"Ini ruam-ruam karena alergi, apa Nona memakan suatu yang memicu alergi?" tanya Dokter Lilia pada Irish. Gadis itu mengangguk takut. "I-iya dok, ta-tapi saya hanya ma-makan se-sedikit." Irish menundukkan kepalanya saat Tino menatapnya tajam. Dokter Lilia mengangguk dan mengambil beberapa obat. "Nona memakan apa? Kacang, cokelat, atau..." "Cokelat, dok." Irish menjawabnya pekan. "Baiklah, jangan diulangi lagi ya, nanti bisa berbahaya. Ini saja rasanya pasti di kulit seperti terbakar, iya kan?" Dokter itu memperhatikan wajah Irish yang was-was. "Tidak papa kok, ini obatnya diminum dan salebnya dioleskan saja." "Terima kasih dok," ucap Tino merangkul pundak Irish. "Sama-sama Tuan." Irish dan Tino keluar dari dalam ruangan dokter, Tino masih merangkul pundak Irish dengan sangat posesif. Ia sendiri tidak tahu kalau ternyata makanan yang ia belikan siang tadi malah membuat istrinya sakit. "Harusnya tadi kau bilang kalau kau alergi!" seru Tino sembari membuka pintu mobil. "A-aku t
Semakin malam udara semakin dingin, Tino terbangun merasakan seseorang memeluknya dengan sangat-sangat erat. Laki-laki itu pada mulanya tidak akan bisa tidur bila seseorang memeluknya, kecuali dia yang memeluk orang tersebut. Decakan terdengar dari bibirnya, ia membuka kedua mata dan hampir mengumpat. Namun pemandangan pertama yang ia lihat ada Irish dengan wajah cantiknya dan masih setia tengkurap dengan satu tangan memeluknya. "Ya ampun," lirih Tino beranjak pelan untuk duduk. Laki-laki itu memperhatikan selimut yang turun dan menampakkan punggung kecil Irish yang putih dalam cahaya remang. Tino menatapnya dari dekat, ia meraih salep di atas nakas dan mengobatinya di beberapa ruam-ruam yang sudah tak separah sebelumnya. "Luka apa saja ini?" gumam lirih Tino melihat punggung Irish yang dipenuhi beberapa luka di sana. "Tidak mungkin dia dicambuk, kan?" Saat jemarinya mengikuti arah luka di kulit putih Irish, tiba-tiba gadis itu bergerak dan sedikit memiringkan tubuhnya. "Astaga
Irish menatap sarapannya, ia merasa tidak tenang setelah kejadian pagi tadi bersama Tino. Laki-laki itu membuat dada Irish berdebar tak karuan hanya dengan melihat wajah tampannya saja. Tiba-tiba tangan Irish meremas kuat sendok garpu di tangannya. 'Pembohong! Dia bilang dia tidak suka denganku, tidak tertarik denganku, tapi... Tapi dia mengecupku berkali-kali sampai aku rasanya hampir mati kehabisan oksigen!' Irish cemberut kesal, memakan makanannya. Ekspresinya mampu dibaca oleh Tino yang tak sengaja menatapnya. "Makan yang benar, setelah itu minum obatmu." Tino berucap. "I-iya." Selesai sarapan, Irish meminum obatnya dan merasakan gatal-gatal di tubuhnya juga ruamnya pun mulai menghilang. Gadis itu kini berada di kamarnya setelah ia menyelesaikan sarapannya. Irish tengah menata beberapa peralatan balet miliknya, dari rok tutu dari kain tile berwarna merah muda, hingga sepatunya yang sedikit usang. Sedangkan Tino memperhatikannya dari sofa, sembari memangku laptopnya. Ia men
Jam makan siang membuat Irish meninggalkan kelas dengan cepat. Apalagi saat salah satu anak didiknya mengatakan kalau ada seseorang yang menunggu Irish di depan. Gadis itu berjalan ke depan, di sana ia melihat Tino yang tengah berdiri menunggunya."Tino..." Irish mendekatinya. Laki-laki itu menoleh, ia menatap Irish yang masih dengan rok balet yang dia pakai. Lucu sekali. "Sudah jam makan siang, ayo pergi makan dulu," ajak Tino. "Ah ya, tu-tunggu sebentar. Barang-barangku be-belum aku kemasi!" seru Irish. Tino mengangguk, ia memperhatikan istrinya yang bergegas lari ke dalam sebuah ruangan. Di sana, Tino diam menatap pemandangan kota dari dalam gedung tersebut. Sampai tiba-tiba saja seorang laki-laki tidak sengaja berjalan di lorong tersebut hingga Tino menoleh dan menatapnya. "Oh, kau suaminya Irish?" tanya laki-laki itu. Tino mengerutkan keningnya, laki-laki yang menyapanya ini, laki-laki yang pagi tadi menyapa Irish. Dia, Edward. "Ya, aku suaminya," jawab Tino. Edward ter
Makan malam bersama di kediaman keluarga Morgan, Irish dan Tino sudah berada di sana sejak beberapa jam yang lalu. Malam ini sangat membahagiakan untuk Irish, ia bertemu kembali dengan mantan penasihat keluarganya, Paman Caesar yang sudah beberapa bulan ini kembali ke tempat asalnya di Austria. Irish pun kini tengah memeluk sepasang suami istri tersebut. Mereka berdua menatap Irish yang tersenyum manis dengan mata berkaca-kaca. "Non Irish, ya ampun..." Bibi Alpen memeluknya. "Bibi kangen, Non Irish kenapa sekarang kurus begini?" "Ya ampun nak..." Paman Caesar pun juga memeluknya. Sedangkan Sebastian dan Shela, juga para anak-anaknya hanya diam memperhatikan mereka. "I-Irish sekarang sudah menjadi ba-bagian dari ke-keluarga ini, Paman. I-Irish senang tinggal bersama me-mereka!" seru gadis itu terkekeh manis. "Jangan khawatir, Caesar. Aku akan menjaga Irish dengan baik," ujar Sebastian mendekati mereka dan merangkul Irish seperti memeluk anaknya sendiri. Irish mendongak menatap
Saat Paman Caesar dan Bibi Alpen berpamitan pulang, mereka berdua meminta waktu sebentar pada Tino untuk berbicara dengan Irish. Kini mereka bertiga berada di luar, Irish memeluk mereka berdua dengan sangat erat. "Jangan menangis ya nak, Bibi melakukan ini karena Paman dan Bibi tidak punya pilihan lain," bisik Bibi Alpen mengusap pipi Irish yang basah. "Apa suamimu tidak baik? Dia sering memarahimu, nak?" tanya Paman Caesar yang cemas saat melihat Irish menangis seperti ini. Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak Paman. Su-suamiku laki-laki yang baik, di-dia mencintaiku. Ba-bahkan Tino juga sangat pe-perhatian padaku se-sejak mengenalku. Pa-paman dan Bibi ti-tidak udah khawatir. I-irish hanya sedih sa-saat bersama kalian, I-Irish teringat dengan Mama dan Papa." Caesar mengusap air matanya, laki-laki itu sangat iba pada nasib Irish. Dulu hidupnya seperti seorang anak raja yang dimanja dan disayangi, namun semuanya berubah drastis saat kedua orang tuanya tiada. Keluar
Semalam Irish tidur bersama Tino. Laki-laki itu memeluknya dengan erat dan menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk gadis itu. Irish terbangun saat cahaya matahari menghangatkan wajahnya melalui celah jendela. "A-aduhh..." Irish mengusap wajahnya pelan. Gadis itu menatap ke arah samping di mana Tino, suaminya masih tertidur dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk lehernya yang hangat. Rasa menggelitik ingin menyentuh pipi suaminya ini. Irish mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Tino dengan lembut. 'Dia sangat tampan, dia juga memiliki sisi yang lembut di lain waktu. Tapi sosok ini, aku tidak tahu kapan aku bisa menyelami tentangnya,' batin Irish mengusap pipi Tino dengan ibu jarinya. "Tino, ba-bangun..." Irish menepuk lengan yang melilit kuat di pinggangnya. "Ck! Lima menit lagi, aku ngantuk!" Tino melepaskan pelukannya, laki-laki itu malah tengkurap dan memeluk bantal milik Irish. "Ka-katanya kau i-ingin berolahraga!" pekik Irish menepuk punggung suaminya di balik pi
Setelah beberapa hari dilalui dengan nyaman dan mulai adanya pendekatan satu sama lain dari Tino dan Irish. Kali ini pertama kalinya Tino datang ke perusahaan besar milik orang tua Irish. Di sana, Tino ditemani oleh Josh, asisten Sebastian. Tino merasa tersentuh saat semua karyawan di perusahaan besar itu memberikan hormat mereka pada Irish, putri pemilik perusahaan besar itu secara sah. "Selamat datang Tuan dan Nyonya," sapa Megan, dia adalah orang yang bertanggung jawab nomor satu di kantor itu selain pemiliknya saat ini, Irish. "Pagi," sapa Tino dan Irish kompak. "Mari, silakan masuk..." Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah ruangan yang mewah dan rapi. Irish duduk di samping Tino. "Nona Irish terlihat sangat cantik, bahkan lebih cantik dari saat kita terakhir kali bertemu," ujar Megan tersenyum manis seraya mengambil beberapa dokumen penting milik perusahaan itu. "Ya, ka-karena waktu itu kan saat Pa-papa dan Mama me-meninggal, a-aku menangis terus saat itu," ujar Irish ters
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut