Saat Paman Caesar dan Bibi Alpen berpamitan pulang, mereka berdua meminta waktu sebentar pada Tino untuk berbicara dengan Irish. Kini mereka bertiga berada di luar, Irish memeluk mereka berdua dengan sangat erat. "Jangan menangis ya nak, Bibi melakukan ini karena Paman dan Bibi tidak punya pilihan lain," bisik Bibi Alpen mengusap pipi Irish yang basah. "Apa suamimu tidak baik? Dia sering memarahimu, nak?" tanya Paman Caesar yang cemas saat melihat Irish menangis seperti ini. Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak Paman. Su-suamiku laki-laki yang baik, di-dia mencintaiku. Ba-bahkan Tino juga sangat pe-perhatian padaku se-sejak mengenalku. Pa-paman dan Bibi ti-tidak udah khawatir. I-irish hanya sedih sa-saat bersama kalian, I-Irish teringat dengan Mama dan Papa." Caesar mengusap air matanya, laki-laki itu sangat iba pada nasib Irish. Dulu hidupnya seperti seorang anak raja yang dimanja dan disayangi, namun semuanya berubah drastis saat kedua orang tuanya tiada. Keluar
Semalam Irish tidur bersama Tino. Laki-laki itu memeluknya dengan erat dan menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk gadis itu. Irish terbangun saat cahaya matahari menghangatkan wajahnya melalui celah jendela. "A-aduhh..." Irish mengusap wajahnya pelan. Gadis itu menatap ke arah samping di mana Tino, suaminya masih tertidur dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk lehernya yang hangat. Rasa menggelitik ingin menyentuh pipi suaminya ini. Irish mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Tino dengan lembut. 'Dia sangat tampan, dia juga memiliki sisi yang lembut di lain waktu. Tapi sosok ini, aku tidak tahu kapan aku bisa menyelami tentangnya,' batin Irish mengusap pipi Tino dengan ibu jarinya. "Tino, ba-bangun..." Irish menepuk lengan yang melilit kuat di pinggangnya. "Ck! Lima menit lagi, aku ngantuk!" Tino melepaskan pelukannya, laki-laki itu malah tengkurap dan memeluk bantal milik Irish. "Ka-katanya kau i-ingin berolahraga!" pekik Irish menepuk punggung suaminya di balik pi
Setelah beberapa hari dilalui dengan nyaman dan mulai adanya pendekatan satu sama lain dari Tino dan Irish. Kali ini pertama kalinya Tino datang ke perusahaan besar milik orang tua Irish. Di sana, Tino ditemani oleh Josh, asisten Sebastian. Tino merasa tersentuh saat semua karyawan di perusahaan besar itu memberikan hormat mereka pada Irish, putri pemilik perusahaan besar itu secara sah. "Selamat datang Tuan dan Nyonya," sapa Megan, dia adalah orang yang bertanggung jawab nomor satu di kantor itu selain pemiliknya saat ini, Irish. "Pagi," sapa Tino dan Irish kompak. "Mari, silakan masuk..." Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah ruangan yang mewah dan rapi. Irish duduk di samping Tino. "Nona Irish terlihat sangat cantik, bahkan lebih cantik dari saat kita terakhir kali bertemu," ujar Megan tersenyum manis seraya mengambil beberapa dokumen penting milik perusahaan itu. "Ya, ka-karena waktu itu kan saat Pa-papa dan Mama me-meninggal, a-aku menangis terus saat itu," ujar Irish ters
"A-ada apa tadi ribut-ribut?" Irish menatap Tino yang kini masih berada di ruangan kerjanya. "Tidak ada." Laki-laki itu menjawabnya dengan sedikit kaku. Irish terdiam, ia meletakkan secangkir kopi seperti yang biasanya dia buatkan untuk sang suami."A-apa kau akan le-lembur malam ini?" tanya Irish lagi. "Heem, tidurlah lebih dulu." Anggukan diberikan oleh Irish, gadis itu kembali berjalan keluar. Ia menutup pitu ruangan kerja Tino pelan-pelan. Perasaan tak nyaman mulai Irish rasakan, gadis itu berdiri di balik pintu dan menyentuh dadanya. 'Semoga tidak terjadi apa-apa lagi, aku tidak siap bila harus ribut lagi dengannya,' batin Irish sedih. 'Aku sudah mulai mencintainya, kebiasaannya, dan selalu memaafkan apapun yang dia lakukan padaku. Kumohon Ya Tuhan, jauhkan segala hal buruk padaku dan suamiku.' Irish kembali membuka sedikit pintu ruangan kerja Tino. Dia menatap suaminya yang tengah bertelefon dengan seseorang sembari membuka lembaran-lembaran berkas. Barulah gadis itu be
Tepat pukul tujuh Irish baru saja membuka kedua matanya, gadis itu langsung tersentak kaget. "Hah... A-aku kesiangan!" pekiknya panik. Gadis itu buru-buru turun dari atas ranjang, ia bergegas membersihkan tubuhnya dan di sana Irish melihat kemeja yang Tino pakai semalam sudah berada di dalam keranjang baju kotor. "Dia su-sudah bersiap," gumam Irish buru-buru. Beberapa menit ia bersiap, gadis itu berjalan menuruni anak tangga. Di bawah sana Tino sedang sarapan seorang diri. "Pa-pagi," sapa Irish menatapnya. "Heemmm," jawab laki-laki itu bergumam pelan. Irish pun duduk mendekatinya. "Maaf a-aku bangun ke-kesiangan." "Lain waktu kalau kau sudah tidur, jangan keluar kamar lagi! Kalau aku belum ke kamar, tidak perlu mencariku." Suara bariton suaminya kali ini terdengar sangat dingin. Mungkinkah dia marah?Irish hanya mengangguk kecil. Gadis itu hendak melenggang ke dapur, tapi Tino menahan tangannya dengan cepat. "Sarapan dulu," ujarnya. "Iya." Begitu Irish duduk, Tino malah b
Sepeninggal Irish, nampaknya Tino masih biasa saja. Sepertinya dia sama sekali tidak peka dengan apa yang istrinya rasakan. Laki-laki itu kini berdiri di depan rak kayu tinggi berisi banyak berkas yang kini sedang ia cari salah satunya. Pintu ruangan Tino tiba-tiba saja terbuka, di sana muncul Brien yang membawa rantang makanan seperti yang Irish bawa tadi. "Ah lumayan dapat makan siang dari calon janda cantikku," ucap Brien berjalan mendekati meja kerja Tino. Saat itu juga Tino menghentikan langkah Brien, ia menepuk pundak kiri Brien. "Dapat dari mana kau rantang makanan itu?!" tanya Tino dengan tatapan tajam. "Kepo aja jadi orang!" balas Brien. Seketika Tino merebut rantang yang berada di tangan Brien. "Istriku yang memberikan padamu heh?!" Brien tersenyum tipis, ia berdiri sembari bersedekap dengan wajah songong andalannya. "Sudahlah, ceraikan saja kau kau tidak bisa menghargai istrimu! Dia cantik, dia menjadi janda saja yang antre banyak! Buat apa gadis secantik dia diaba
Hujan yang turun dengan sangat deras membuat Irish merasa merinding dan takut. Ia mengingat terjadinya kecelakaan yang dialami orang tuanya dulu. Gadis itu kini duduk di halte, seorang diri, jalanan yang sangat sepi dan dingin mencekam. Perasaan Irish seharian ini sangat kacau, sampai Madam Erika memarahinya karena ia tidak bisa fokus saat mengajar. 'Harusnya bila aku kurang puas melayaninya sehari-hari sebagai istri, kurangku di mana sebagai istri yang perhatian pada setiap apa yang dia inginkan, dia bisa mengatakan padaku salah dan keliruku di mana, bukan seperti ini.' Irish menahan untuk tidak menangis, tapi tetap saja tidak bisa. Gadis itu mengusap wajahnya dan menangis kuat-kuat di sana tanpa suara. 'Setelah beberapa hari dia memperlakukan aku seperti istri yang sangat-sangat dia cintai, tapi kenapa sejak pagi dia menjadi dingin lagi, bahkan aku melihat mantannya yang keluar dari ruangannya dengan wajah riang.' Irish menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan menangis
Suhu udara yang dingin menjadi begitu hangat dan panas, Irish merasakan tubuhnya hancur dan remuk dalam pelukan yang begitu nyaman. Berkali-kali nyaris tak terhitung jatuhnya kecupan di pucuk kepalanya. Tubuh mereka saling melekat antara kulit dan kulit dengan salah satu yang kalah di antaranya. "Kau mengantuk, kan? Hem... Bagaimana? Masih mau menawariku lagi?" bisik Tino menatap Irish yang menggeleng cepat-cepat. Matanya masih basah, gadis itu meringkuk seperti bayi. Ia menggigit ujung jemarinya dan masih mengaduh tiap sesenti sekalipun dia bergerak. "Di-dingin," rintihnya."Sebentar, kau bisa duduk kan?" Tino beranjak meraih kimono putihnya di tepi ranjang. "Mu-mungkin tidak. Tubuhku da-dari ujung ke-kepala sampai ujung ka-kaki rasanya seperti ha-hancur!" rengek Irish meringkuk menatap Tino yang berdiri di samping ranjang. Laki-laki itu tersenyum, ia menghargai rasa sakit yang pertama kali Irish rasakan karena pengalaman pertamanya. Matanya mengerjap, bibir tipisnya yang sedik