"Hah, Mami sama Papi sudah mau pulang?! Kok cepet banget sih... Kan brankas Tino masih dapat sedikit!" Bocah laki-laki dengan seragam sekolah berwarna biru muda itu memeluk kaleng biskuit yang berisi banyak uang kertasnya. Setiap hari, Ferdi harus membayar Tino selama Shela dan Sebastian pergi, kalau tidak dia mengancam akan menangis. Tapi karena Ferdi sangat menyayangi cucunya yang satu ini, maka apapun akan tetap dia berikan pada Tino. Tidak seperti dia kembarannya. "Wahh, kira-kira Tiana dibelikan apa ya sama Mami?!" seru Tiana dengan wajah berbinar. "Iya, kita mungkin dibelikan mainan yang banyak!" seru Tiano tak kalah senang. Sedangkan Tino cemberut memeluk brankas kaleng biskuitnya. "Haaahhh... Selamat terhenti, uang-uangku yang mengalir," cicit Tino sedih. "Dasar bankir!" maki Tiano pada kembarannya. "Apa hah?! Mau adu kekayaan?!" sinis Tino pada adik kembarannya. "Hei, sudah... Sudah... Hayo, kan kalian sudah janji sama Oma tidak akan ribut! Hayoo...!" Stevani mempe
"Mami, Papi... Ditaruh mana sama Mami, kok adiknya Tiana tidak ada?" Anak itu membongkar tas dan koper milik Shela dan Sebastian. Dia mencari adik-nya! Shela dan Sebastian seperti orang bodoh berdiri di dekat ranjang menatapi putri kecilnya yang mengobrak-abrik koper mencari sesuatu yang sudah Sebastian dan Shela janjikan sebelum mereka berangkat. Anak itu menyeragah napasnya panjang dan kembali menoleh ke belakang pada Shela dan Sebastian. "Mami, Papi, pasti bohongin Tiana," lirih anak menunjukkan wajahnya yang lesu. "E-ehh... Kata siapa! Mami tidak bohong kok, ini kan Mami sudah belikan adik boneka tupai buat Tiana," seru Shela meraih boneka tupai besar di atas ranjang. Wajah Tiana masih merengut. Tangan mungilnya menarik lengan boneka tupai cokelat di atas ranjang besar orang tuanya. Ditatap wajah boneka tupai itu dengan ekspresi sedih dan bibirnya melengkung ke bawah. "Tuan Tupai, ayo kita keluar," ucap anak itu memeluk bonekanya dan berjalan keluar. "Eh, Sayang... Mami t
Setelah beberapa hari Shela kembali dari bulan madunya, ia juga kembali fokus mengurus anak-anaknya. Toko roti yang sempat terjual pun kembali dibeli oleh Sebastian dari tangan Adam. Tapi kini dia sudah menjadi seorang Nyonya Sebastian, tentu suaminya melarangnya bekerja, tugas Shela hanya fokus pada anak-anaknya dan juga memperhatikan setiap kegiatan suaminya saja. Pagi ini Shela sibuk dengan kedua anaknya, Tiana dan Tiano. Sedangkan Tino ikut bersama Stevani sejak dua hari yang lalu mereka pindah rumah. "Tiano mau ke mana? Kok bawa baju banyak?" Tiana mendekati kembarannya yang duduk sibuk menata barang-barang ke dalam tas. "Mau latihan renang, kenapa? Kau mau ikut?" tawar sang kembaran. Tiana menggeleng. "Tiana tidak bisa berenang. Nanti jatuh, terus tenggelam, bagaimana?" "Kan ada aku, aku kan Kakaknya Tiana." Shela berdiri menatap mereka, mendengarkan perbincangan Tiana dan Tiano yang hangat. Keduanya adalah dua kutub tang sama, mereka memiliki sisi hangat yang seimbang, t
"Tiano, kalau tinggal di sini jangan nakal ya, Sayang... Jangan membuat keributan di tempat Paman Lionil!" Shela menekuk kedua lututnya dan mencekal kedua pundak Tiano. Dia benar-benar mewanti-wanti anak ini untuk tidak berbuat nakal di tempat kerabat Sebastian. Dan Tiano menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis. "Siap Mami!" serunya tersenyum manis. "Jangan khawatir, di sini anak banyak pelayan yang bisa menjaga Tiano." Lionil menatap Shela yang berdiri di samping Sebastian. Melihat putranya yang antusias, Sebastian semakin yakin kalau Tiano pasti sangat menyukai tempat itu. "Kalau begitu, aku dan istriku pamit ya... Kami titip Tiano," ujar Sebastian pada Tuan Camael dan Lionil. "Iya Bas, hati-hati di jalan!" Sebastian dan Shela keluar dari teras rumah mega itu, Tiana yang digendong oleh Sebastian, anak itu melambaikan tangan pada kembarannya. Sungguh Shela tak pernah merasakan rasanya ditinggal oleh anak-anak, tapi begitu kini Tiano ingin liburan di tempat kerabat Seb
"Hah?! Tiana mau pakai kaca mata? Wahh... Seperti apa nanti ya?" Tino melotot lebar saat diberi tahu oleh adik kembaran perempuannya kalau Tiana akan memakai kaca mata nantinya. "Tentu saja Tiana tambah cantik! Beautiful!" seru anak itu tersenyum manis. "Heleh, dasar wanita!" remeh Tino mencebikkan bibirnya. "Ihhh... Kakak!" Tiana langsung menjambak rambut Tino seketika. Meskipun kesakitan, tapi kalau yang menyakiti Tiana, dia tidak akan membalas, mungkin hanya berteriak sekeras-kerasnya. Tiana juga nakal, tapi saat dia disalahi lebih dulu. Lain dari itu, bocah perempuan itu jarang sekali terpancing emosinya, apalagi dia sudah tidak lagi tantrum seperti saat dia sakit waktu dulu-dulu. "Untung saja kalian mengetahuinya lebih dulu, jadi bisa cepat ditangani," ujar Ferdi kini duduk di sofa dan menatap Sebastian yang menjaga dua anaknya. "Iya Pa, aku sendiri juga tidak tahu kalau mata Tiana rabun." "Tidak papa pakai kaca mata, dia akan semakin cantik nantinya." Ferdi tersenyum da
Saat pagi tiba, Shela dan Sebastian masih tertidur pulas. Hal yang membangunkan mereka berdua adalah suara gedoran pintu kamar yang keras. "Mami... Mami! Mami Tiana mau mandi, mau belajar sama Madam Perez! Mami...!" "Ihhh MAMI...!" Suara itu. Shela yang tadinya masih lelap, sontak itu membuka matanya lebar-lebar. "Ya ampun, Tiana! Jam berapa ini?!" pekik Shela kebingungan sendiri. "Iya Tiana, sebentar!" teriak Shela. Sebastian pun langsung ikut bangun, laki-laki itu duduk di tepi ranjang menggaruk kepalanya yang tak gatal. Buru-buru dia menyahut piyama kimono miliknya dan berjalan lebih dulu membuka pintu. Sedangkan Shela sibuk kembali merapikan pakaiannya. Pintu kamar terbuka, Tiana berdiri di depan kamar dengan bibir mengerucut seperti biasa. "Selamat pagi, Tuan Putri," sapa Sebastian langsung menggendong putrinya. "Mami mana? Tiana mau belajar sama Madam Perez sekarang, Papi," ujar anak itu. "Memangnya Tiana sudah bisa membaca, hem? Matanya kan masih sakit, Sayang." Seb
"Mami, di mana sepatunya Tiana? Tiana mau bantuin Mami siapkan makan malam buat Papi!" Teriakan anak itu membuat Shela yang sedang menata makanan di ruang makan langsung berjalan menuju sumber suara. Langkah Shela terhenti saat melihat Tiana yang tengah mencari sepasang sepatu kesayangannya, padahal sepatu itu berada di depannya. 'Apa penglihatannya separah itu?' batin Shela. Perlahan Shela meraihnya dan meletakkan di hadapan Tiana. "Ini Sayang," ujar Shela. "Ohh, Tiana tidak lihat. Tidak kelihatan. Semuanya buram," jawab anak itu. Dia hendak berlari, namun nyaris terpeleset saat ada anak tangga kecil yang tak sengaja di lewati. Tapi Shela dengan cekatan merangkulnya cepat. "Mami..," rengek anak itu langsung memeluk leher Shela dan menyadarkan kepalanya dengan manja. "Sayang, tidak papa? Kakinya sakit?" Shela cemas sendiri mengecek kedua kaki sang putri.Anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak Mami, tidak papa kok." Rasa lega menjalar di dada Shela, dia tersenyum dan mengge
"Wahhh... Tiana kok pakai kaca mata? Ohh jadi gemes!" Tino tersenyum lebar menatap kembaran perempuannya yang kini memakai sebuah kaca mata. "Cantik kan, Adik Tiana-nya?" Shela menatap mereka berdua. Sang kembaran pun mengangguk. "Iya Mami, cocok pakai kaca mata!" Tiana tersenyum kesenangan, anak perempuan itu berulang kali bercermin di dalam ruangan dokter. Dia menunjuk ke arah cermin dan menyebutkan nama barang satu persatu. Matanya sungguh seperti berfungsi kembali. "Mami, sekarang Mami sama Papi kelihatan jelas!" seru anak itu tersenyum lebar. "Tidak sakit lagi matanya kan, Sayang?" Sebastian mengusap pucuk kepala sang putri. "Tidak." Mereka merasa tenang, akhirnya Tiana tidak lagi rabun dengan bantuan kaca matanya. Shela berjalan ke ruangan Dokter, dia membayar tebusan obat mata untuk Tiana. Sedangkan Sebastian mengajak anak-anaknya keluar dan menunggu di mobil. Ia menghubungi Lionil, kalau Tiano akan diantarkan pulang sore nanti. "Itu Mami kembali!" seru Tino menunjuk
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut