Cahaya matahari begitu menyengat hangat dan lembut di sela-sela jendela kamar yang tertutup gorden. Sebastian membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tubuhnya terasa hangat menindih sesuatu yang lembut dan sehalus sutera. Pemandangan pertama yang ia lihat saat kedua matanya terbuka adalah wajah Shela yang masih lelap dalam tidurnya dengan selimut merosot hingga menampakkan tubuh atas gadis itu yang membuat Sebastian kembali mabuk kepayang. "Istriku," lirih Sebastian tersenyum tipis, ia mengecup kening Shela dan menarik selimutnya tinggi-tinggi menutupi tubuh Shela. Sebastian tidak segera beranjak, ia membiarkan satu lengan kekarnya dijadikan bantal oleh Shela. Sesekali Sebastian memainkan pipi gembil istrinya, memainkan hidung mancungnya, dan bibir tipisnya yang memerah. "Apa dia selelah ini?" Sebastian menyadari kebodohannya, semalam dia merasa tidak akan ada hari esok. Dia menginginkan Shela, seolah dahaganya selama ini telah tersiram oleh air yang dingin. "Sayang, bangun... Shel
"Sayang, kau tidak papa, hem? Kenapa menangis begini? Apa Tante mengatakan sesuatu yang buruk?" Sebastian masih duduk memangku Shela yang memeluknya dengan erat, gadis itu tidak berniat mengadu sama sekali pada Sebastian. Tapi melihat Shela menangis seperti ini, apakah Sebastian akan diam saja? Tentu saja tidak akan. "Maafkan aku, Sebastian." Shela meminta maaf atas kesalahan yang Sebastian sendiri tidak ketahui. "Hei, Shela... Apa maksudmu meminta maaf, hem? Kau salah apa, Sayang?" Laki-laki itu menangkup kedua pipi Shela dengan lembut. "Lihat aku, sini, tatap aku saat kau berbicara pada suamimu!" Laki-laki itu memang tegas, apalagi menyangkut Shela yang sampai menangis-nangis seperti ini. "Mereka membawa-bawa Papa Ferdi? Mereka menyalahkanmu? Iya?!" tegas Sebastian mendesak Shela. Gadis itu menganggukkan kepalanya, dia menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Shela memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat. "Padahal aku sama sekali tidak bermaksud apapun, aku tidak berma
"Mami, kita kangen banget. Mami lagi apa di sana? Di sini sudah turun salju, di tempat Mami turun salju, tidak?" Suara kecil Tiana di balik telepon membuat Shela tersenyum manis, pagi petang sekali anak-anaknya sudah video call. Padahal Shela kini baru saja bangun tidur dengan Sebastian memeluknya erat-erat dan mendusal padanya. "Iya Sayang, sudah. Di tempat Mami banyak yang menjual boneka tupai. Tiana mau Mami belikan boneka tupai?" tawar Shela tersenyum manis. "Mau, mau sekali, Mami!" pekik anak itu, dia mengangkat ponsel milik Stevani tinggi-tinggi. "Sayang, di mana Kakak?" tanya Shela. "Kakak masih bobo, Tiana sama Oma mau masak sarapan," ujar anak itu tersenyum manis. Baru saja Shela hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi panggilan itu tiba-tiba dimatikan begitu saja oleh Tiana. Shela menyergah napasnya panjang dan mengeluh kesal. "Masih kangen, kenapa malah dimatikan sih, Tiana..." "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian memeluk tubuh ramping Shela dan membenamkan wajahnya
"Sebastian, ada undangan juga untuk Papamu di kediaman Paman Heinz, kau mau mewakilinya datang bersama kami, tidak?" Pertanyaan itu terlontar dari Rovits pada Sebastian yang tengah menikmati makan malamnya bersama beberapa anggota keluarga di sana. "Kau bisa mengajak Shela juga, kenalkan istrimu pada semua rekan-rekan bisnismu," sahut Vincen tersenyum dia menoleh pada Shela. "Apalagi istrimu ini cantik sekali." Sebastian berdecak pelan. "Aku tidak berminat sama sekali, Tante. Aku dan Shela ke sini untuk berbulan madu, bukannya malam mengurusi pekerjaan," jawab Sebastian. "Tapi tidak sopan rasanya kalau kau tidak datang mewakili Papamu, bodoh!" Clarvin menyanggahnya. Tatapan mata Sebastian tertuju pada Shela seolah meminta persetujuan. "Shela tidak perlu takut, nanti Tante Elin juga ikut kok," sahut Elin, wanita berambut cokelat itu tersenyum pada Shela. "Iya Tante. Shela hanya ikut Sebastian saja," jawab Shela. "Iya kalau dulu selalu ada Kak Ferdi yang mewakili Paman Graham,
Perhiasan emas, berlian, batu permata yang indah dijajar rapi di hadapan Shela dan meminta gadis itu untuk memilihnya. Elin dan Vincen memang sengaja ingin memberikan hadiah spesial untuk anggota Nyonya baru di keluarga mereka. "Shela, kenapa malah diam saja? Ayo pilih mana yang kau sukai, nak," ujar Elin mengusap punggung Shela dengan lembut. Melihat wajah Shela yang bingung, Sebastian yang tengah duduk di ruang keluarga yang bersampingan dengan ruang tamu, dia memperhatikan Shela yang bingung dengan apa yang akan dia pilih dan dia inginkan. "Pasti bingung ya, karena terlalu banyak. Shela bisa mengambil mana saja yang Shela ingin," bujuk Vincen lagi. "Bu-bukan begitu Tante, tapi... Semua perhiasan ini semuanya sangat mahal-mahal, lebih baik tidak usah." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan sudah ngeri, ada yang dari permata Zamrud, batu Ruby, hingga permata-permata yang indah. "Apa dia benar-benar dari keluarga yang miskin?!" Suara Clara memecah keheningan. Seba
Entah sejak kapan Shela menyukai kecupan bibir Sebastian. Kesal, sekaligus malu kenapa Shela menjadi sangat nakal seperti ini saat sudah bersama Sebastian. Buktinya saat ini Shela memeluk leher laki-laki itu dengan mata terpejam dan bibir mereka yang bertautan saling membalas. "Kau menyebalkan," lirih Shela memalingkan wajahnya. "Siapa yang memancing, hem?" Laki-laki itu masih menempatkan wajahnya di pipi Shela. Wajah Shela semakin memerah kala dress Sabrina panjang itu mulai lolos. Malu sekali!Tapi Sebastian tahu apa yang Shela pikirkan, dia pun tidak membuang waktunya. Laki-laki itu mengecup bibir Shela dengan lembut, Sebastian menyentuh bagian mana saja yang bisa dia jangkau. Tidak akan ada bosannya, itulah Sebastian. Bodohnya Shela yang selalu larut dalam permainan menyenangkan ini. "A-apa gorden itu tidak bisa kau tutup dulu, hah?!" pekik Shela menarik selimutnya tinggi-tinggi. "Tidak, biar saja." "Kau memang gila, Sebastian!" pekik Shela. Sebastian kembali tersenyum. "
"Hah, Mami sama Papi sudah mau pulang?! Kok cepet banget sih... Kan brankas Tino masih dapat sedikit!" Bocah laki-laki dengan seragam sekolah berwarna biru muda itu memeluk kaleng biskuit yang berisi banyak uang kertasnya. Setiap hari, Ferdi harus membayar Tino selama Shela dan Sebastian pergi, kalau tidak dia mengancam akan menangis. Tapi karena Ferdi sangat menyayangi cucunya yang satu ini, maka apapun akan tetap dia berikan pada Tino. Tidak seperti dia kembarannya. "Wahh, kira-kira Tiana dibelikan apa ya sama Mami?!" seru Tiana dengan wajah berbinar. "Iya, kita mungkin dibelikan mainan yang banyak!" seru Tiano tak kalah senang. Sedangkan Tino cemberut memeluk brankas kaleng biskuitnya. "Haaahhh... Selamat terhenti, uang-uangku yang mengalir," cicit Tino sedih. "Dasar bankir!" maki Tiano pada kembarannya. "Apa hah?! Mau adu kekayaan?!" sinis Tino pada adik kembarannya. "Hei, sudah... Sudah... Hayo, kan kalian sudah janji sama Oma tidak akan ribut! Hayoo...!" Stevani mempe
"Mami, Papi... Ditaruh mana sama Mami, kok adiknya Tiana tidak ada?" Anak itu membongkar tas dan koper milik Shela dan Sebastian. Dia mencari adik-nya! Shela dan Sebastian seperti orang bodoh berdiri di dekat ranjang menatapi putri kecilnya yang mengobrak-abrik koper mencari sesuatu yang sudah Sebastian dan Shela janjikan sebelum mereka berangkat. Anak itu menyeragah napasnya panjang dan kembali menoleh ke belakang pada Shela dan Sebastian. "Mami, Papi, pasti bohongin Tiana," lirih anak menunjukkan wajahnya yang lesu. "E-ehh... Kata siapa! Mami tidak bohong kok, ini kan Mami sudah belikan adik boneka tupai buat Tiana," seru Shela meraih boneka tupai besar di atas ranjang. Wajah Tiana masih merengut. Tangan mungilnya menarik lengan boneka tupai cokelat di atas ranjang besar orang tuanya. Ditatap wajah boneka tupai itu dengan ekspresi sedih dan bibirnya melengkung ke bawah. "Tuan Tupai, ayo kita keluar," ucap anak itu memeluk bonekanya dan berjalan keluar. "Eh, Sayang... Mami t
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut