Sepeninggal Irish, nampaknya Tino masih biasa saja. Sepertinya dia sama sekali tidak peka dengan apa yang istrinya rasakan. Laki-laki itu kini berdiri di depan rak kayu tinggi berisi banyak berkas yang kini sedang ia cari salah satunya. Pintu ruangan Tino tiba-tiba saja terbuka, di sana muncul Brien yang membawa rantang makanan seperti yang Irish bawa tadi. "Ah lumayan dapat makan siang dari calon janda cantikku," ucap Brien berjalan mendekati meja kerja Tino. Saat itu juga Tino menghentikan langkah Brien, ia menepuk pundak kiri Brien. "Dapat dari mana kau rantang makanan itu?!" tanya Tino dengan tatapan tajam. "Kepo aja jadi orang!" balas Brien. Seketika Tino merebut rantang yang berada di tangan Brien. "Istriku yang memberikan padamu heh?!" Brien tersenyum tipis, ia berdiri sembari bersedekap dengan wajah songong andalannya. "Sudahlah, ceraikan saja kau kau tidak bisa menghargai istrimu! Dia cantik, dia menjadi janda saja yang antre banyak! Buat apa gadis secantik dia diaba
Hujan yang turun dengan sangat deras membuat Irish merasa merinding dan takut. Ia mengingat terjadinya kecelakaan yang dialami orang tuanya dulu. Gadis itu kini duduk di halte, seorang diri, jalanan yang sangat sepi dan dingin mencekam. Perasaan Irish seharian ini sangat kacau, sampai Madam Erika memarahinya karena ia tidak bisa fokus saat mengajar. 'Harusnya bila aku kurang puas melayaninya sehari-hari sebagai istri, kurangku di mana sebagai istri yang perhatian pada setiap apa yang dia inginkan, dia bisa mengatakan padaku salah dan keliruku di mana, bukan seperti ini.' Irish menahan untuk tidak menangis, tapi tetap saja tidak bisa. Gadis itu mengusap wajahnya dan menangis kuat-kuat di sana tanpa suara. 'Setelah beberapa hari dia memperlakukan aku seperti istri yang sangat-sangat dia cintai, tapi kenapa sejak pagi dia menjadi dingin lagi, bahkan aku melihat mantannya yang keluar dari ruangannya dengan wajah riang.' Irish menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan menangis
Suhu udara yang dingin menjadi begitu hangat dan panas, Irish merasakan tubuhnya hancur dan remuk dalam pelukan yang begitu nyaman. Berkali-kali nyaris tak terhitung jatuhnya kecupan di pucuk kepalanya. Tubuh mereka saling melekat antara kulit dan kulit dengan salah satu yang kalah di antaranya. "Kau mengantuk, kan? Hem... Bagaimana? Masih mau menawariku lagi?" bisik Tino menatap Irish yang menggeleng cepat-cepat. Matanya masih basah, gadis itu meringkuk seperti bayi. Ia menggigit ujung jemarinya dan masih mengaduh tiap sesenti sekalipun dia bergerak. "Di-dingin," rintihnya."Sebentar, kau bisa duduk kan?" Tino beranjak meraih kimono putihnya di tepi ranjang. "Mu-mungkin tidak. Tubuhku da-dari ujung ke-kepala sampai ujung ka-kaki rasanya seperti ha-hancur!" rengek Irish meringkuk menatap Tino yang berdiri di samping ranjang. Laki-laki itu tersenyum, ia menghargai rasa sakit yang pertama kali Irish rasakan karena pengalaman pertamanya. Matanya mengerjap, bibir tipisnya yang sedik
Setelah seharian Irish tidur dan asik ditemani Tino di rumah, malam ini mereka berniat untuk jalan-jalan. Di luar cuaca sudah tidak mendung lagi, hujan sudah reda dan Irish tidak sabar ingin jalan-jalan ke kota bersama suaminya. "Bawa jaketnya, di luar dingin," ujar Tino menyahut jaket tebal berwarna putih milik Irish. "Heem, ma-mana..." "Sini," panggilnya. Irish menatap wajah tulus laki-laki itu, ia bahkan memakaikannya pada Irish. Sorot mata teduh gadis itu nampak menatapnya dengan sangat dalam."Kenapa, hem?" Tino menatapnya balik. "Aku juga sering memakaikan seperti ini pada Tiana, meskipun dia sudah menikah." "Kalau pa-pada Felia?" tanya Irish, dia selalu membawa Felia ke mana-mana. "Tidak pernah sama sekali." "Oh ya? Bukannya katamu kau sudah lama yang menjalin hubungan dengan Felia, masa bermesraan saja tidak pernah?" Tino tersenyum tipis, sampai tiba-tiba tubuh Irish tersentak saat Tino menarik resleting jaket itu hingga di bawah dagu Irish dengan sangat cepat.Laki-l
"Heem, Ma-madam Erika memintaku untuk be-bergabung menggantikan Odette?" Irish menatap undangan yang pihak akademi berikan padanya. Dua hari lagi akan ada pertunjukan penting di sebuah pentas seni, Odette yang sakit terpaksa harus dicarikan ganti. Dan Madam Erika meminta Irish untuk menggantikannya. Tino yang duduk di sampingnya menatap televisi, kini melirik istrinya yang nampak dilema. Irish berbicara sendiri dan bingung."Ikut saja, Sayang... Kau punya bakat yang luar biasa, percuma kalau kau hanya diam menyimpan bakatmu," ujar Tino. "Ta-tapi aku malu," cicit Irish berbaring memeluk Tino dan menyandarkan kepalanya di dada laki-laki itu. Untuk pertama kalinya, Tino tersenyum tipis. Rupanya Irish sudah menjadikannya orang yang paling dekat, hingga dia mau menempel seperti ini. "Ekhemm..." Tino berdehem pelan memancing istrinya sampai mendongak. "Kenapa?" cicit Irish mencebikkan bibirnya. "Bagaimana kalau aku memberikanmu hadiah, asal kau mau tampil." Irish langsung menegakkan
Saat hari sudah sore, Irish berada di dalam kelasnya sendirian. Gadis itu masih berlatih seorang diri. Dia akan tampil di depan orang banyak, ia harus menyiapkan diri. Namun, beberapa menit yang lalu Irish sudah menghubungi Tino untuk menjemputnya, dan sang suami mengatakan kalau dia masih ada sedikit urusan dan meminta Irish untuk menunggu sebentar. "Hemm, hujan la-lagi," ucap Irish membuka jendela ruangan latihannya. Sampai tiba-tiba saja suara pintu terbuka membuat Irish menoleh ke belakang, ia mengira kalau suaminya yang datang, namun Irish salah. Justru Edward yang kini muncul membawakan sebuah minuman di dalam cangkir. "Rish, aku buatkan kau cokelat panas," ujar Edward memberikan secangkir cokelat itu pada Irish. "Te-terima kasih Ed," balas Irish tersenyum. Mereka berdua duduk di bangku lorong di luar berdua, Irish membawa tas besarnya. Sedangkan Edward duduk di sampingnya juga membawa segelas cokelat panasnya. "Emmm... Ngomong-ngomong ka-kau menginap di sini?" tanya Iris
"Ke-kenapa lama sekali?" Irish menatap suaminya yang masuk ke dalam mobil. Tino meletakkan tas milik istrinya di kursi belakang. Laki-laki itu diam mencengkram setir mobilnya dengan wajah kesal. Irish pun diam memperhatikannya sembari menggenggam gelas berisi minuman susu cokelat hangat kesukaannya. "Tino..." Irish menarik pelan lengan laki-laki itu. Sampai tiba-tiba Tino menoleh cepat, laki-laki langsung mengulurkan tangannya dan menarik tengkuk leher Irish, mengecup bibir gadis itu dengan penuh tuntutan. Irish melebarkan kedua matanya, tangannya meremas kuat gelas yang ia bawa. Bukan hanya minuman itu yang panas, namun sekujur tubuh Irish kini terasa panas. Hingga tautan bibir mereka terlepas, Tino mengusap pipi Irish dengan ibu jarinya dan napas mereka yang sedikit memburu. "Kau pasti dingin, kan?" bisik Tino menyilakan rambut indah milik istrinya. Irish hanya mengangguk, sesungguhnya kini kepalanya terasa kosong. Gadis itu meletakkan gelas minumannya, dan kembali menatap T
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut