'Kalian sudah resmi menikah, Irish harus ikut ke manapun Tino pergi. Itu tugas pertama Irish, paham Sayang!' Irish menghela napasnya panjang saat ia masuk ke dalam sebuah rumah megah milik Tino yang berada di kawasan perumahan elit Birmingham. Gadis cantik itu membawa koper besar berisi pakaiannya dan beberapa pakaian milik Tino. Tanpa ada inisiatif membantu Irish sedikit, Tino langsung melenggang masuk rumah dengan santai. "Di atas kamar ada dua, terserah kau mau pakai yang mana. Di bawah juga ada kamar tamu!" ujar Tino menunjuk beberapa ruangan. "Me-memangnya ki-kita tidak sekamar?" tanya Irish dengan polosnya. "Tentu saja tidak. Aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain di sampingku!" Tino berjalan naik ke lantai dua sembari melepaskan mantelnya. "Kalau kau pakai kamar di atas, pakai yang di ujung!" "I-iya Tino." Irish menarik kopernya, tak berbohong kalau koper itu sangat-sangat berat.Dari pertengahan anak tangga Tino menatap ke bawah di mana Irish nampak kesulitan. Tubuhn
Semalaman Irish tidak bisa tidur, ia terus memikirkan Tino yang ternyata tidak sebaik seperti yang ia pikirkan. Sampai pagi hari ini Irish beranjak dari kamarnya dan menyiapkan sarapan di lantai satu. Ia membantu Bibi sibuk di dapur. "Non, kok Non Irish keluar dari kamar yang sana? Bukannya kamar Tuan...""A-Aku tidak sekamar de-dengan Tino, Bi," jawab Irish tersenyum tipis. Bibi pun sedikit terkejut mendengarnya. "Loh, kenapa? Kalian kan sudah menikah?!" Irish hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Harusnya Bibi paham kenapa Tino menolaknya untuk tidur bersama meskipun mereka sepasang suami dan istri. Sembari memotong beberapa sayuran, Irish tertunduk tersenyum getir. "Mungkin Ti-tino malu, Bi. Gadis yang di-dinikahinya gagap," ucap Irish tiba-tiba. Mendengar apa yang Irish katakan barusan, Bibi seketika menoleh dan tersenyum padanya. "Non Irish jangan berkata seperti itu." "Hemm, i-iya Bi. I-Ini pasti hanya pe-perasaan I-Irish saja." Gadis itu pun kembali fokus pada apa
Tino menatap tajam ke lantai bawah di mana Irish berada. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Irish di sini. 'Apa yang sedang dia lakukan di sini?! Dia tidak mengirimkan pesan padaku sebelum pergi?!' batin Tino menggerutu. Dia terus menatap ke bawah sana, hingga gadis cantik di depannya menepuk lengan Tino. Felia, gadis itu menatapnya sembari tersenyum manis memberikan sebuah buku menu. "Kau mau pesan apa?" tanya gadis itu. "Kau pilih dulu," jawab Tino tak acuh."Kenapa sih, kau melihat ke bawah terus? Apa karena ada istrimu di sana?!" Felia menutup buku menu dengan kesal. Tino menyergah napas kasar dan kembali memperhatikan Felia lagi. "Jangan bicarakan dia saat denganku, Fel!" tegasnya. Sementara di bawah sana, Irish nampak berbincang dengan Odette. Mereka juga terlihat sangat asik mengobrol panjang lebar. Tak terlihat ekspresi sedih di wajah Irish sekalipun dia tahu suaminya bersama wanita lain, namun lebih tepatnya saat ini Irish menahan semuanya. Hingga tak berselang
"Kau sangat memuaskanku malam ini, Sayang..." Suara dua insan di dalam sebuah kamar membuat tubuh Shela menegang seketika. Gadis cantik dua puluh dua tahun itu baru saja masuk ke dalam apartemen kekasihnya untuk memberikan kejutan ulang tahun pada laki-laki tersebut. Namun, Shela malah disuguhi suara dua orang yang terdengar begitu mesra dari dalam kamar. Dengan dada bergemuruh hebat, Shela mendorong pintu di hadapannya dengan kuat, membuat dua manusia di atas ranjang besar itu tersentak kaget atas kehadirannya.Kue ulang tahun di tangan Shela pun terjatuh, gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Air mata tak tertahankan setelah tahu siapa wanita yang tengah berduaan dengan kekasihnya. "Shela!" pekik dua orang itu bersamaan seraya berebut selimut menutupi kedua tubuh polos mereka. "Teganya kalian melakukan ini di belakangku?!" teriak Shela, masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya."Shela, aku bisa jelaskan... Ini tidak seperti yang kau lihat!" Vano, kekasihnya
"Eunghh berat..."Lenguhan terdengar dari bibir Shela saat merasakan beban berat melingkarkan di pinggang kecilnya. Seseorang memeluknya dengan sangat erat dan hangat di pagi hari. Tubuh Shela terasa sakit, kebas, dan remuk. Perlahan kedua matanya terbuka, ia menatap pakaiannya yang berada di lantai hotel. Sontak Shela langsung terkejut saat menyadari sesuatu. "Astaga..." Shela langsung terbangun, kesadarannya kembali penuh. "A-apa yang sudah aku lakukan?"Shela menutup mulutnya, menatap wajah laki-laki asing di belakangnya yang tertidur lelap dengan tubuh polosnya tertutup selimut. Detak jantung Shela berpacu cepat. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menutupi tubuhnya. "Si-siapa dia? Ya Tuhan, bagaimana ini semua bisa terjadi?!" Tanpa suara Shela menuruni ranjang dengan sepelan mungkin. Kedua kakinya lemas tak bertenaga saat ingatan malam panas yang telah ia lewati bersama pria tampan itu. Shela bergidik saat mengingat dirinya sendiri yang ikut melayani kebuasan pria itu. "Ah.
Tiga hari berjalan sangat cepat, hari demi hari Shela semakin tersiksa dengan banyak kenyataan pahit dalam hidupnya. Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya, hari sakral itu digelar di sebuah hotel berbintang milik Stevani. Shela menjadi satu-satunya yang sangat tidak bahagia dengan pernikahan Mamanya. "Shela jangan murung terus, Sayang. Tidak bisakah kau ikut turut bahagia di hari pernikahan Mama, hem?" Stevani menangkup pipi Shela. "Senyum dong Sayang, tidak enak dilihat semua tamu-tamu Mama." Gadis itu menepis pelan tangan sang Mama. "Ini hanya kebahagiaan Mama, bukan kebahagiaan Shela.""Astaga anak ini..." Shela melepaskan cekalan tangan sang Mama dan pergi, namun langkahnya terhenti begitu seorang laki-laki selalu ingin Shela hindari, kini berdiri tegap melangkah hendak menghampirinya. Takdir yang pahit membuat Shela akan sering berjumpa dengannya. Sebastian berjalan semakin dekat, Shela berniat menjauh sebelum satu lengannya ditahan oleh laki-laki itu dengan cepat. "Tun
Sudah beberapa hari ini Shela merasa ada yang aneh pada dirinya, ia terus ingin muntah dan tubuhnya yang mudah tidak bertenaga membuat Shela terus menerus mengurung diri di dalam kamar. Gadis itu kini duduk di tepi ranjangnya dan mengusap perutnya yang masih tak nyaman, perasaan cemas kembali menghampirinya. "Sudah lima minggu lebih aku terlambat datang bulan, apa mungkin aku..," lirih Shela menatap pantulan dirinya di cermin. Segera Shela beranjak dari duduknya, gadis itu berjalan membuka laci meja rias. Ragu-ragu Shela mengambil sebuah test pack yang pagi tadi ia beli. Shela berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat, cukup lama ia diam di sana dan menunggu. 'Semoga firasatku ini salah Ya Tuhan, semoga dugaanku tidak terjadi,' batin Shela penuh harap. Beberapa menit Shela menunggu, gadis itu meraih test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah begitu jelas telihat hasil dari test pack yang Shela pegang. Dan Shela kini benar-benar tengah hamil!Bag
Lima Tahun Kemudian...Birmingham, Inggris. "Tino, Tiano, dan Tiana, ayo anak-anak duduk yang manis, Mami akan membagi donatnya satu-satu." Shela berjalan mendekati tiga anak yang langsung duduk berbaris di sofa menunggunya. Sorot iris hitam ketiganya yang berbinar-binar melihat Mamanya membawakan donat untuk mereka. Lima tahun terasa cepat bagi Shela, setelah dia pergi jauh dari Paris dan datang ke Birmingham, Shela berhasil melahirkan tiga bayi kembar dan membesarkan mereka seorang diri. Bersama ketiga buah hatinya, Shela tidak pernah merasakan kesepian. Hidup mandiri, mempunyai sebuah usaha toko roti dan florist, Shela tidak cemas untuk memanjakan ketiga buah hatinya. "Mi, Kak Tiano sama Tino jangan dikasih, buat Tiana saja semua!" seru gadis berambut cokelat dikuncir dua yang tengah tertawa geli. "Tidak boleh rakus, Tiana. Kalau rakus nanti dimarahin Tuhan," seru Tiano menasihati kembarannya. "Iya, kalau kau nakal tidak akan aku temani! Biar saja main sendirian," imbuh Tino