Setelah makan malam selesai, Irish mendekati Tino yang ada di rumah tamu. Gadis itu memberanikan diri, toh ia akan pergi bila sang suami mengusirnya untuk tidak dekat-dekat. Irish berdiri di dekat sofa di mana Tino duduk. "Tino, A-aku ingin bicara sesuatu," ucap Irish menatap Tino. Suaminya itu masih berkutat dengan laptop yang dia pangku. "Duduk di sampingku, baru bicara," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop. Barulah Irish duduk di samping Tino, namun tentu saja berjarak. Irish tidak percaya diri dekat dengan lelaki sempurna yang selalu mengoloknya dengan kata 'Si Gagap' yang ia banggakan untuk memanggil Irish setiap kali. "Ada apa?" tanya Tino menoleh sekilas. "Eemmm itu, A-aku ingin ke rumah Mami," ujar Irish jujur. Kedua alis Tino menukik. "Untuk apa? Mengadu?" Cepat Irish menggeleng menyangkal. "Bu-bukan!" "Lalu untuk apa, Rish?" Panggilan itu, 'Rish' seperti panggilan yang selalu diucapkan Mamanya di saat-saat tertentu. Irish masih terpaku dan diam deng
Saat fajar hampir tiba, seingatnya semalam Irish tidur membelakanginya. Tapi rupanya kini gadis itu terbangun dengan posisi mendusal memeluk tubuh Tino seperti bayi. Tino yang baru saja membuka mata, ia menatap wajah cantik Irish yang sangat mungil. Tino mengecup pucuk kepala gadis itu tanpa sadar. 'Ka-kau manusia paling sempurna, da-dan aku gagap. Ka-kau anggap aku cacat, a-aku me-memang tidak secantik ke-kekasihmu.' Salah satu kata-kata yang Irish ocehkan semalam sebelum akhirnya gadis itu tertidur. Tino hanya bisa diam menatapnya, bayangannya jauh memikirkan kata cacat yang Irish ucapkan. Lalu bagaimana dengan Tiana, kembarannya? Tiana menderita penyakit yang serius, mata minus dan rabun parah, juga mudah sekali pingsan. Namun kenyataannya Aldrich menerima Tiana dan mencintainya dengan besar, tulus, dan setia. Tino terus memikirkan hal itu, dan juga Irish. Pergerakan Tino menarik selimut membuat gadis itu bangun, Irish membuka matanya dengan kedua tangan masih memeluk punggun
"Kau marah setelah mendengar apa yang tadi Felia katakan tentangmu?!" Tino menghentikan langkah Irish. Gadis itu menggeleng cepat. "A-aku tidak marah kok, tidak pe-perlu sepanik itu." Irish tersenyum manis dan menatap Tino yang kini mencekal lengan kirinya. Gadis itu mencekal tangan Tino dan menatap lekat wajah tampan suaminya. "Tapi... Tapi a-apa benar ka-kau akan me- menceraikan aku?" tanya gadis itu. Dan tidak ada jawaban dari Tino, hal itu membuat Irish tersenyum tipis. "Le-lebih baik ka-kau jujur saja padaku." Irish mundur satu langkah. "Ka-kalau memang kau na-nantinya akan me-menceraikan aku, tolong antarkan aku ke A-austria," pinta gadis itu. Kening Tino mengerut bingung, setahunya Irish tidak punya siapa-siapa lagi, apalagi keluarga sampai di luar negeri. Menyangkal akan hal itu, Tino menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak akan menceraikanmu," ucap Tino. "Heem?" Irish membola. "A-apa kau be-bercanda?" "Tidak, Irish! Jangan mendebatku!" Tino langsung melenggang
Bersama dengan Odette, siang ini Irish datang ke tempat akademi balet. Ia ingin berpamitan pada pelatihnya kalau Irish tidak bisa ikut kursus balet lagi. Gadis itu baru saja berpamitan pada Madam Erika, kini Irish mengemasi barang-barangnya dan membawanya. "Huhhhh... Aku pasti kesepian! Kau sangat tidak asik, Irish!" pekik Odette menatap sahabatnya dengan kesal. Irish tersenyum manis. "A-aku sudah menikah, se-semua waktu yang a-aku miliki akan aku be-berikan pada su-suamiku." "Harusnya dia mengizinkanmh daripada kau tidak punya kegiatan apapun! Kalau kau tidak berani bilang, biar aku yang bilang padanya!" pekik Odette dengan bersungut-sungut. "Ya a-ampun, Odette..." Mereka berdua berjalan ke depan, Odette masih marah-marah dan kesal setengah mati dengan Irish yang pergi dan tidak melanjutkan akademi balet. Irish memang tidak pernah mengikuti olimpiade seperti Odette, namun semua anak-anak didik di sana sangat sedih saat tahu bahwa Irish tidak lagi mengajar, anak-anak itu menang
Setelah menjemput Irish dan mengantarkannya pulang siang tadi, sampai malam pukul dua belas tepat dia belum juga pulang. Irish mondar-mandir di ruang tamu, ia menatap cuaca yang mendung gelap di luar. Gadis itu menarik selendang yang menutup kedua pundaknya dan menyergah napasnya kasar. 'Dia ke mana?' batin Irish sangat cemas. 'Padahal dia janji ingin mengantarkanku ke tempat Mami, kenapa dia berkali-kali bohong?'Gadis itu menepuk dadanya pelan, Irish menarik napasnya dalam-dalam dan menetralkannya. Bila ia terlalu panik dan takut, bisa-bisa bukan hanya gagap, dia juga akan kesulitan bicara meskipun sepatah kata. Dalam keadaan yang baik-baik saja, semua tentram dan nyaman, gadis itu tidak akan kesulitan bicara. Hal ini membuat Irish sering membuat Irish menipu banyak orang. "Ja-jangan panik, Irish!" gumam gadis itu menepuk dadanya berkali-kali. Suara klakson mobil di depan membuat Irish cepat membuka pintu. Dari dalam mobil keluar Felia yang membopong Tino, laki-laki itu mabuk b
Petang-petang sekali Sebastian dan Shela mendatangi rumah Tino. Sepanjang jalan Sebastian sudah marah-marah, Shela hanya bisa menundukkan kepalanya antara menahan amarah dan menangis memikirkan di mana Irish berada. Sesampainya di rumah Tino, keduanya mendengar keributan hebat di sana. "Siapa yang menyuruhmu di rumahku, wanita sialan!" teriak Tino mendorong Felia di sofa. "Tino, semalam aku-""Beraninya kau! Pergi dari rumahku!" teriak Tino. Teriakan keras Tino membuat Sebastian dan Shela masuk ke dalam rumah, sampai akhirnya seorang gadis berlari berpapasan dengan Shela dan Sebastian. "TINO!" teriak Sebastian berjalan penuh amarah mendekat putranya. PLAAAKKK....Suara tamparan yang sangat renyah di telinga. Shela hanya diam memejamkan kedua matanya, kali ini dia tidak akan membela putranya. "Brengsek!" umpat Sebastian mencengkeram erat krah kemeja yang Tino pakai. "Pi, aku bisa jelaskan semuanya!" pekik Tino. "Apa lagi hah?! Sekarang Papi tanya padamu, di mana Irish?!" teria
"Nona Irish demam tinggi, mungkin karena kedinginan dan kondisi tubuhnya yang menurun drastis. Lebih baik untuk istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak pikiran." Dokter menjelaskan kondisi Irish setelah Shela dan Sebastian memanggil dokter ke ruang mereka. Mereka berdua merasa sedih, menatap Irish yang tengah tertidur nyenyak dengan wajah pucat. "Terima kasih, dok," ucap Shela lirih. "Iya Nyonya, sama-sama." Dokter pun keluar dari dalam kamar, kini hanya ada Shela dan Sebastian, juga Irish. Shela mengusap pucuk kepala Irish dengan lembut. "Biarkan dia di sini sampai sembuh, jangan biarkan dia tinggal dengan Tino," ujar Shela menatap Irish. "Ya," jawab Sebastian singkat. "Ayo kita keluar, biarkan Irish istirahat. Ayo Sayang." Sebastian mengulurkan tangannya pada Shela. Barulah Shela ikut bersama suaminya. Mereka berdua keluar dari dalam kamar Irish, keduanya menuju ke lantai satu dan melihat siapa yang datang. Shela masih kesal dan enggan berbicara dengan Tino. Rasany
Mendengar kata perceraian dari Irish membuat Tino melebarkan kedua matanya. Namun detik selanjutnya Tino terkekeh seperti orang yang tidak bersalah. "Bercerai?" Tawa pelannya terasa kesal. Laki-laki itu menatap Irish dan menangkup satu pipinya. "Hanya karena sebuah kesalahpahaman kau langsung ingin bercerai?" Irish melepaskan tangan Tino dari pipinya. "Bu-bukannya dengan be-begitu kau menjadi se-senang? La-lagipula aku juga ti-tidak ada artinya u-untukmu." Tino menatapnya dalam-dalam sebelum laki-laki itu meraih mangkuk berisi sup yang kini sudah hangat. "Sudahlah, jangan membahas perceraian. Jangan kekanakan Rish, cerai bukanlah hal yang bisa menyelesaikan masalah!" seru Tino dengan nada menekan. Hati Irish seperti di remas kuat. Ia tidak tahu, tidak mengerti, sebenarnya apa yang Tino inginkan. Laki-laki itu hendak menyuapinya, dengan cepat Irish merebut mangkuk di tangan Tino dan memangkunya dengan hati yang terasa kosong. "Kau bisa pergi, tinggalkan aku sendiri," pinta Iris