"Mami, di mana sepatunya Tiana? Tiana mau bantuin Mami siapkan makan malam buat Papi!" Teriakan anak itu membuat Shela yang sedang menata makanan di ruang makan langsung berjalan menuju sumber suara. Langkah Shela terhenti saat melihat Tiana yang tengah mencari sepasang sepatu kesayangannya, padahal sepatu itu berada di depannya. 'Apa penglihatannya separah itu?' batin Shela. Perlahan Shela meraihnya dan meletakkan di hadapan Tiana. "Ini Sayang," ujar Shela. "Ohh, Tiana tidak lihat. Tidak kelihatan. Semuanya buram," jawab anak itu. Dia hendak berlari, namun nyaris terpeleset saat ada anak tangga kecil yang tak sengaja di lewati. Tapi Shela dengan cekatan merangkulnya cepat. "Mami..," rengek anak itu langsung memeluk leher Shela dan menyadarkan kepalanya dengan manja. "Sayang, tidak papa? Kakinya sakit?" Shela cemas sendiri mengecek kedua kaki sang putri.Anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak Mami, tidak papa kok." Rasa lega menjalar di dada Shela, dia tersenyum dan mengge
"Wahhh... Tiana kok pakai kaca mata? Ohh jadi gemes!" Tino tersenyum lebar menatap kembaran perempuannya yang kini memakai sebuah kaca mata. "Cantik kan, Adik Tiana-nya?" Shela menatap mereka berdua. Sang kembaran pun mengangguk. "Iya Mami, cocok pakai kaca mata!" Tiana tersenyum kesenangan, anak perempuan itu berulang kali bercermin di dalam ruangan dokter. Dia menunjuk ke arah cermin dan menyebutkan nama barang satu persatu. Matanya sungguh seperti berfungsi kembali. "Mami, sekarang Mami sama Papi kelihatan jelas!" seru anak itu tersenyum lebar. "Tidak sakit lagi matanya kan, Sayang?" Sebastian mengusap pucuk kepala sang putri. "Tidak." Mereka merasa tenang, akhirnya Tiana tidak lagi rabun dengan bantuan kaca matanya. Shela berjalan ke ruangan Dokter, dia membayar tebusan obat mata untuk Tiana. Sedangkan Sebastian mengajak anak-anaknya keluar dan menunggu di mobil. Ia menghubungi Lionil, kalau Tiano akan diantarkan pulang sore nanti. "Itu Mami kembali!" seru Tino menunjuk
"Ya ampun, kenapa tubuhku rasanya seperti ini? Biasanya aku tidak pernah selelah ini..." Shela bergumam pelan saat ia membuka kedua matanya di pagi hari. Ia menoleh ke samping di mana sang suami yang masih tertidur memeluknya dengan erat. Senyuman Shela mengembang, dia mengusap pipi Sebastian dan mengecupnya dengan lembut. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Shela memeluk tubuh laki-laki itu. "Emm, masih pagi... Aku masih lelah," jawab Sebastian mengeratkan pelukannya pada Shela. "Ck! Kau ini mau meremukkan tubuhku atau bagaimana, sih?!" pekik Shela memukul pundak sang suami. Laki-laki itu tersenyum tipis, dia melepaskan pelukannya pada Shela dan membiarkann Shela bangun dan dia juga ikut terbangun. Wanita itu duduk dengan lengan kardigannya yang melorot. "Tubuhku kenapa gampang sekali lelah sekarang, ingin tidur terus rasanya," ucap Shela mengucek kedua matanya. "Hanya kelelahan saja, tidurlah lagi biar aku yang mengurus anak-anak," bisik Sebastian mengecup pucuk kepala Shela,
Ulang tahun si kembar tinggal menghitung hari. Shela sibuk sendiri menyiapkan beberapa hadiah yang sejak dulu mereka inginkan. Setelah ketiga anaknya sibuk belajar, Tino dan Tiano bersekolah, Tiana harus menjalani home schooling dengan Madam Perez. Dan kini Shela berada di dalam sebuah pusat perbelanjaan sendirian membeli beberapa keperluan. 'Sebastian sangat sibuk, meluangkan waktu setengah jam untukku saja tidak bisa,' batin Shela mendengus pelan. 'Aku kan juga sangat lelah!' Shela mengembuskan napasnya panjang, ia berdiri di depan sebuah rak besar berisi makanan ringan. "Loh, Shela..." Suara seorang laki-laki membuat Shela menoleh cepat saat namanya dipanggil. "Adam!" Shela terkejut saat laki-laki itu juga ada di sana. Adam pun berjalan mendekatinya, iris cokelatnya menelisik wajah Shela yang pucat dan berkeringat. Dia adalah seorang dokter yang hanya menatapnya dia sudah paham kalau Shela sedang tidak enak badan. "Kau tidak papa? Kenapa kau pucat begini, Sebastian mana?"
Pagi saat bangun tidur, Shela berlari ke kamar mandi dengan cepat. Saat terbangun tiba-tiba perutnya bergejolak hebat dan seolah ingin memuntahkan semuanya. Tubuhnya langsung berkeringat dingin dan gebigil. Sebastian menemaninya, laki-laki itu ikut cemas. "Ya ampun, kenapa Sayang? Masuk angin?" Laki-laki itu mengusap punggung istrinya dengan lembut. Shela menggeleng pelan. "Tidak tahu, setiap pagi ingin mual. Tubuhku kedinginan," ujar Shela usai mual-mual meskipun tak ada sesuatu yang ia keluarkan. Laki-laki itu kembali mengangkat tubuh Shela dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Sebastian menyelimuti Shela dan mengusap keringat di wajahnya. Shela mencekal lengan sang suami. "Jangan kerja ya, sehari ini saja." "Sayang, aku nanti akan pulang lebih awal. Aku hanya akan ikut satu acara meeting saja, okay? Biar anak-anak dibawa Mama, kau istirahat saja, hem?" Jawaban suaminya membuat Shela kesal, wanita itu langsung menutup wajahnya dengan selimut dan menangis tanpa kejelasan. Seb
Shela mengajak Tiana pergi jalan-jalan di kota. Mengajaknya makan di street food, hingga terkahir kini mereka bermain di sebuah taman. Sudah menjadi janji Shela pada Tiana kalau anaknya sudah memakai kaca mata dan bisa melihat semuanya dengan jelas, maka Shela akan mengajaknya jalan-jalan. Dan kini janji itu Shela kabulkan. "Jangan main jauh-jauh ya, Sayang!" pekik Shela pada Tiana yang berlarian mengejar kupu-kupu. "Iya Mami..." Dan Tiana asik bermain di tengah taman, pakaian hangatnya yang menutupi, dia seperti kumbang lucu yang terbang penuh keriangan. Anak yang manis. Shela memperhatikannya saja, beberapa menit yang lalu Stevani menghubunginya dan mengatakan pada Shela kalau Tino dan Tiano sudah dijemput dan diajak oleh Stevani. Shela akan fokus seharian bersama putrinya. Tiana bermain mengumpul bunga-bunga rumput liar hingga tiba-tiba sebuah bola menggelinding di depannya. "Hem, bola?" lirih Tiana mengambil bola itu. Seorang anak laki-laki berjalan ke arahnya. Anak laki-l
"Mami, setiap pagi kok Mami lemes sih? Mami sakitnya pagi saja ya?" Tino menyentuh kedua pipi Shela. "Iya, padahal ini kan pertama kali Tiana boleh ke sekolah sama Kakak... Tiana senang sekali!" Tiana, anak itu memang kini diberi izin oleh Shela dan Sebastian untuk sekolah bersama dua kakak kembarnya. Dan itu adalah hadiah ulang tahun pertama dari Shela untuk Tiana dan juga dua kembarannya. "Pasti itu salah satu hadiah ulang tahun kita ya, Mam?" tanya Tiano seraya memakai sendiri seragamnya. "Tentu saja. Mami kan sayang pada kalian," jawab Shela tersenyum manis dengan wajah pucatnya. Tino ikut tersenyum mendengar apa yang Maminya katakan. Ketiga anak itu memakai seragam sekolahnya masing-masing, Tiana dibantu oleh Shela, sedangkan dua kembarannya sudah bisa berpakaian sendiri. Apalagi Tiano, anak itu tidak mau dibantu sama sekali. Dia yang paling serba perfeksionis dan mandiri. "Sudah selesai!" seru mereka bertiga dengan kompak. Shela barulah mengacungkan jempolnya. "Bagus! K
"Hari pertama sekolah sudah membuat masalah! Pakai acara hilang-hilangan segala!" Omelan itu terlontar dari mulut Tino saat masuk ke dalam rumah dan membanting tas miliknya di atas sofa. Shela yang menatap mereka bertiga hanya terpaku diam. Ditatapnya Tiana yang menangis sesenggukan dipeluk Tiano."Loh, Sayang... Hilang bagaimana? Kenapa ini Adik Tiana kok nangis?" tanya Shela. Wanita itu perlahan menekuk kedua lututnya di bawah Tiana yang langsung memeluk leher sang Mami."Tiana tadi hilang dari kelas Mam, dia bermain dengan anak sekolah dasar di taman. Kita sama Madam Allin bingung mencari Tiana." Penjelasan dari Tiano membuat Shela menghela napasnya pelan. Wanita itu menatap sang putri yang hanya bisa menangis. "Sudah, sudah tidak papa Sayang. Jangan diulangi lagi ya, nak..." Shela mengusap pipi Tiana dengan lembut. "Nanti malam kan mau jalan-jalan sama Mami, sama Papi juga. Besok ulang tahunnya siapa, hayo... Jangan cengeng Sayang. Anak cantiknya Mami kan sudah besar." Selem