bisa dekat dengan para pekerjanya.“Mas Richard tidak suka pedas ya, Via.”“Saya tahu, Bu. Tidak ada masakan pedas, kecuali sambal.”Qiara mengacungkan ibu jarinya. “Tolong ya, Ve. Aku mau lihatin Alista dulu, apa dia dan papanya sudah bangun.”“Baik, Bu.”Qiara melenggag dengan senang, persiapannya sudah sanga
“Apa ada kerjaan?” Qiara hendak mendekati Richard, akan tetapi suaminya itu justru menghindar dengan menutup kembali laptopnya. Jelas saja membuat wanita di depannya itu mengerutkan dahi. “Kenapa aku enggak boleh ngelihat?”“Bu-bukan apa-apa. Tadi hanya iseng membuka email. Bukan masalah besar.”Qiara mengangguk, begitu mempercayai ucapan suaminya. Ia melenggang pergi menuju ke walk in closet, untuk mengganti pakaiannya.“Mas, lekas mandi!” teriak Qiara.Richard menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal, awalnya ingin membuka lagi laptopnya, namun teriakan Qiara membuatmya harus kembali menutup laptopnya lagi.“Iya!” Setengah bereriak Richard menjawab, ia meletakkan laptopnya ke dalam tas, lantas bergegas ke kamar mandi.Dress selutut tanpa lengan menjadi pilihan Qiara. Ia juga memakai topi. Rambut dikepang tak lupa, ia membubuhkan tabir surya ke seluruh tubuhnya.“Mas, bagaimana?” tanya Qiara dengan memutar tubuh, saat sang suami sudah berada di depan cermin.“Bagus. Tapi, apa
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.