Makan malam bersama di kediaman keluarga Morgan, Irish dan Tino sudah berada di sana sejak beberapa jam yang lalu. Malam ini sangat membahagiakan untuk Irish, ia bertemu kembali dengan mantan penasihat keluarganya, Paman Caesar yang sudah beberapa bulan ini kembali ke tempat asalnya di Austria. Irish pun kini tengah memeluk sepasang suami istri tersebut. Mereka berdua menatap Irish yang tersenyum manis dengan mata berkaca-kaca. "Non Irish, ya ampun..." Bibi Alpen memeluknya. "Bibi kangen, Non Irish kenapa sekarang kurus begini?" "Ya ampun nak..." Paman Caesar pun juga memeluknya. Sedangkan Sebastian dan Shela, juga para anak-anaknya hanya diam memperhatikan mereka. "I-Irish sekarang sudah menjadi ba-bagian dari ke-keluarga ini, Paman. I-Irish senang tinggal bersama me-mereka!" seru gadis itu terkekeh manis. "Jangan khawatir, Caesar. Aku akan menjaga Irish dengan baik," ujar Sebastian mendekati mereka dan merangkul Irish seperti memeluk anaknya sendiri. Irish mendongak menatap
Saat Paman Caesar dan Bibi Alpen berpamitan pulang, mereka berdua meminta waktu sebentar pada Tino untuk berbicara dengan Irish. Kini mereka bertiga berada di luar, Irish memeluk mereka berdua dengan sangat erat. "Jangan menangis ya nak, Bibi melakukan ini karena Paman dan Bibi tidak punya pilihan lain," bisik Bibi Alpen mengusap pipi Irish yang basah. "Apa suamimu tidak baik? Dia sering memarahimu, nak?" tanya Paman Caesar yang cemas saat melihat Irish menangis seperti ini. Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak Paman. Su-suamiku laki-laki yang baik, di-dia mencintaiku. Ba-bahkan Tino juga sangat pe-perhatian padaku se-sejak mengenalku. Pa-paman dan Bibi ti-tidak udah khawatir. I-irish hanya sedih sa-saat bersama kalian, I-Irish teringat dengan Mama dan Papa." Caesar mengusap air matanya, laki-laki itu sangat iba pada nasib Irish. Dulu hidupnya seperti seorang anak raja yang dimanja dan disayangi, namun semuanya berubah drastis saat kedua orang tuanya tiada. Keluar
Semalam Irish tidur bersama Tino. Laki-laki itu memeluknya dengan erat dan menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal untuk gadis itu. Irish terbangun saat cahaya matahari menghangatkan wajahnya melalui celah jendela. "A-aduhh..." Irish mengusap wajahnya pelan. Gadis itu menatap ke arah samping di mana Tino, suaminya masih tertidur dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk lehernya yang hangat. Rasa menggelitik ingin menyentuh pipi suaminya ini. Irish mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Tino dengan lembut. 'Dia sangat tampan, dia juga memiliki sisi yang lembut di lain waktu. Tapi sosok ini, aku tidak tahu kapan aku bisa menyelami tentangnya,' batin Irish mengusap pipi Tino dengan ibu jarinya. "Tino, ba-bangun..." Irish menepuk lengan yang melilit kuat di pinggangnya. "Ck! Lima menit lagi, aku ngantuk!" Tino melepaskan pelukannya, laki-laki itu malah tengkurap dan memeluk bantal milik Irish. "Ka-katanya kau i-ingin berolahraga!" pekik Irish menepuk punggung suaminya di balik pi
Setelah beberapa hari dilalui dengan nyaman dan mulai adanya pendekatan satu sama lain dari Tino dan Irish. Kali ini pertama kalinya Tino datang ke perusahaan besar milik orang tua Irish. Di sana, Tino ditemani oleh Josh, asisten Sebastian. Tino merasa tersentuh saat semua karyawan di perusahaan besar itu memberikan hormat mereka pada Irish, putri pemilik perusahaan besar itu secara sah. "Selamat datang Tuan dan Nyonya," sapa Megan, dia adalah orang yang bertanggung jawab nomor satu di kantor itu selain pemiliknya saat ini, Irish. "Pagi," sapa Tino dan Irish kompak. "Mari, silakan masuk..." Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah ruangan yang mewah dan rapi. Irish duduk di samping Tino. "Nona Irish terlihat sangat cantik, bahkan lebih cantik dari saat kita terakhir kali bertemu," ujar Megan tersenyum manis seraya mengambil beberapa dokumen penting milik perusahaan itu. "Ya, ka-karena waktu itu kan saat Pa-papa dan Mama me-meninggal, a-aku menangis terus saat itu," ujar Irish ters
"A-ada apa tadi ribut-ribut?" Irish menatap Tino yang kini masih berada di ruangan kerjanya. "Tidak ada." Laki-laki itu menjawabnya dengan sedikit kaku. Irish terdiam, ia meletakkan secangkir kopi seperti yang biasanya dia buatkan untuk sang suami."A-apa kau akan le-lembur malam ini?" tanya Irish lagi. "Heem, tidurlah lebih dulu." Anggukan diberikan oleh Irish, gadis itu kembali berjalan keluar. Ia menutup pitu ruangan kerja Tino pelan-pelan. Perasaan tak nyaman mulai Irish rasakan, gadis itu berdiri di balik pintu dan menyentuh dadanya. 'Semoga tidak terjadi apa-apa lagi, aku tidak siap bila harus ribut lagi dengannya,' batin Irish sedih. 'Aku sudah mulai mencintainya, kebiasaannya, dan selalu memaafkan apapun yang dia lakukan padaku. Kumohon Ya Tuhan, jauhkan segala hal buruk padaku dan suamiku.' Irish kembali membuka sedikit pintu ruangan kerja Tino. Dia menatap suaminya yang tengah bertelefon dengan seseorang sembari membuka lembaran-lembaran berkas. Barulah gadis itu be
Tepat pukul tujuh Irish baru saja membuka kedua matanya, gadis itu langsung tersentak kaget. "Hah... A-aku kesiangan!" pekiknya panik. Gadis itu buru-buru turun dari atas ranjang, ia bergegas membersihkan tubuhnya dan di sana Irish melihat kemeja yang Tino pakai semalam sudah berada di dalam keranjang baju kotor. "Dia su-sudah bersiap," gumam Irish buru-buru. Beberapa menit ia bersiap, gadis itu berjalan menuruni anak tangga. Di bawah sana Tino sedang sarapan seorang diri. "Pa-pagi," sapa Irish menatapnya. "Heemmm," jawab laki-laki itu bergumam pelan. Irish pun duduk mendekatinya. "Maaf a-aku bangun ke-kesiangan." "Lain waktu kalau kau sudah tidur, jangan keluar kamar lagi! Kalau aku belum ke kamar, tidak perlu mencariku." Suara bariton suaminya kali ini terdengar sangat dingin. Mungkinkah dia marah?Irish hanya mengangguk kecil. Gadis itu hendak melenggang ke dapur, tapi Tino menahan tangannya dengan cepat. "Sarapan dulu," ujarnya. "Iya." Begitu Irish duduk, Tino malah b
Sepeninggal Irish, nampaknya Tino masih biasa saja. Sepertinya dia sama sekali tidak peka dengan apa yang istrinya rasakan. Laki-laki itu kini berdiri di depan rak kayu tinggi berisi banyak berkas yang kini sedang ia cari salah satunya. Pintu ruangan Tino tiba-tiba saja terbuka, di sana muncul Brien yang membawa rantang makanan seperti yang Irish bawa tadi. "Ah lumayan dapat makan siang dari calon janda cantikku," ucap Brien berjalan mendekati meja kerja Tino. Saat itu juga Tino menghentikan langkah Brien, ia menepuk pundak kiri Brien. "Dapat dari mana kau rantang makanan itu?!" tanya Tino dengan tatapan tajam. "Kepo aja jadi orang!" balas Brien. Seketika Tino merebut rantang yang berada di tangan Brien. "Istriku yang memberikan padamu heh?!" Brien tersenyum tipis, ia berdiri sembari bersedekap dengan wajah songong andalannya. "Sudahlah, ceraikan saja kau kau tidak bisa menghargai istrimu! Dia cantik, dia menjadi janda saja yang antre banyak! Buat apa gadis secantik dia diaba
Hujan yang turun dengan sangat deras membuat Irish merasa merinding dan takut. Ia mengingat terjadinya kecelakaan yang dialami orang tuanya dulu. Gadis itu kini duduk di halte, seorang diri, jalanan yang sangat sepi dan dingin mencekam. Perasaan Irish seharian ini sangat kacau, sampai Madam Erika memarahinya karena ia tidak bisa fokus saat mengajar. 'Harusnya bila aku kurang puas melayaninya sehari-hari sebagai istri, kurangku di mana sebagai istri yang perhatian pada setiap apa yang dia inginkan, dia bisa mengatakan padaku salah dan keliruku di mana, bukan seperti ini.' Irish menahan untuk tidak menangis, tapi tetap saja tidak bisa. Gadis itu mengusap wajahnya dan menangis kuat-kuat di sana tanpa suara. 'Setelah beberapa hari dia memperlakukan aku seperti istri yang sangat-sangat dia cintai, tapi kenapa sejak pagi dia menjadi dingin lagi, bahkan aku melihat mantannya yang keluar dari ruangannya dengan wajah riang.' Irish menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan menangis
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut