"Mami, sekarang itu hari kamis, besok baru hari jum'at!" "Mami mau ke mana sih, kok dari tadi menatap kalender terus?" Tino dan Tiano duduk di sofa menemani Maminya dan juga adik perempuan mereka. Tiana sendiri asik dengan buku gambar yang kembar belikan di sekolahnya. "Tidak ada Sayang, Mami hanya ingin melihat saja," jawab Shela tersenyum manis. "Kata Opa tadi, Mami sama Papi mau menikah. Emmm, menikah itu, apa sih, Mami?" tanya Tiano dengan polosnya. Shela tersenyum dan ia merangkul ketiga anaknya, mereka tampak asik menikmati malam ini di sofa besar di dekat perapian di ruang keluarga. "Menikah itu... Mami dan Papi akan selamanya bersama. Kita tidak jauh-jauh lagi dari Papi, Sayang." Shela menjelaskan sebisa mungkin, mereka terlalu kecil untuk memahami. "Wahh, berarti kita punya keluarga!" pekik Tino terkikik geli. Lucu sekali putranya ini, Shela pun merangkul mereka bertiga dan tersenyum bahagia. Tanpa sengaja, Sebastian yang baru saja pulang dari suatu tempat, ia berjal
Shela dan Sebastian pergi ke tempat di mana mereka sudah membuat janji pada seorang perancang busana pengantin ternama di kota Birmingham. Nyonya Kimberly Briliana. Di butik megahnya, Shela merasa terpana melihat banyaknya gaun pengantin yang mahal dan pastinya di tempat itu Sebastian akan mengeluarkan banyak uangnya hanya untuk sekedar membeli gaun. Laki-laki yang boros. "Ini adalah empat gaun pengantin yang Nyonya pilih kemarin, Nyonya bisa langsung mencobanya satu persatu," ujar Nyonya Kimberly menunjukkan empat gaun pada Shela. "Terima kasih Nyonya," jawab Shela tersenyum manis. Wanita itu mengangguk, dan kini Shela hanya bersama Sebastian di sana. Laki-laki itu menatapnya lekat-lekat sebelum dia kembali melirik empat gaun tanpa lengan di hadapannya. Demi Tuhan, ini bukan Shela yang memilih, tapi Tiana dan Stevani. "Aku harap istriku tidak memakai gaun menyedihkan seperti ini," ujar Sebastian duduk di sebuah sofa. "Me-menyedihkan apanya? Gaun ini sangat cantik, anggun, ahh
Shela menunjukkan sebuah buku yang ia baca sejak tadi, dia sendiri juga baru tahu kalau Sebastian ternyata dulunya gemar menulis. Laki-laki itu meraih buku bersampul abu-abu yang ada di tangan Shela. Ditatapnya wajah gadis itu sebelum Sebastian mengangkat buku tersebut. "Ah kau membaca semua isi tentang buku ini?" tanya laki-laki itu tersenyum tipis. "Ti-tidak semua, hanya beberapa saja." Bibir Shela cemberut menjelaskannya. "Lucu sekali semua isi buku-buku ini, jauh dari apa yang aku miliki. Termasuk wanita-wanita tipe idealmu." Salah satu alis Sebastian pun terangkat. Ia sudah menduga kalau Shela pasti akan membaca bagian itu. Buku itu ditutup lagi oleh Sebastian, dia melemparkan buku tersebut ke atas sebuah meja kecil dan tersenyum smirk di hadapan Shela."Apa kau masih percaya dengan isi buku ini?" tanya laki-laki itu lekas duduk di samping Shela. "Emmm, bukannya itu tulisanmu? Tentu saja aku percaya." Shela menunduk. "Eh..."Seketika ia memekik kala Sebastian meraih kedua k
"Beberapa hari menjelang pernikahanmu, jangan melakukan hal yang melelahkan. Biar di kembar Mama dan Papa yang menjaga, Tiana ingin tidur dengan Mama." Stevani menemui Shela yang tengah duduk di sofa besar di balkon lantai dua. Wanita itu bersama tiga si kembar yang kini bersembunyi di baliknya. "Tapi Ma, kalau Tiana tidur sama Mama, lantas Tino dan Tiano bagaimana man-""Kita sudah dewasa, Mami. Kita nanti mau jadi Boss! Tidak takut kok, tidur sendirian!" sahut Tiano, anak itu bersungut-sungut ingin tidur sendiri. "Iya, anak laki-laki kata Opa harus berani!" Tino mengimbuhi. Shela tersenyum tipis, ia menatap Tina yang memanyunkan bibirnya dan memeluk kaki Stevani dari belakang. Seolah-olah dia menunjukkan pada Shela kalau dirinya benar-benar ingin tidur dengan Neneknya. "Bobo sama Oma," cicit anak itu. Shela mengangguk. "Boleh, tapi jangan nakal ya, Sayang." Senyuman Tiana mengembang. "Iya Mamiku!" "Ayo Oma... Ayo tidur, Oma yang bacain kisah katak dan putri bunga ya," ajak
Dua Hari Kemudian..."Mami cantik sekali, wahh... Gaunnya sangat cantik, seperti kelopak bunga mawar putih!" "Mami seperti princess!" Tiano menyahuti kembaran laki-lakinya yang berdiri di sampingnya. "Cantik seperti Tiana," sahut Tiana dengan wajah malu-malu. Dua perias yang menemani Shela yang baru selesai berdandan pun hanya tersenyum manis. Tiga anak itu sangat manis sekali. Sedangkan Shela juga tersenyum tak kalah bahagianya dari mereka bertiga. "Terima kasih, Sayangku..." Shela mengusap pucuk kepala ketiga anaknya. "Sudah Nona," ujar salah satu perias baru saja menyelesaikan memasang perhiasan pada Shela. Shela membalikkan badannya menatap cermin di hadapannya. Ternyata pujian yang si kembar berikan memang tidak berbohong, dia sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berlengan panjang berwarna putih salju dengan kain renda-renda yang sangat cantik. Selera Sebastian tidak main-main. "Mami cantik sekali, hemm... Kalau Tiano sudah besar nanti mau mencari pacar seperti Mam
Saat pagi tiba, Shela terkejut dia terbangun sudah ada tiga anaknya di atas ranjang dan Sebastian tidur di ujung bersama Tiana yang memeluknya. Shela mengembuskan napasnya pelan, di sampingnya ada Tiano yang memeluknya dengan erat. "Aduh," lirih Shela memegangi kepalanya. "Sayang," ucap Sebastian terkejut. "Masih sakit?""Sedikit, tapi tidak papa." Gadis itu mengembuskan napasnya pelan. "Anak-anak kok bisa ada di sini?" "Iya, tadi Mama mengantarkan mereka ke sini... Ini kan sudah siang," jawab Sebastian. "Hah?!" Shela memekik kaget, gadis itu langsung menoleh menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ya ampun!Shela mendengus pelan, dia langsung menyibak selimutnya. Sebastian terkekeh melihat wajah istrinya yang terkejut. Laki-laki itu berjalan menidurkan Tiana di keranjang tidur milik anak itu di sebelah tempat tidur Shela. "Tidak papa bangun siang, anak-anak kan libur sekolah," ujar Sebastian mendekati Shela yang duduk di tepi ranjang, dia mengecup pipi ki
"Mama pokoknya harus mengirim kabar tentang anak-anak setiap lima menit sekali! Entah video atau apapun!" Seru Shela pada sang Mama, Stavani kini merapikan syal yang Shela pakai. Bagaimana pun juga di mata Stevani, Shela masih seperti anak kecil. "Iya Sayang, tenang saja nak..." "Janji dulu!" Shela mengulurkan jari kelingkingnya. Sebastian dan Ferdi terkekeh melihat tingkah Shela. Padahal ketiga anaknya hanya menonton saja, mereka bertiga memang bertingkah konyol dan manja, ternyata Maminya malah lebih parah."Sudah cepat berangkat, sudah malam. Jangan sampai tertinggal pesawat," ujar Ferdi pada mereka. Sebastian mendekati Shela dan menggenggam telapak tangannya. "Bye Mami!" Ketiga anaknya kompak memancarkan wajah bahagia dan melambaikan tangannya saat Shela menuruni tangga teras. "Hati-hati ya, Mami," teriak Tiano. "Iya Sayang." Shela dan Sebastian bersamaan menjawab. "Papi, ditunggu transferannya!" teriak Tino dengan senyuman cengiran andalannya. "Adiknya Tiana juga jangan
"Kau menikah tidak mengundang kami, heh?! Kau pikir kau siapa, beraninya kau Sebastian!" Laros, sepupu Sebastian itu mencekik leher Sebastian dengan lengannya saat mereka berkumpul di teras lantai satu rumah yang Sebastian tempati. Tapi dia tidak mencekiknya dengan serius, lantaran kesan dan geram saja pada sepupunya itu. "Ya, dia sudah tidak butuh kita lagi!" sahut Clarvin menghisap cerutunya dan mengembuskan asapnya ke udara. Sebastian tersenyum tipis. "Apa pentingnya mengundang manusia tidak berguna seperti kalian," jawabnya santai. "Dasar kau ini, tetap saja mulutmu itu beracun saat berbicara, ya," sinis Laros. Ketiga laki-laki itu menghabiskan sore hingga malam dengan mengobrol di teras membahas tentang pekerjaan mereka, masa lalu mereka, dan banyak hal lagi. Selagi Shela masih istirahat di dalam rumah, Sebastian akan menghabiskan waktu bersama saudara-saudaranya saja. "Bas, kabarnya kau punya tiga anak kembar ya? Kenapa tidak diajak?" tanya Robbin seraya meletakkan kartu
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut