Sejak tadi Qiara diam. Waktunya untuk mengajak main Alista, meski hanya menggunakan boneka.Ia bahkan enggan berbicara dengan pria yang duduk di sebelahnya itu.Vera merasakan ketenggang di dalam mobil. Memilih untuk diam, dari pada menambah masalah.“Maafkan saya,” ucap Richard pada akhirnya.Qiara tak menggubris. Ia memilih untuk mengusap kepala Alista dengan gerakan perlahan, hingga bocah berusia lima bulan lebih itu tampak memejamkan mata. Tertidur dalam dekapannya.Pun dengan Qiara yang mulai memejamkan mata. Tak ingin nmendengar apapun lagi, sementara Richard bergegrak resah.Sampai di penthouse, Qiara tampak ceria. Ia tidak mau menunjukkan kesedihannya. Ia yakin, Oma Hesty masih belum kembali.Meski dalam hatinya ia begitu sangat gugup.“Baru dari mana kamu? Pakai pakaian sepertii itu keluar rumah, tidak mencerminkan sisi wibawa sedikitpun. Ingat ya, sekarang kamu ini jadi bagian dari keluarga ini, jangan mempermalukan—““Oma,” potong Richard memperingati, meski tidak kasar, t
“Bu, haid Anda bagaimana? Lancar?”Wajah Qiara berubahh pucat. Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia menstruasi. Wanita cantik itu menelan ludah perlahan.“Bu?”“Em, a-aku, biasa telat, sih Ve. Semoga tidak apa-apa.”Vera menganggukkan kepala. “Hari ini Via tidak datang, orang tuanya sakit. Jadi, Ibu mau makan apa? Biar saya buatkan.”“Em, roti sama selai kacang saja kalau begitu. Sama tolong buatin teh hangat ya, Ve.”Vera mengangguk patuh, ia meyerahkan Alista pada ibunya. Lantas, bergegas membuatkan roti selai kacang.Sementara itu, Qiara mendudukkan Alista pada stoller. Sesekali ia merapikan rambut Alista karena berantakan.“Sayang, kamu lucu banget, deh.”Alista sibuk memainkan mainan yang ada di stoller, seraya mengocehm hal itu bisa membuat Qiara terhibur.Mood Qiara mudah sekali berubah, dan kali ini ia bisa tertawa lepas.“Ini roti dan teh hangatnya, Bu.” Vera meletakkan nampan tepat di depan Qiara.“Makasih, Ve.”Vera menganggukkan kepala, kini ia yang menggantikan Qiara
Mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi, Qiara buru-buru bngkit, ia mulai mencari sesuatu. Membuka beberapa laci di meja, dan bahkan di lemari.Qiara mulai putus asa, saat tak menemukan sesuatu. Namun, saat ia berbalik ke sudut meja dekat balkon, ia menemukan sebuah laci, dibukanya tempat itu, tangannya bergetar saat menemukan satu botol berisikan pil di sana.“I-ini apa?” Mengingat suara gemericik air di dalam kamar mandi telah usai, Qiara kembali meletakkannya, membaca sekilas nama obat tersebut.“Aku harus cepat-cepat mencari tahu itu obat apa dan kandungannya.” Qiara pergi ke kamar sebelah, tempat di mana ponselnya berada.Bahkan ia mengabaikan tatapan Vera yang sedang bermain dengan Aista di ruang tengah.Dengan tangan gemetaran, Qiara mengetikan sesuatu di laman pencarian. Matanya sipitnya terbuka debar, dengan degub jantung tak karuan.“An-anti depresan?” Qiara hampir tak menyangka. “Ya Tuhan, sekejam inikah aku?”Tubuh Qiara terasa lemas. Tak seharusnya ia menaruh b
“Tapi, jika itu aka memperburuk suasana hati kamu, tidak usah, Mas.”Richard menggelengkan kepala. “Kita akan pergi nanti sore.”Qiara menganggukkan kepala. Sepertinya ia harus mempersiapkan diri untuk bisa menerima segala konsekuensinya. Ini adalah pilihan hidupnya sekarang, perlahan ia akan mencuri hati Richard, dan membebaskan suaminya itu dari beban pikiran yang membelenggunya.“Aku akan mandi.”“Di sini?” tanya Richard mengangkat sebelah alisnya.“Di kamar sebelah.”Richard mengulum senyuman, Qiara bangkit, lantas mengulurkan tangannya. Hal itu disambut baik oleh Richard. Keduanya sama-sama keluar dari kamar itu.“Alista tidur, Ve?” tanya Qiara saat mendapati Vera tengah menggendong Alista.“Iya. Sekitar lima menit lalu.”“Kalau begitu, biar aku bawa ke kamar ya.” Qiara mengambil alih Alista, menepuk pantatnya dengan lembut, supaya tidurnya lebih terjaga.“Ve, bagaimana keadaan keluarga Via?” tanya Richard kemudian.“Sudah membaok, Via bilang, besok akan berangkat, Pak.”“Baiklah
Pintu ruangan VVIP dibuka, beberapa orang yang mengawal Oma Hesty turut masuk, namun, dua di antaranya berdiri di luar.Kedatangan wanita tua itu disambut baik oleh Hana.Wanita yang memakai pakaian seksi itu lantas berlari, memeluk Oma Hesty.“Oma, Hana sudah menunggu dari tadi,” ucap Hana dengan gaya centil nan manjanya.“Ya, Oma harus ke salon dulu.” Oma Hesty melerai pelukanya, tampak tersenyum elegan.“Oma, bagaimana? Oma bisa lihat, kan? Nany-nya Alista itu sekarang belagak kaya, apa-apa asistennya yang mengerjakan, dia jadi males ngurus Alista lagi, kan? Waktu itu, aku mergokin sendiri loh, emang wanita itu hanya mau uangnya Richard, Oma.”Ini bukan pertama kalinya Hana mengadu mengenai Qiara. Yang pertama kali, Oma Hesty tampak emosi, dan kemarin ia sudah memastikan sendiri, bagaimana keseharian Alista.Bahkan, Vera juga tidak pernah mengadu menganai Qiara, justru sebaliknya. Ia yakin, Vera adalah wanita yang paling jujur, ia sudah bekerja pada keluarga Alvaro lebih dari del
Richard tampak tertunduk di depan pusara mendiang istrinya. Kali ini, ia tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan embun bening tak sanggup terendung, kacau, dengan gemuruh di dalam hati.“Mbak, perkenalkan, namaku Qiara. Aku istri Mas Richard yang baru,” ucap Qiara terlihat sangat tenang, saat ia menoleh ke belakang, Richard tampak mengangguk, tenggorokannya seakan tercekat.“Aku mencintai suamimu. Aku harap, Mbak Yasmin ikhlas, jika kami bisa melanjutkan hidup dengan saling mencintai.”Butuh effort yang begitu kuat bagi Qiara untuk mengatakan ini. Bagi seorang wanita, tentu tidak mudah mengatakan ini dengan lugas, meski hanya sebatas batu nisan.“Mbak, demi Tuhan, aku sudah mencintai suami Mbak Yasmin. Pun dengan Alista yang menjadi cinta pada pandangan pertamaku.” Qiara menarik napas, mencoba untuk tetap tenang, meski kini dalam hatinya bergemuruh, menahan tangis. “Aku janji, akan menjaga mereka dengan sepenuh hati, memberikan cinta dan kasih sayang sepenuhnya.”Air mata Qiara luruh begi
“Apa, Besok?”“Oma, kasihan Qiara juga sedang tidak en—““Qiara bisa, kok Oma!” sahut Qiara dengan antusias, Richard tampak terbengong menanggapi istrinya itu.Qiara menepuk pelan bahu Richard, lantas memberikan sebuah anggukan. Meyakinkan sang suami, kalau ia sanggup.“Tapi, kamu—““Aku baik-baik, saja.” Qiara kembali mengusap bahu Richard, Oma Hesty bahkan sampai tidak percaya melihat itu.“Tapi, Oma, bahan-bahannya habis, Qiara mau belanja dulu ya.”“Tidak perlu! Oma sudah beli. Bahan-bahannya, sudah disiapkan oleh anak buah oma di dapur.”Lagi-lagi Qiara dan Richard saling tatap, detik berikutnya Richard tertawa kecil dan disusul oleh senyuman oleh Qiara. Bagaimana mungkin, seorang Oma Hesty menyiapkan semuanya?“Oma kayaknya niat bener, sepertinya oma sudah terpesona dengan masakan Qiara ya?” goda Richard.Oma Hesty kembali membuka kipas tangannya, mengipasnya dengan kasar dan berbalik badan. “Enak saja! Tidak, ya! Tidak usah banyak bicara, Oma mau ke kamar dulu, jangan lupa bua
“Di mana Qiara? Kenapa dia tidak ikut makan?” Oma Hesty tampak celingukan, hanya ada Richard di imeja makan yang menemani.Richard membuka piringnya, mulai mengambil nasi. “Qiara sedang sakit, Oma. Tadi pucet sekali. Sekrang lagi dikerokin sama Vera di kamar.”“Huft! Lemah banget, sampai sakit segala,” gerutu Oma Widya, lantas berganti mengambil nasi, beserta lauk-pauknya.“Namanya juga kecapekan.”“Memangnya ngapain? Orang enggak ngapa-ngapain, kan? Apa itu gara-gara kamu?”Uhuk uhuk!Richard meraih gelas, menenggak air minumnya hingga tandas. Lantas, berdeham, mencoba untuk mestabilkan kegugupannya.“Kamu sampai keselek gitu, betul kan, ucapan oma?” Oma Hesty mencebikkan bibir, gaya andalannya menggoda sang cucu.“Oma, jangan bahas begituan.”Oma Hesty mengerutkan dahi, kini ia tampak mengecap makanan yang ada di mulut. “Kenapa rasanya beda kaya yang waktu itu ya? Apa itu efek istrimu yang sedang sakit?”Richard mencoba memakan makanan yang ada di piringnya lagi. Memang berbeda deng