Tino menatap tajam ke lantai bawah di mana Irish berada. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Irish di sini. 'Apa yang sedang dia lakukan di sini?! Dia tidak mengirimkan pesan padaku sebelum pergi?!' batin Tino menggerutu. Dia terus menatap ke bawah sana, hingga gadis cantik di depannya menepuk lengan Tino. Felia, gadis itu menatapnya sembari tersenyum manis memberikan sebuah buku menu. "Kau mau pesan apa?" tanya gadis itu. "Kau pilih dulu," jawab Tino tak acuh."Kenapa sih, kau melihat ke bawah terus? Apa karena ada istrimu di sana?!" Felia menutup buku menu dengan kesal. Tino menyergah napas kasar dan kembali memperhatikan Felia lagi. "Jangan bicarakan dia saat denganku, Fel!" tegasnya. Sementara di bawah sana, Irish nampak berbincang dengan Odette. Mereka juga terlihat sangat asik mengobrol panjang lebar. Tak terlihat ekspresi sedih di wajah Irish sekalipun dia tahu suaminya bersama wanita lain, namun lebih tepatnya saat ini Irish menahan semuanya. Hingga tak berselang
Tino mengajak Irish pulang saat itu juga. Tidak ada yang bicara selama perjalanan pulang hingga mereka berdua sampai di rumah. Namun Irish merasa sedih, kenapa Tino marah sampai seperti ini. Padahal tak ada alasan baginya untuk marah seperti ini. "Masuk!" serunya membentak. Irish pun berjalan masuk ke dalam rumah, gadis itu hendak melewati Tino, namun ia lebih dulu ditarik hingga tubuhnya terjatuh di sofa dengan kencangnya. "A-aduhh..!" Tino tak peduli biarpun Irish berteriak sakit. Laki-laki itu menatapnya dengan sangat tajam. "Siapa laki-laki tadi hah?! Selingkuhanmu?!" sentaknya dengan nada meninggi. Gelengan kepala Irish berikan dengan cepat. "Bu-bukan, Tino. Di-dia Diego, te-temanku!" pekik Irish menjelaskan. "Teman kau bilang!" sentak Tino keras. Irish bergetar dibuatnya. Gadis itu ingin menangis namun takut. "Ka-kau sendiri bersama perempuan y-yang jelas-jelas kekasihmu, tapi a-aku tidak protes sama sekali. Kau mi-minta aku menjelaskan bagaimana la-lagi kalau laki-la
Semenjak kejadian saat makan malam kemarin, Irish tidak pernah sekalipun makan bersama dengan Tino. Sekalipun dia usai menyiapkan sarapan, maka gadis itu akan pergi kembali lagi ke kamarnya dan makan bila Tino sudah pergi. Bahkan siang ini di rumah, ada kekasih Tino yang entah tiba-tiba saja datang. Sedangkan Irish hanya diam diri di dalam kamar. 'Dia membawa kekasihnya pulang,' batin Irish sedih. Gadis itu menatap jendela besar kamarnya yang berada di lantai dua. Ia memperhatikan di bawa sana, Tino baru saja mengajak Felia kembali dari berbelanja. Irish menatap jam dinding, gadis itu ingin menghubungi Tiana, namun sahabat sekaligus iparnya kini tengah ke rumah sakit mengurus kehamilannya. 'Apa aku betah hidup dalam keadaan seperti ini terus menerus?' batin Irish menatap dan mengusap cincin pernikahannya. Gadis itu melepaskan cincinnya. 'Pernikahan ini tidak ada artinya, bukankah lebih baik aku pergi dan ikut dengan Paman Caesar tinggal di Austria? Paman Caesar juga penasihat k
Setelah makan malam selesai, Irish mendekati Tino yang ada di rumah tamu. Gadis itu memberanikan diri, toh ia akan pergi bila sang suami mengusirnya untuk tidak dekat-dekat. Irish berdiri di dekat sofa di mana Tino duduk. "Tino, A-aku ingin bicara sesuatu," ucap Irish menatap Tino. Suaminya itu masih berkutat dengan laptop yang dia pangku. "Duduk di sampingku, baru bicara," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop. Barulah Irish duduk di samping Tino, namun tentu saja berjarak. Irish tidak percaya diri dekat dengan lelaki sempurna yang selalu mengoloknya dengan kata 'Si Gagap' yang ia banggakan untuk memanggil Irish setiap kali. "Ada apa?" tanya Tino menoleh sekilas. "Eemmm itu, A-aku ingin ke rumah Mami," ujar Irish jujur. Kedua alis Tino menukik. "Untuk apa? Mengadu?" Cepat Irish menggeleng menyangkal. "Bu-bukan!" "Lalu untuk apa, Rish?" Panggilan itu, 'Rish' seperti panggilan yang selalu diucapkan Mamanya di saat-saat tertentu. Irish masih terpaku dan diam deng
Saat fajar hampir tiba, seingatnya semalam Irish tidur membelakanginya. Tapi rupanya kini gadis itu terbangun dengan posisi mendusal memeluk tubuh Tino seperti bayi. Tino yang baru saja membuka mata, ia menatap wajah cantik Irish yang sangat mungil. Tino mengecup pucuk kepala gadis itu tanpa sadar. 'Ka-kau manusia paling sempurna, da-dan aku gagap. Ka-kau anggap aku cacat, a-aku me-memang tidak secantik ke-kekasihmu.' Salah satu kata-kata yang Irish ocehkan semalam sebelum akhirnya gadis itu tertidur. Tino hanya bisa diam menatapnya, bayangannya jauh memikirkan kata cacat yang Irish ucapkan. Lalu bagaimana dengan Tiana, kembarannya? Tiana menderita penyakit yang serius, mata minus dan rabun parah, juga mudah sekali pingsan. Namun kenyataannya Aldrich menerima Tiana dan mencintainya dengan besar, tulus, dan setia. Tino terus memikirkan hal itu, dan juga Irish. Pergerakan Tino menarik selimut membuat gadis itu bangun, Irish membuka matanya dengan kedua tangan masih memeluk punggun
"Kau marah setelah mendengar apa yang tadi Felia katakan tentangmu?!" Tino menghentikan langkah Irish. Gadis itu menggeleng cepat. "A-aku tidak marah kok, tidak pe-perlu sepanik itu." Irish tersenyum manis dan menatap Tino yang kini mencekal lengan kirinya. Gadis itu mencekal tangan Tino dan menatap lekat wajah tampan suaminya. "Tapi... Tapi a-apa benar ka-kau akan me- menceraikan aku?" tanya gadis itu. Dan tidak ada jawaban dari Tino, hal itu membuat Irish tersenyum tipis. "Le-lebih baik ka-kau jujur saja padaku." Irish mundur satu langkah. "Ka-kalau memang kau na-nantinya akan me-menceraikan aku, tolong antarkan aku ke A-austria," pinta gadis itu. Kening Tino mengerut bingung, setahunya Irish tidak punya siapa-siapa lagi, apalagi keluarga sampai di luar negeri. Menyangkal akan hal itu, Tino menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak akan menceraikanmu," ucap Tino. "Heem?" Irish membola. "A-apa kau be-bercanda?" "Tidak, Irish! Jangan mendebatku!" Tino langsung melenggang
Bersama dengan Odette, siang ini Irish datang ke tempat akademi balet. Ia ingin berpamitan pada pelatihnya kalau Irish tidak bisa ikut kursus balet lagi. Gadis itu baru saja berpamitan pada Madam Erika, kini Irish mengemasi barang-barangnya dan membawanya. "Huhhhh... Aku pasti kesepian! Kau sangat tidak asik, Irish!" pekik Odette menatap sahabatnya dengan kesal. Irish tersenyum manis. "A-aku sudah menikah, se-semua waktu yang a-aku miliki akan aku be-berikan pada su-suamiku." "Harusnya dia mengizinkanmh daripada kau tidak punya kegiatan apapun! Kalau kau tidak berani bilang, biar aku yang bilang padanya!" pekik Odette dengan bersungut-sungut. "Ya a-ampun, Odette..." Mereka berdua berjalan ke depan, Odette masih marah-marah dan kesal setengah mati dengan Irish yang pergi dan tidak melanjutkan akademi balet. Irish memang tidak pernah mengikuti olimpiade seperti Odette, namun semua anak-anak didik di sana sangat sedih saat tahu bahwa Irish tidak lagi mengajar, anak-anak itu menang
Setelah menjemput Irish dan mengantarkannya pulang siang tadi, sampai malam pukul dua belas tepat dia belum juga pulang. Irish mondar-mandir di ruang tamu, ia menatap cuaca yang mendung gelap di luar. Gadis itu menarik selendang yang menutup kedua pundaknya dan menyergah napasnya kasar. 'Dia ke mana?' batin Irish sangat cemas. 'Padahal dia janji ingin mengantarkanku ke tempat Mami, kenapa dia berkali-kali bohong?'Gadis itu menepuk dadanya pelan, Irish menarik napasnya dalam-dalam dan menetralkannya. Bila ia terlalu panik dan takut, bisa-bisa bukan hanya gagap, dia juga akan kesulitan bicara meskipun sepatah kata. Dalam keadaan yang baik-baik saja, semua tentram dan nyaman, gadis itu tidak akan kesulitan bicara. Hal ini membuat Irish sering membuat Irish menipu banyak orang. "Ja-jangan panik, Irish!" gumam gadis itu menepuk dadanya berkali-kali. Suara klakson mobil di depan membuat Irish cepat membuka pintu. Dari dalam mobil keluar Felia yang membopong Tino, laki-laki itu mabuk b
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut