Shela mengajak Tiana pergi jalan-jalan di kota. Mengajaknya makan di street food, hingga terkahir kini mereka bermain di sebuah taman. Sudah menjadi janji Shela pada Tiana kalau anaknya sudah memakai kaca mata dan bisa melihat semuanya dengan jelas, maka Shela akan mengajaknya jalan-jalan. Dan kini janji itu Shela kabulkan. "Jangan main jauh-jauh ya, Sayang!" pekik Shela pada Tiana yang berlarian mengejar kupu-kupu. "Iya Mami..." Dan Tiana asik bermain di tengah taman, pakaian hangatnya yang menutupi, dia seperti kumbang lucu yang terbang penuh keriangan. Anak yang manis. Shela memperhatikannya saja, beberapa menit yang lalu Stevani menghubunginya dan mengatakan pada Shela kalau Tino dan Tiano sudah dijemput dan diajak oleh Stevani. Shela akan fokus seharian bersama putrinya. Tiana bermain mengumpul bunga-bunga rumput liar hingga tiba-tiba sebuah bola menggelinding di depannya. "Hem, bola?" lirih Tiana mengambil bola itu. Seorang anak laki-laki berjalan ke arahnya. Anak laki-l
"Mami, setiap pagi kok Mami lemes sih? Mami sakitnya pagi saja ya?" Tino menyentuh kedua pipi Shela. "Iya, padahal ini kan pertama kali Tiana boleh ke sekolah sama Kakak... Tiana senang sekali!" Tiana, anak itu memang kini diberi izin oleh Shela dan Sebastian untuk sekolah bersama dua kakak kembarnya. Dan itu adalah hadiah ulang tahun pertama dari Shela untuk Tiana dan juga dua kembarannya. "Pasti itu salah satu hadiah ulang tahun kita ya, Mam?" tanya Tiano seraya memakai sendiri seragamnya. "Tentu saja. Mami kan sayang pada kalian," jawab Shela tersenyum manis dengan wajah pucatnya. Tino ikut tersenyum mendengar apa yang Maminya katakan. Ketiga anak itu memakai seragam sekolahnya masing-masing, Tiana dibantu oleh Shela, sedangkan dua kembarannya sudah bisa berpakaian sendiri. Apalagi Tiano, anak itu tidak mau dibantu sama sekali. Dia yang paling serba perfeksionis dan mandiri. "Sudah selesai!" seru mereka bertiga dengan kompak. Shela barulah mengacungkan jempolnya. "Bagus! K
"Hari pertama sekolah sudah membuat masalah! Pakai acara hilang-hilangan segala!" Omelan itu terlontar dari mulut Tino saat masuk ke dalam rumah dan membanting tas miliknya di atas sofa. Shela yang menatap mereka bertiga hanya terpaku diam. Ditatapnya Tiana yang menangis sesenggukan dipeluk Tiano."Loh, Sayang... Hilang bagaimana? Kenapa ini Adik Tiana kok nangis?" tanya Shela. Wanita itu perlahan menekuk kedua lututnya di bawah Tiana yang langsung memeluk leher sang Mami."Tiana tadi hilang dari kelas Mam, dia bermain dengan anak sekolah dasar di taman. Kita sama Madam Allin bingung mencari Tiana." Penjelasan dari Tiano membuat Shela menghela napasnya pelan. Wanita itu menatap sang putri yang hanya bisa menangis. "Sudah, sudah tidak papa Sayang. Jangan diulangi lagi ya, nak..." Shela mengusap pipi Tiana dengan lembut. "Nanti malam kan mau jalan-jalan sama Mami, sama Papi juga. Besok ulang tahunnya siapa, hayo... Jangan cengeng Sayang. Anak cantiknya Mami kan sudah besar." Selem
"Dia sungguh tidak datang dan lupa." Shela meneteskan air matanya, wanita itu merasa hatinya hancur. Sangat hancur dan perih saat janji seseorang padanya diingkari, saat orang yang dicintainya berbohong padanya. Apalagi alasannya nanti?Hingga pukul sebelas malam, Shela sendirian di dalam rumah kaca itu seorang diri menunggu Sebastian, setelah pukul delapan tadi si kembar jenuh dan ingin pulang. Anak-anak itu kembali dengan sopir dan pulang ke rumah Stevani, karena Shela ingin mengatakan hal penting pada Sebastian. Tapi orang yang paling dia tunggu ternyata tidak juga datang. Harus kah Shela menangis seperti anak kecil? Tapi sakitnya kini benar-benar tidak berbohong. "Dia tidak datang dan aku masih berharap dia mengingatnya?" lirih Shela menundukkan kepalanya dan menangis. Shela memeluk tubuhnya sendiri dan terus tertunduk menyembunyikan tangisnya. "Harusnya aku pulang, harusnya aku yakin pada hatiku kalau dia memang tidak akan mengingat apapun." Wanita ini tersakiti lagi. "Dia h
Semalam penuh Sebastian tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran tentang Shela, bahkan semalam wanita itu sungguh-sungguh menangis dan berakhir Sebastian tidur di sofa, meskipun masih dalam satu kamar.Sampai pagi ini dia beranjak naik ke atas ranjang dan memeluk Shela yang masih tertidur. Diam-diam mencuri kecupan layaknya seorang suami pengecut, Sebastian beribu-ribu kali memakai dirinya sendiri. "Sudah pagi, kau tidak mau bangun?" bisik Sebastian mengecupi pipi Shela yang terasa empuk dan lembut. "Ngghh...." Shela mengeliat, dia menepis tangan Sebastian dan terbangun. Telapak tangan hangat sang suami terasa mengusap pipi mulusnya. Sentuhan yang nyaman, namun kalah dengan amarahnya. "Jangan sentuh," ucap Shela dingin. "Sayang, aku kan sudah meminta maaf. Aku memang sibuk dan... Aku sungguh tidak main-main denganmu, Sayang!" jelas Sebastian mati-matian. Shela meringkuk memunggunginya. Punggungnya bergetar dan dia menangis lagi!"Kau melupakan ulang tahun si kembar, itu sudah kejah
Seharian libur bekerja, Sebastian menebus kesalahannya pada Shela. Hari-hari kemarin saat Shela mual, pusing, dan rewel, dia tetap kuekeh pergi bekerja. Namun setelah mengetahui istrinya hamil, Sebastian memutuskan untuk libur beberapa hari saja. Laki-laki itu kini menemani Shela karena istrinya demam. "Kita ke rumah sakit saja, kah?" ajak Sebastian meletakkan telapak tangannya di kening Shela. "Panasnya kok tidak turun-turun." "Itu semua karena kesalahanmu!" amuk Shela, wanita itu bersembunyi di balik selimut tebal dan terus mengomel. "Iya, aku salah. Coba makan sedikit saja, Sayang..." Sebastian membujuknya. "Aku tidak suka makan yang berkuah... Aku pasti mual. Aku jarang makan setiap hari, kau tidak akan tahu betapa menderitanya istrimu ini!" rengek Shela, dia membuka selimutnya dan langsung terbangun. Senyuman Sebastian mengembang. Apapun sikap Shela padanya kini, ia akan menerimanya dan memberikan senyuman terbaik, Sebastian tidak merawat Shela saat hamil si kembar, paling
"Ohh jadi mereka ini putra dan putri Anda, Tuan Sebastian?!" Seruan senang itu terdengar dari Roghan, Papa Aldrich yang ternyata rekan kerja Sebastian. Mereka sama-sama pebisnis yang bertemu di beberapa kali kesempatan meeting besar di perusahaan-perusahaan besar di Inggris. "Ya, saya tidak menyangka bertemu dengan Anda di sini!" Sebastian merangkul laki-laki itu. Tawa tercipta di antara mereka, Shela juga duduk bersama Mama dan Nenek Aldrich di luar, mereka menghargai Shela yang tidak mampu menahan udara di dalam ruangan, belum lagi karena aroma makanan yang tersaji. Sedangkan Aldrich duduk bersama Tiana dan dua kembarannya. "Kau sangat pucat nak, minumlah teh hangat dan jangan banyak kelelahan," ujar Karen, Nenek Aldrich menatap Shela. "Iya Nyonya. Saya tidak tahan dengan aroma makanan di dalam." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nyonya Morgan ini sedang hamil muda, Bu," ujar Elmma menjelaskan pada mertuanya. "Ya ampun... Pasti mengganggu sekali. Tidak papa, biar Ibu pe
Beberapa hari berlalu, Shela menjalani hari-harinya dengan sangat buruk. Tubuhnya kian kurus dan kesehatannya yang terus menurun. Suamimu yang serba sibuk membuat Shela sering kali meminta bantuan Mamanya, bahkan kadang dia harus merepotkan pembantunya yang sangat baik. "Nyonya, lebih baik ke rumah sakit saja ya, Nyonya sudah pucat sekali seperti ini. Biar saya telfon Tuan, ya?" bujuk Bibi merangkul Shela dan mengajaknya duduk di sofa. Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak papa Bi. Dulu aku juga begini waktu hamil si kembar, kok." "Iya. Tapi Nyonya Shela ini pucat sekali." Tubuh Shela juga menggigil kedinginan, di luar memang sedang hujan deras, dan anak-anaknya berada di kamar masing-masing. Shela lemas tak bertenaga, ia ingin makan siang namun perutnya terus menolak untuk makan juga terasa nyeri. Sampai dia menangis, dan hanya makanan ringan saja yang bisa ia konsumsi. "Mami..." Suara Tiano membuat Shela menoleh. "Iya Sayang, sini nak," panggil Shela pada sang bu
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut