Bersama dengan Odette, siang ini Irish datang ke tempat akademi balet. Ia ingin berpamitan pada pelatihnya kalau Irish tidak bisa ikut kursus balet lagi. Gadis itu baru saja berpamitan pada Madam Erika, kini Irish mengemasi barang-barangnya dan membawanya. "Huhhhh... Aku pasti kesepian! Kau sangat tidak asik, Irish!" pekik Odette menatap sahabatnya dengan kesal. Irish tersenyum manis. "A-aku sudah menikah, se-semua waktu yang a-aku miliki akan aku be-berikan pada su-suamiku." "Harusnya dia mengizinkanmh daripada kau tidak punya kegiatan apapun! Kalau kau tidak berani bilang, biar aku yang bilang padanya!" pekik Odette dengan bersungut-sungut. "Ya a-ampun, Odette..." Mereka berdua berjalan ke depan, Odette masih marah-marah dan kesal setengah mati dengan Irish yang pergi dan tidak melanjutkan akademi balet. Irish memang tidak pernah mengikuti olimpiade seperti Odette, namun semua anak-anak didik di sana sangat sedih saat tahu bahwa Irish tidak lagi mengajar, anak-anak itu menang
Setelah menjemput Irish dan mengantarkannya pulang siang tadi, sampai malam pukul dua belas tepat dia belum juga pulang. Irish mondar-mandir di ruang tamu, ia menatap cuaca yang mendung gelap di luar. Gadis itu menarik selendang yang menutup kedua pundaknya dan menyergah napasnya kasar. 'Dia ke mana?' batin Irish sangat cemas. 'Padahal dia janji ingin mengantarkanku ke tempat Mami, kenapa dia berkali-kali bohong?'Gadis itu menepuk dadanya pelan, Irish menarik napasnya dalam-dalam dan menetralkannya. Bila ia terlalu panik dan takut, bisa-bisa bukan hanya gagap, dia juga akan kesulitan bicara meskipun sepatah kata. Dalam keadaan yang baik-baik saja, semua tentram dan nyaman, gadis itu tidak akan kesulitan bicara. Hal ini membuat Irish sering membuat Irish menipu banyak orang. "Ja-jangan panik, Irish!" gumam gadis itu menepuk dadanya berkali-kali. Suara klakson mobil di depan membuat Irish cepat membuka pintu. Dari dalam mobil keluar Felia yang membopong Tino, laki-laki itu mabuk b
Petang-petang sekali Sebastian dan Shela mendatangi rumah Tino. Sepanjang jalan Sebastian sudah marah-marah, Shela hanya bisa menundukkan kepalanya antara menahan amarah dan menangis memikirkan di mana Irish berada. Sesampainya di rumah Tino, keduanya mendengar keributan hebat di sana. "Siapa yang menyuruhmu di rumahku, wanita sialan!" teriak Tino mendorong Felia di sofa. "Tino, semalam aku-""Beraninya kau! Pergi dari rumahku!" teriak Tino. Teriakan keras Tino membuat Sebastian dan Shela masuk ke dalam rumah, sampai akhirnya seorang gadis berlari berpapasan dengan Shela dan Sebastian. "TINO!" teriak Sebastian berjalan penuh amarah mendekat putranya. PLAAAKKK....Suara tamparan yang sangat renyah di telinga. Shela hanya diam memejamkan kedua matanya, kali ini dia tidak akan membela putranya. "Brengsek!" umpat Sebastian mencengkeram erat krah kemeja yang Tino pakai. "Pi, aku bisa jelaskan semuanya!" pekik Tino. "Apa lagi hah?! Sekarang Papi tanya padamu, di mana Irish?!" teria
"Nona Irish demam tinggi, mungkin karena kedinginan dan kondisi tubuhnya yang menurun drastis. Lebih baik untuk istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak pikiran." Dokter menjelaskan kondisi Irish setelah Shela dan Sebastian memanggil dokter ke ruang mereka. Mereka berdua merasa sedih, menatap Irish yang tengah tertidur nyenyak dengan wajah pucat. "Terima kasih, dok," ucap Shela lirih. "Iya Nyonya, sama-sama." Dokter pun keluar dari dalam kamar, kini hanya ada Shela dan Sebastian, juga Irish. Shela mengusap pucuk kepala Irish dengan lembut. "Biarkan dia di sini sampai sembuh, jangan biarkan dia tinggal dengan Tino," ujar Shela menatap Irish. "Ya," jawab Sebastian singkat. "Ayo kita keluar, biarkan Irish istirahat. Ayo Sayang." Sebastian mengulurkan tangannya pada Shela. Barulah Shela ikut bersama suaminya. Mereka berdua keluar dari dalam kamar Irish, keduanya menuju ke lantai satu dan melihat siapa yang datang. Shela masih kesal dan enggan berbicara dengan Tino. Rasany
Mendengar kata perceraian dari Irish membuat Tino melebarkan kedua matanya. Namun detik selanjutnya Tino terkekeh seperti orang yang tidak bersalah. "Bercerai?" Tawa pelannya terasa kesal. Laki-laki itu menatap Irish dan menangkup satu pipinya. "Hanya karena sebuah kesalahpahaman kau langsung ingin bercerai?" Irish melepaskan tangan Tino dari pipinya. "Bu-bukannya dengan be-begitu kau menjadi se-senang? La-lagipula aku juga ti-tidak ada artinya u-untukmu." Tino menatapnya dalam-dalam sebelum laki-laki itu meraih mangkuk berisi sup yang kini sudah hangat. "Sudahlah, jangan membahas perceraian. Jangan kekanakan Rish, cerai bukanlah hal yang bisa menyelesaikan masalah!" seru Tino dengan nada menekan. Hati Irish seperti di remas kuat. Ia tidak tahu, tidak mengerti, sebenarnya apa yang Tino inginkan. Laki-laki itu hendak menyuapinya, dengan cepat Irish merebut mangkuk di tangan Tino dan memangkunya dengan hati yang terasa kosong. "Kau bisa pergi, tinggalkan aku sendiri," pinta Iris
"Irish sudah tidak sakit lagi, kan? Hihhhh aku cemas tahu!" Tiana yang asik berguling-guling di atas ranjang kamar Irish menatapnya dengan ekspresi kesal. Sejak pagi tadi, Aldrich sudah mengantarkan Tiana ke sini. Irish ikut berbaring dan menatap Tiana dengan kepala mengangguk. "Su-sudah tidak papa, Tiana." "Syukurlah!" Tiana tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. "Andai saja Sora juga ada di sini, hemmm... Pasti ramai sekali rumah Mami." "Heem, Ti-Tiano mu-mungkin sibuk. A-aku juga ka-kangen dengan Sora." Pintu kamar terbuka tiba-tiba, muncul Tino yang berjalan masuk ke dalam kamar. Kedua mata Irish mengikuti tiap-tiap Tino bergerak, laki-laki itu mendekatinya. "Kak, sudah dibelikan?" tanya Tiana menatap Tino. "Sudah, ada di lantai satu.""Asik...!" Tiana langsung beranjak cepat meninggalkan Tino dan Irish. Sementara Tino hanya berdua dengan Irish di sana, ia memperhatikan istrinya yang masih diam membisu mengabaikannya. Sampai Tino mengulurkan tangannya di hadapan I
"Ini ruam-ruam karena alergi, apa Nona memakan suatu yang memicu alergi?" tanya Dokter Lilia pada Irish. Gadis itu mengangguk takut. "I-iya dok, ta-tapi saya hanya ma-makan se-sedikit." Irish menundukkan kepalanya saat Tino menatapnya tajam. Dokter Lilia mengangguk dan mengambil beberapa obat. "Nona memakan apa? Kacang, cokelat, atau..." "Cokelat, dok." Irish menjawabnya pekan. "Baiklah, jangan diulangi lagi ya, nanti bisa berbahaya. Ini saja rasanya pasti di kulit seperti terbakar, iya kan?" Dokter itu memperhatikan wajah Irish yang was-was. "Tidak papa kok, ini obatnya diminum dan salebnya dioleskan saja." "Terima kasih dok," ucap Tino merangkul pundak Irish. "Sama-sama Tuan." Irish dan Tino keluar dari dalam ruangan dokter, Tino masih merangkul pundak Irish dengan sangat posesif. Ia sendiri tidak tahu kalau ternyata makanan yang ia belikan siang tadi malah membuat istrinya sakit. "Harusnya tadi kau bilang kalau kau alergi!" seru Tino sembari membuka pintu mobil. "A-aku t
Semakin malam udara semakin dingin, Tino terbangun merasakan seseorang memeluknya dengan sangat-sangat erat. Laki-laki itu pada mulanya tidak akan bisa tidur bila seseorang memeluknya, kecuali dia yang memeluk orang tersebut. Decakan terdengar dari bibirnya, ia membuka kedua mata dan hampir mengumpat. Namun pemandangan pertama yang ia lihat ada Irish dengan wajah cantiknya dan masih setia tengkurap dengan satu tangan memeluknya. "Ya ampun," lirih Tino beranjak pelan untuk duduk. Laki-laki itu memperhatikan selimut yang turun dan menampakkan punggung kecil Irish yang putih dalam cahaya remang. Tino menatapnya dari dekat, ia meraih salep di atas nakas dan mengobatinya di beberapa ruam-ruam yang sudah tak separah sebelumnya. "Luka apa saja ini?" gumam lirih Tino melihat punggung Irish yang dipenuhi beberapa luka di sana. "Tidak mungkin dia dicambuk, kan?" Saat jemarinya mengikuti arah luka di kulit putih Irish, tiba-tiba gadis itu bergerak dan sedikit memiringkan tubuhnya. "Astaga
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut