"Sebastian, ada undangan juga untuk Papamu di kediaman Paman Heinz, kau mau mewakilinya datang bersama kami, tidak?" Pertanyaan itu terlontar dari Rovits pada Sebastian yang tengah menikmati makan malamnya bersama beberapa anggota keluarga di sana. "Kau bisa mengajak Shela juga, kenalkan istrimu pada semua rekan-rekan bisnismu," sahut Vincen tersenyum dia menoleh pada Shela. "Apalagi istrimu ini cantik sekali." Sebastian berdecak pelan. "Aku tidak berminat sama sekali, Tante. Aku dan Shela ke sini untuk berbulan madu, bukannya malam mengurusi pekerjaan," jawab Sebastian. "Tapi tidak sopan rasanya kalau kau tidak datang mewakili Papamu, bodoh!" Clarvin menyanggahnya. Tatapan mata Sebastian tertuju pada Shela seolah meminta persetujuan. "Shela tidak perlu takut, nanti Tante Elin juga ikut kok," sahut Elin, wanita berambut cokelat itu tersenyum pada Shela. "Iya Tante. Shela hanya ikut Sebastian saja," jawab Shela. "Iya kalau dulu selalu ada Kak Ferdi yang mewakili Paman Graham,
Perhiasan emas, berlian, batu permata yang indah dijajar rapi di hadapan Shela dan meminta gadis itu untuk memilihnya. Elin dan Vincen memang sengaja ingin memberikan hadiah spesial untuk anggota Nyonya baru di keluarga mereka. "Shela, kenapa malah diam saja? Ayo pilih mana yang kau sukai, nak," ujar Elin mengusap punggung Shela dengan lembut. Melihat wajah Shela yang bingung, Sebastian yang tengah duduk di ruang keluarga yang bersampingan dengan ruang tamu, dia memperhatikan Shela yang bingung dengan apa yang akan dia pilih dan dia inginkan. "Pasti bingung ya, karena terlalu banyak. Shela bisa mengambil mana saja yang Shela ingin," bujuk Vincen lagi. "Bu-bukan begitu Tante, tapi... Semua perhiasan ini semuanya sangat mahal-mahal, lebih baik tidak usah." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan sudah ngeri, ada yang dari permata Zamrud, batu Ruby, hingga permata-permata yang indah. "Apa dia benar-benar dari keluarga yang miskin?!" Suara Clara memecah keheningan. Seba
Entah sejak kapan Shela menyukai kecupan bibir Sebastian. Kesal, sekaligus malu kenapa Shela menjadi sangat nakal seperti ini saat sudah bersama Sebastian. Buktinya saat ini Shela memeluk leher laki-laki itu dengan mata terpejam dan bibir mereka yang bertautan saling membalas. "Kau menyebalkan," lirih Shela memalingkan wajahnya. "Siapa yang memancing, hem?" Laki-laki itu masih menempatkan wajahnya di pipi Shela. Wajah Shela semakin memerah kala dress Sabrina panjang itu mulai lolos. Malu sekali!Tapi Sebastian tahu apa yang Shela pikirkan, dia pun tidak membuang waktunya. Laki-laki itu mengecup bibir Shela dengan lembut, Sebastian menyentuh bagian mana saja yang bisa dia jangkau. Tidak akan ada bosannya, itulah Sebastian. Bodohnya Shela yang selalu larut dalam permainan menyenangkan ini. "A-apa gorden itu tidak bisa kau tutup dulu, hah?!" pekik Shela menarik selimutnya tinggi-tinggi. "Tidak, biar saja." "Kau memang gila, Sebastian!" pekik Shela. Sebastian kembali tersenyum. "
"Hah, Mami sama Papi sudah mau pulang?! Kok cepet banget sih... Kan brankas Tino masih dapat sedikit!" Bocah laki-laki dengan seragam sekolah berwarna biru muda itu memeluk kaleng biskuit yang berisi banyak uang kertasnya. Setiap hari, Ferdi harus membayar Tino selama Shela dan Sebastian pergi, kalau tidak dia mengancam akan menangis. Tapi karena Ferdi sangat menyayangi cucunya yang satu ini, maka apapun akan tetap dia berikan pada Tino. Tidak seperti dia kembarannya. "Wahh, kira-kira Tiana dibelikan apa ya sama Mami?!" seru Tiana dengan wajah berbinar. "Iya, kita mungkin dibelikan mainan yang banyak!" seru Tiano tak kalah senang. Sedangkan Tino cemberut memeluk brankas kaleng biskuitnya. "Haaahhh... Selamat terhenti, uang-uangku yang mengalir," cicit Tino sedih. "Dasar bankir!" maki Tiano pada kembarannya. "Apa hah?! Mau adu kekayaan?!" sinis Tino pada adik kembarannya. "Hei, sudah... Sudah... Hayo, kan kalian sudah janji sama Oma tidak akan ribut! Hayoo...!" Stevani mempe
"Mami, Papi... Ditaruh mana sama Mami, kok adiknya Tiana tidak ada?" Anak itu membongkar tas dan koper milik Shela dan Sebastian. Dia mencari adik-nya! Shela dan Sebastian seperti orang bodoh berdiri di dekat ranjang menatapi putri kecilnya yang mengobrak-abrik koper mencari sesuatu yang sudah Sebastian dan Shela janjikan sebelum mereka berangkat. Anak itu menyeragah napasnya panjang dan kembali menoleh ke belakang pada Shela dan Sebastian. "Mami, Papi, pasti bohongin Tiana," lirih anak menunjukkan wajahnya yang lesu. "E-ehh... Kata siapa! Mami tidak bohong kok, ini kan Mami sudah belikan adik boneka tupai buat Tiana," seru Shela meraih boneka tupai besar di atas ranjang. Wajah Tiana masih merengut. Tangan mungilnya menarik lengan boneka tupai cokelat di atas ranjang besar orang tuanya. Ditatap wajah boneka tupai itu dengan ekspresi sedih dan bibirnya melengkung ke bawah. "Tuan Tupai, ayo kita keluar," ucap anak itu memeluk bonekanya dan berjalan keluar. "Eh, Sayang... Mami t
Setelah beberapa hari Shela kembali dari bulan madunya, ia juga kembali fokus mengurus anak-anaknya. Toko roti yang sempat terjual pun kembali dibeli oleh Sebastian dari tangan Adam. Tapi kini dia sudah menjadi seorang Nyonya Sebastian, tentu suaminya melarangnya bekerja, tugas Shela hanya fokus pada anak-anaknya dan juga memperhatikan setiap kegiatan suaminya saja. Pagi ini Shela sibuk dengan kedua anaknya, Tiana dan Tiano. Sedangkan Tino ikut bersama Stevani sejak dua hari yang lalu mereka pindah rumah. "Tiano mau ke mana? Kok bawa baju banyak?" Tiana mendekati kembarannya yang duduk sibuk menata barang-barang ke dalam tas. "Mau latihan renang, kenapa? Kau mau ikut?" tawar sang kembaran. Tiana menggeleng. "Tiana tidak bisa berenang. Nanti jatuh, terus tenggelam, bagaimana?" "Kan ada aku, aku kan Kakaknya Tiana." Shela berdiri menatap mereka, mendengarkan perbincangan Tiana dan Tiano yang hangat. Keduanya adalah dua kutub tang sama, mereka memiliki sisi hangat yang seimbang, t
"Tiano, kalau tinggal di sini jangan nakal ya, Sayang... Jangan membuat keributan di tempat Paman Lionil!" Shela menekuk kedua lututnya dan mencekal kedua pundak Tiano. Dia benar-benar mewanti-wanti anak ini untuk tidak berbuat nakal di tempat kerabat Sebastian. Dan Tiano menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis. "Siap Mami!" serunya tersenyum manis. "Jangan khawatir, di sini anak banyak pelayan yang bisa menjaga Tiano." Lionil menatap Shela yang berdiri di samping Sebastian. Melihat putranya yang antusias, Sebastian semakin yakin kalau Tiano pasti sangat menyukai tempat itu. "Kalau begitu, aku dan istriku pamit ya... Kami titip Tiano," ujar Sebastian pada Tuan Camael dan Lionil. "Iya Bas, hati-hati di jalan!" Sebastian dan Shela keluar dari teras rumah mega itu, Tiana yang digendong oleh Sebastian, anak itu melambaikan tangan pada kembarannya. Sungguh Shela tak pernah merasakan rasanya ditinggal oleh anak-anak, tapi begitu kini Tiano ingin liburan di tempat kerabat Seb
"Hah?! Tiana mau pakai kaca mata? Wahh... Seperti apa nanti ya?" Tino melotot lebar saat diberi tahu oleh adik kembaran perempuannya kalau Tiana akan memakai kaca mata nantinya. "Tentu saja Tiana tambah cantik! Beautiful!" seru anak itu tersenyum manis. "Heleh, dasar wanita!" remeh Tino mencebikkan bibirnya. "Ihhh... Kakak!" Tiana langsung menjambak rambut Tino seketika. Meskipun kesakitan, tapi kalau yang menyakiti Tiana, dia tidak akan membalas, mungkin hanya berteriak sekeras-kerasnya. Tiana juga nakal, tapi saat dia disalahi lebih dulu. Lain dari itu, bocah perempuan itu jarang sekali terpancing emosinya, apalagi dia sudah tidak lagi tantrum seperti saat dia sakit waktu dulu-dulu. "Untung saja kalian mengetahuinya lebih dulu, jadi bisa cepat ditangani," ujar Ferdi kini duduk di sofa dan menatap Sebastian yang menjaga dua anaknya. "Iya Pa, aku sendiri juga tidak tahu kalau mata Tiana rabun." "Tidak papa pakai kaca mata, dia akan semakin cantik nantinya." Ferdi tersenyum da